04. Gengsi Setinggi Langit

133 75 190
                                    

Pagi-pagi sekali. Gara sudah berada di depan rumah tetangga. Rumah yang lumayan besar dibandingkan rumahnya. Tadi Mama bilang kalau Rahmi tidak punya teman untuk berangkat sekolah, dan Mama memintanya untuk memboncengi gadis itu. Namun, entah kenapa, rasanya begitu berat saat hendak menekan bel. Huft, kenapa bisa segugup ini, ya? Apa karena mereka sudah tidak pernah bertemu lagi selama empat tahun belakangan? Walau sudah berbasa-basi kemarinnya, tetap saja kali ini berbeda.

Ding ... Dong....

"Eh, nak Gara. Tumben pagi-pagi." Buk Ani, ah tidak. Tante Ani, bundanya Rahmi membuka pagar. Tampaknya wanita ini akan berangkat ke pasar. Ya, Gara tahu saat melihat tas belanjaan yang sudah bergantungan di lengan kanannya.

"Iya, Tan. Rahmi ada di dalam nggak?" tanya Gara sopan.

"Ada. Baru aja selesai sarapan. Mau berangkat bareng, kah?"

Gara hanya mengangguk sopan sembari tersenyum kecil. Lalu setelah itu, dia dipersilakan masuk.

"Rahmi, Gara udah tungguin nih!" teriak Yura dari ruang tamu.

Sementara itu, Rahmi yang berada di meja makan pun tersedak air. Gara? batinnya keheranan.

"Apa sih? Ngaco, lo kak!" Rahmi balas berteriak. Dia bahkan tidak tahu menahu kenapa Gara ke rumahnya. Yura pasti berniat menggoda, jadi biarkan saja.

"Ngaco apaan! Dia jemput, lo. Jangan lama! Takut anak orang telat."

Rahmi buru-buru ke ruang tamu, berniat menemui kakaknya dan memberi sedikit cubitan karena selalu saja bertingkah kekanakan. Namun, saat melihat Gara yang berdiri di samping Yura, dia jadi mengurungkan niatnya itu.

Lho, beneran Gara? tanya Rahmi dalam hatinya. Seakan sulit untuk percaya, padahal lelaki itu jelas-jelas terlihat di depan mata.

"Tapi kan, aku biasanya dianterin bang Surya." Entah kerasukan apa, Rahmi malah mengubah 'lo-gue' menjadi 'aku-kamu'.

"Kudet lagi ni bocah. Abang kan udah berangkat dari tadi pagi sama ayah. Katanya ayah ada rapat, jadi Abang nganterin deh. Sekalian dia juga ke sekolahnya sendiri."

Demi apa? Rahmi masih belum bisa mencerna dengan benar. Tiba-tiba otaknya berputar lebih lambat dari biasanya. Jadi, bang Surya dari tadi tidak berada di rumah, ya? Kenapa dia tidak tahu itu? Dan kenapa juga mereka menyuruh Gara untuk menjemputnya disaat tidak ada persetujuan dari dirinya langsung.

"Tunggu sebentar, ya," ujarnya pelan yang mendapatkan anggukan dari Gara.

***

Motor matic milik Gara memecah jalanan kota yang lumayan ramai. Suara bising terdengar dari mana-mana. Namun, tidak ada suara apa-apa yang menghiasi kedua insan tersebut. Mereka begitu canggung untuk memulai percakapan. Yah, lagian ini juga masih dalam perjalanan. Jadi agak susah kalau ingin berbicara.

Jantung Rahmi berdetak begitu cepat. Dari sudut pandangnya sekarang, ia melihat punggung Gara yang tegap tanpa cela. Berdekatan lagi dengan Gara cukup membuat dia tidak karuan. Apa yang harus dia lakukan, ya? Nanti, dia harus memulai percakapan untuk menghilangkan kecanggungan ini.

Gerbang SMA Nusantara sudah terlihat. Rahmi memeluk erat buku tebal berjudul 'Fisika' di pelukannya. Baiklah, sekarang dia akan berusaha semaksimal mungkin untuk memulai percakapan. Apapun itu, setidaknya bisa membuat suasana diantara mereka menyenangkan.

"Turunin di sini aja." Akhirnya. Akhirnya Rahmi bersuara juga. Gara yang memang sedari tadi berharap Rahmi membuka suara pun langsung menghentikan motornya sebelum memasuki kawasan parkir. "Nggak sekalian di parkiran aja?" tanya Gara kemudian.

Rahmi turun, ia melepaskan helm berwarna abu-abu dan menyodorkannya kepada Gara. "Nggak deh. Aku tunggu kamu disini aja, yaa."

Gara mengangguk, lalu ia mengambil helm yang disodorkan Rahmi. "Oke. Aku parkirin motor dulu."

Setelah mengatakan itu, Gara pergi memarkirkan motornya. Sementara Rahmi menunggu di sini, di depan parkiran dengan detak jantung yang semakin tidak normal.

"Rahmi!!!!"

Atensi Rahmi teralih saat ada seseorang yang meneriaki namanya.

"Kok disini? Nggak langsung masuk?" tanya Zilla saat dia sudah berdiri di samping Rahmi. "Itu, gue lagi nungguin Gara."

***

"Sumpah, kaget banget pas denger Lo sekolah bareng Gara. Kok bisa sih? Kronologinya gimana?" tanya Mirna kepo.

"Abang yang nyuruh Gara buat jemputin gue. Mana gue nggak tau apa-apa."

Zilla mencolek dagu Rahmi pelan. "Kenapa muka Lo memerah? Kok ada yang aneh ya disini." Mata itu menyipit, menatap Rahmi penuh selidik.

Rahmi segera menggeleng. Menepis tangan Zilla yang sedari tadi menyentuh dagunya. "Nggak ada yang aneh!" sangkal Rahmi, namun, mereka bertiga tampak tidak mempercayai hal itu. Apalagi Puja yang kini tersenyum lebar.

"Lo suka sama Gara ya, Mi?" Tebakan Puja tepat sasaran. Rahmi yang tidak tahu cara mengelak hanya bisa diam. Walaupun sudah berusaha menggelengkan kepala seolah hal itu salah, tetap saja, mereka bertiga tidak percaya begitu saja.

Lagian, mereka kenal Rahmi. Walau baru dua tahun bersama, tentu saja waktu segitu cukup untuk mengenal hal-hal kecil dari sosok Rahmi yang mudah ditebak.

Walaupun sering menampilkan wajah datar, ngomong seadanya, terkadang Rahmi sulit mengontrol emosi ketika sedang marah, sedih, dan sekarang karena jatuh cinta.

"Gak usah gengsi sama kita, Mi. Udah tau kita mah."

Benar kata Azilla, Rahmi itu gengsinya selangit. Andai saat MPLS dua tahun lalu Azilla tidak mendekati Rahmi, mungkin mereka tidak akan sedekat ini.

"Kelihatan sih dari tampangnya. Nggak nyangka Lo bisa jatuh cinta juga. Padahal sempet mikir mungkin Rahmi ini agak laen, tapi ternyata normal, haha," ucap Mirna seraya tertawa. Azilla dan Puja mengangguk, menyetujui perkataan Mirna barusan.

"Ya gue juga manusia kali."

Detik itu, mata mereka bertiga terbelalak. "Jadi ... Lo ngaku suka sama Gara?"

"Iya."

About Time [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang