Hari ini, sudah hari kedua Rahmi menghindari Gara. Ia sebenarnya tidak berniat demikian. Namun, mengingat Gara sudah mempunyai pujaan hati, membuat gadis itu ingin menghindar untuk sementara waktu.
Gara dan Anara, mengingat nama kedua manusia itu saja membuat Rahmi bad mood. Keduanya terlihat cocok sih. Nama saja hampir sama begitu. Apa jangan-jangan mereka berjodoh?
Jam menunjukkan pukul 14.58, dua menit lagi bel pulang berbunyi. Teman-teman sekelas sudah bersiap-siap dan merapikan meja. Begitupun dengan Mirna yang sibuk mencari kunci motor di dalam tasnya itu. "Perasaan tadi di sini deh," gumam Mirna, yang tentu saja bisa didengar jelas oleh Rahmi.
"Itu gak sih Mir?" Telunjuk Rahmi mengarah pada kolong meja Mirna yang ternyata terdapat kunci berwarna hitam--yang sudah dari tadi dia cari.
"Ternyata di sini, hehe."
Rahmi merotasi kan bola matanya. Mirna memang selalu seperti itu. Jadi ia sudah terbiasa.
"Mi! Raju tuh!" Zilla bergeser ke kanan, dan terlihat seorang laki-laki berambut hitam yang sedikit berantakan itu sudah berdiri tegap, tampak menunggu Rahmi ikut pulang bersamanya.
"Gue pulang duluan, ya," pamit Rahmi, yang mendapatkan anggukan dari teman-temannya itu.
Hari ini juga, tepat dua hari Raju dan Rahmi pulang bersama. Yah, walaupun terlihat biasa saja dan tidak ada yang spesial. Namun, perubahan itu membuat Gara merasakan ada sesuatu yang aneh. Laki-laki itu hanya bisa melihat perubahan Rahmi yang bisa dibilang cukup mendadak itu. Apalagi saat Rahmi terlihat jelas-jelas menghindarinya. Ia merasa ada yang janggal, tetapi ia tidak tahu apa itu.
"Gara, gak pulang lo?" tanya Yuda saat melihat Gara yang masih terdiam di belakangnya.
"Eh? Iya, tungguin!"
Di sepanjang koridor menuju parkiran. Pikiran Gara tidak bisa lepas dari Rahmi. Akh, bukan apa-apa. Ia yakin gadis itu menghindarinya karena suatu alasan. Tetapi, apa itu?
"Lo kenapa sih?" tanya Yuda yang melihat Gara uring-uringan sendiri. Padahal sudah waktu pulang sekolah, lho. Bukannya laki-laki itu rindu Anara? Tadi saja Gara sempat bilang ingin segera teleponan dengan pacarnya itu.
"Kalau pengen teleponan sama Anara mah nanti aja di rumah. Kek dunia udah berakhir aja deh. Heran gue pada bucin." Yuda menggeleng-gelengkan kepalanya. Cukup heran dengan tingkah orang-orang bucin. Semenit tidak ketemuan atau saling chattingan, berasa seperti setahun saja. Yap, aura kebulolan itu, Yuda membencinya.
Ah iya! Gara baru ingat. Ia sudah janji akan menelepon Anara nanti. Baiklah, lupakan tentang hal lain. Ia ingin mengobrol dengan Anara dulu untuk sementara. Mengingat sebentar lagi gadis itu akan berulangtahun. Gara akan memikirkan surprise terbaik yang akan ia berikan untuk Anara beberapa hari lagi.
***
Suara lagu dari kamar Gara membuat Adyar menggedor-gedor pintu. Laki-laki itu terganggu gara-gara adiknya begitu tidak 'beretika' saat memutar musik. Mana volumenya bisa didengar tetangga sebelah. Sampai Surya saja bertanya-tanya di rumah seberang. Membuat Adyar malu karena tingkah adiknya itu.
"Woi, Gara!"
Pintu terbuka, menampilkan Gara dengan muka khas bangun tidurnya itu. Apa dari tadi Gara tertidur? Lalu bagaimana dengan musik yang bervolume tinggi itu?
"Volumenya dikecilin dikit! Tetangga pada marah tuh."
Gara menggosok-gosok matanya, lalu ia mengangguk tanpa menjawab apa-apa. Saat volume sudah dikecilkan. Laki-laki itu malah kembali tidur, membuat Adyar menghela napas pasrah.
"Tidur lagi? Ditelepon Anara tuh!" pancing Adyar. Berusaha membuat Gara bangun. Bukan apa-apa sih, soalnya Gara sudah tidur hampir tiga jam. Jarang-jarang adiknya itu tidur siang. Biasanya jam segini Gara asik membaca buku, atau keluyuran dengan Dirga.
