23. Akankah Ada Kesempatan Lain?

63 35 108
                                    

Cahaya matahari masuk lewat celah jendela. Membuat gadis yang masih berbalut selimut itu memicingkan matanya sekilas, lalu Ia kembali menutup dirinya. Seolah-olah tak ingin bangun dan akan melanjutkan tidurnya itu. Namun, suara teriakan dari bawah berhasil membuatnya terkejut. "RAHMI! UDAH JAM BERAPA INI? KENAPA BELUM BANGUN?"

Merasa sangat terganggu dengan teriakan yang dapat mengalahkan toa masjid barusan, Rahmi mengambil bantal dan menutup telinganya segera. Sungguh! Ia ingin tidur sampai nanti siang! Ia tak mau bangun dan ingin menghabiskan akhir pekan ini dengan tidur.

"Dek! Lo mau samyang ini gue abisin?"

Rahmi membuka sedikit selimutnya saat mendengar ancaman Surya barusan. Dengan cepat, gadis itu menyibakkan selimut dan turun dari kasur. Tak lupa juga ia menuju kamar mandi untuk membersihkan muka dan mulut.

"Mana samyang Rahmi?" tanya gadis itu sesaat setelah keluar kamar.

Ayah, Ibu, Yura dan Surya kemudian tertawa melihat tingkah si bungsu. Rahmi ini memang tak bisa jauh-jauh dari yang namanya samyang. Yap, samyang instan yang sengaja Surya sediakan hanya untuk Rahmi seorang. Katakan saja kalau Surya memang Abang terbaik di dunia ini. Surya tahu itu.

"Nih, pagi-pagi udah makan Samyang aja. Nanti sakit perut," omel sang Abang. Namun walaupun begitu, dia sendiri kok yang menyediakan makanan tersebut. Bahkan dengan senang hati memasaknya hanya untuk adik tersayang. Sementara itu, Ayah hanya bisa geleng-geleng kepala melihat Rahmi. Ia sudah sering menasehati anak gadisnya itu untuk tak makan pedas pagi-pagi. Tapi jawaban Rahmi tetap sama.

"Perut Rahmi kuat kok."

Seperti itulah jawaban dari waktu ke waktu. Tak ada yang berubah. Apalagi selera Rahmi tentang makanan. Gadis itu memang sangat suka yang pedas-pedas.

"Eh, katanya besok Gara udah bebas dari skors. Berarti udah bisa sekolah bareng lagi dong kalian."

Tangan Rahmi yang memegang sumpit terhenti sejenak, namun kemudian ia kembali mengambil Mie dalam cup dan melahapnya perlahan. "Rahmi besok dianterin Abang aja. Mau kan, Bang?"

"Mau mau aja sih. Tapi katanya Yura besok mulai kerja. Jadi harus datang pagi-pagi. Abang anterin kamu dulu apa kakak kamu?" tanya Surya sembari menatap kedua adiknya bergantian.

"Kayaknya Ayah harus beli motor satu lagi, ya."

Mereka semua menatap Ayah antusias. "Bener banget, Yah! Apalagi sekarang Yura udah dapat kerja! Jadi Yura harus punya motor sendiri biar gak ngerepotin Abang."

Surya mencibir tertahan. Ia ragu mendengar perkataan Yura yang mengatakan hal barusan. Biar gak ngerepotin Abang apaan? Orang kalau punya motor juga gue yang urus. Gue ngisi bensin, gue yang nyuci, ujar Surya dalam hati. Ya, dia mana berani bilang langsung. Nanti malah diceramahin Ayah sama Bunda.

"Rahmi?"

"Rahmi gak usah dulu. Kak Yura aja lebih penting," jawab Rahmi sembari terus melahap Samyang nya yang sudah tinggal setengah cup. Ia tidak terlalu memikirkan tentang kendaraan. Mungkin karena ia masih anak SMA yang tiap hari selalu diantar jemput. Jadi, ia tidak terlalu memusingkan hal tersebut.

"Ya sudah. Besok Surya anterin Yura ke tempat kerja. Ayah bakal nyari motor yang bagus besok siang. Dan juga, Rahmi berangkat sama Gara aja. Nanti Ayah kabarin ke Gara dulu."

Tangan Rahmi mendadak terhenti di udara.

Tapi ... Aku udah lama gak ngomong sama Gara, batin Rahmi frustasi.

***

Tidak ada kegiatan yang pasti di hari Minggu ini. Ya, seperti hari pada umumnya. Rahmi hanya berguling-guling bosan di atas karpet depan TV ruang keluarga. Sesekali gadis itu memeriksa ponselnya hanya untuk melihat pesan yang terkirim. Namun, tak ada satupun pesan yang tertuju untuknya. Huft, di dunia yang besar ini, Rahmi rasa ia hanya hidup sendiri. Sungguh sepi dan membosankan.

About Time [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang