"Minimal usaha dikit lah, kayak bukan Raju aja gue lihat-lihat," sindir Arman.
Raju mengabaikan suara setan yang menggonggong itu, eh memangnya setan menggonggong? Entahlah. Ia sekarang lebih memilih merebahkan tubuhnya di atas sofa dan tidur sejenak. Mumpung masih terlalu pagi.
"Harusnya jangan biarkan Rara sama yang lain. Apalagi sama si Gara," ujar Arman, yang mendapatkan lemparan bantal dari Raju.
"Inget, Man! Lo tuh numpang di rumah gue! Jadi nggak usah banyak bacot!"
Arman tertawa renyah. Laki-laki itu berdiri lalu menendang bokong sahabatnya yang sedang berbaring. "Gue mau makan. Masak kek buat gue."
Helaan napas kasar terdengar, membuat Arman semakin kencang tertawa. "Canda, Ju. Tapi kalau mau masak ya silakan. Gue laper sih."
"Ogah."
Suara getaran ponsel terdengar. Mereka berdua menatap benda pipih milik Raju yang tergeletak begitu saja di atas meja.
"Ju, bokap lo telepon!"
Raju membalikkan badannya malas. Ia meraba-raba ponselnya. Dengan mata tertutup, tidak membuat laki-laki bertubuh jangkung itu kesulitan. Sepertiga detik setelah mengambil ponselnya, ia menekan tombol terima sembari menghela napas pasrah. "Ada apa, Pa?"
"Sopan kamu angkat telepon langsung nanya gitu?"
"Iya, iya. Papa aja deh yang nanya. Aku mah apa gitu."
Arman menggeleng-gelengkan kepalanya pelan. Heran melihat tingkah Raju yang semakin kesini semakin tidak sopan. Yah, walaupun sebenarnya dari dulu Raju sudah tidak sopan sih. Mungkin memang sudah bawaan dari lahir kali. Atau bisa saja keturunan orangtuanya. Bukan bermaksud apa-apa, tapi tampaknya memang kenyataan.
"Papa besok bakal ke sana. Rumah harus rapi, ya! Mama sama adek kamu juga bakal pulang."
Raju langsung duduk. Matanya menelisik seluruh sudut ruangan. Sampah sudah bertumpuk, dan juga baju-baju kotor yang tidak langsung dicuci. Raju menelan ludahnya, sedikit khawatir kalau-kalau semua ini tidak bisa dibersihkan selama satu hari. Ya, karena saking banyak yang harus ia bereskan.
"Sesuai dugaan Papa. Pasti rumah udah kayak kapal pecah. Udahlah, pokoknya besok harus bersih! Papa nggak mau tau." Setelah mengucapkan kalimat tersebut. Papa Raju mematikan telepon sepihak. Membuat putra pertamanya itu segera bangun dan memungut beberapa sampah.
"Bantuin gue anjir, jangan masak dulu! Bersihin ini lebih penting, daripada bokap gue ngamuk besok," titah Raju tak sabaran. Membuat Arman yang sedang sibuk menggoreng nasinya mendadak tidak mood.
"Lo lanjut aja bebersih. Gue yang masak. Kan nanti lo laper juga."
Ponsel kembali bergetar, membuat Raju berdecak kesal.
"Siapa lagi sih!" ujar Raju kasar. Laki-laki itu buru-buru mengambil ponselnya, dan itu suara alarm. Ia lupa! Ia lupa kalau jam sudah menunjukkan pukul 08.00, sepuluh menit sebelum gerbang sekolah ditutup.
"Wo ... woi! Nggak ada waktu, Sat. Cepetan pakek seragam! Sepuluh menit lagi masuk."
"Lah? Anjir perasaan baru aja jam 06.00 tadi."
"Lo sih keasikan nonton bokep."
"Kok nyalahin gue bajeng? Lo yang males-malesan tadinya."
***
Raju dan Arman tiba tiga puluh detik sebelum gerbang resmi ditutup. Dengan napas ngos-ngosan mereka menampilkan senyuman lega karena akan bebas dari hukuman. Ya, beberapa waktu lalu, sekbid keimanan dan ketakwaan menegur mereka, dan bahkan akan mencatat nama mereka berdua ke dalam buku 'Blacklist'. Barangsiapa yang namanya tertera di buku tersebut akan kesulitan mengikuti ujian.
KAMU SEDANG MEMBACA
About Time [END]
Teen FictionTak terhitung berapa lama Rahmi menghabiskan waktu hanya untuk mengagumi sosok Gara. Walaupun setelah tahu kalau teman masa kecilnya tersebut telah mempunyai kekasih. Sakit? Tentu saja. Tidak ada yang lebih menyakitkan dari patah hati untuk pertama...