Tidak mendapatkan respon apa-apa dari Gara. Adyar lagi-lagi menghela napasnya. Laki-laki itu hendak keluar kamar, tetapi sebuah ide jahil muncul dalam otaknya, membuat dia tertawa kecil.
"Gara, Rahmi diluar tuh. Katanya mau ngomong sesuatu," bisik Adyar tepat pada telinga Gara, membuat adiknya itu segera membuka matanya.
"Rahmi? Tiba-tiba gini?" tanya Gara.
Adyar tertawa keras. Bahkan laki-laki itu sampai memukul-mukul bantal guling, membuat Gara keheranan. "Lo kenapa sih, Bang?"
"Kayaknya cinta lo ke Anara udah hilang deh, Gar."
"Hah? Apasih?"
"Sok-sokan apasih. Suka sama Rahmi lo kan? Ngaku aja udah. Sama gue gak usah sok cool. Jijik gue liatnya."
Gara merotasi kan matanya. Tampaknya Abang laknatnya itu hanya berniat menggodanya. Jadi, lebih baik ia lupakan saja. Emang pada dasarnya berdebat dengan Adyar akan menghabiskan banyak tenaga. Gara sedang tidak mood bertengkar hari ini.
Omong-omong tentang Rahmi. Ia bukannya cinta atau apa ya. Hanya saja, dari tadi ia selalu saja memikirkan sesuatu yang membuat dia tidak enakan. Apa jangan-jangan Rahmi menyukainya? Melihat bagaimana tingkah Rahmi saat bersamanya, tidak menutup kemungkinan bahwa gadis itu menyimpan perasaan untuknya, 'kan?
Cinta? Gara sudah yakin bahwa perasaannya untuk Anara selama ini adalah cinta. Anara itu satu-satunya gadis yang menarik dimatanya. Menarik dalam berbagai hal. Anara gadis penuh semangat, dan juga merupakan tipe Gara sejak dulu. Jadi dia tidak mungkin sejahat itu meninggalkan gadisnya.
"Gara, Rahmi di luar nungguin kamu." Suara Mama dari luar membuat Adyar dan Gara saling bertukar pandang. Baru saja Rahmi disebutkan, dan sekarang....
"Mandi sono!"
***
Gara berada di sini sekarang. Di sebuah kafe yang sering dikunjungi sepasang kekasih, dan tentunya, dia di sini bersama Rahmi. Gadis itu yang membawanya ke sini. Kafe Kenangan.
Beberapa bangku sudah terisi. Jadi mereka berdua duduk di bangku kosong pojok kanan. Di sebelahnya, terdapat banyak macam bunga berwarna-warni, membuat pemandangan jadi sedikit lebih indah.
Sebelum pesanan sampai. Mereka hanya diam. Apalagi Gara yang tidak berani memulai percakapan saat melihat tatapan tajam Rahmi. Jujur, Gara merasa seperti sedang di ruang interogasi.
Karena merasa begitu tertekan dengan tatapan Rahmi. Gara mencoba memalingkan pandangannya ke arah lain. Ia lebih baik melihat bunga-bunga indah itu daripada melihat mata Rahmi yang menatapnya dengan tatapan tajam.
"Gue sebenernya suka sama Lo."
Gara membelalakkan matanya. Masih tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya itu. Walau sempat beberapa waktu lalu ia pikirkan, tetapi ini terasa tiba-tiba.
"Gue udah suka sama Lo dari dulu."
Tidak ada respon. Gara masih kaget dengan ungkapan yang tiba-tiba itu. Lagian, ekspresi Rahmi terlihat menakutkan. Jelas-jelas bukan ekspresi gadis saat mengungkapkan perasaan. Melainkan ekspresi wajah seperti ingin membunuh seseorang.
"Gue ... udah punya pacar," jawab Gara kemudian.
"Anara, 'kan?"
Laki-laki itu mengangguk.
"Gue tau kok, gue cuma mau ngungkapin aja. Perasaan ini ngebebanin gue"
"Gue--"
"Maaf kalau beban ini ternyata pindah ke Lo." Ucapan Gara tiba-tiba terpotong dengan ucapan Rahmi. Membuat laki-laki itu kembali terdiam.
"Nggak jadi beban kok. Perasaan Lo nggak salah, Mi."
KAMU SEDANG MEMBACA
About Time [END]
Teen FictionTak terhitung berapa lama Rahmi menghabiskan waktu hanya untuk mengagumi sosok Gara. Walaupun setelah tahu kalau teman masa kecilnya tersebut telah mempunyai kekasih. Sakit? Tentu saja. Tidak ada yang lebih menyakitkan dari patah hati untuk pertama...