07. Beruntung Atau Sial?

105 71 160
                                    

Pagi ini, lagu "DNA" oleh BTS terputar di dalam kamar bernuansa lilac tersebut. Sang pemilik kamar menampilkan wajah ceria sembari memakai sunscreen dan bersiap-siap menuju sekolah. Rahmi tersenyum kecil, ia menatap pantulan wajahnya dari cermin. Jarang-jarang ia bangun pagi dengan perasaan yang mendebarkan. Ia tidak tahu, tapi rasa-rasanya, hari ini ia akan bernasib baik.

Setelah selesai bercermin, gadis itu menarik tas yang tergeletak di atas kasur. Tak lupa juga ia merapikan bajunya, lalu bergegas keluar kamar.

"Tumben bahagia." Surya muncul dengan seragam yang sudah rapi. Lelaki itu menatap sang adik dengan tatapan penuh pertanyaan.

"Bahagia jangan ditumbenin. Harusnya ikut bahagia dong kalau gue bahagia," balas Rahmi dengan nada santai. Biasanya sih, gadis itu pasti akan menyemprot Surya jika pagi-pagi sudah mengganggunya. Namun, hari ini tidak.

Saat ketukan pintu terdengar. Rahmi tersenyum cerah. Yap, itu Gara. Lelaki itu sekarang rutin menjemputnya. Apalagi setelah kejadian 'Membantu Dirga' seminggu yang lalu. Mereka sudah semakin dekat semenjak hari itu.

"Ra, udah siap?" tanya Gara saat melihat gadis itu sudah berdiri di depannya dengan wajah sumringah.

"Udah."

Gara hanya terkekeh kecil. Rahmi terlihat bersemangat hari ini. Tidak seperti biasa. Namun, ia tidak ingin bertanya, toh nanti gadis itu pasti akan bercerita dengan sendirinya.

"Gara, hati-hati! Gue nggak tau jin apa yang merasuki adek gue itu. Kelihatannya nyeremin sih." Surya memang tidak bisa jika sehari saja tidak menggangu adik bungsunya. Katakan saja, ia tidak akan enak badan jika Rahmi tidak kesal sehari saja.

"Tenang aja, bang. Kayaknya jin-nya Jin BTS deh," jawab Gara ikut mengusili Rahmi. Sementara gadis itu hanya diam. Namun ia ikutan terkekeh saat mendengar nama idolanya disebut-sebut.

"Doain semoga lancar sama Jin."

"Kalau gue doain nanti Jin nya takut."

"Beda Jin, bang!!"

***

Seperti biasa. Kelas selalu ricuh sebelum jam pelajaran pertama dimulai. Siswa-siswi asik bercengkerama. Begitupun dengan circle Rahmi yang sedang membahas tentang indahnya cinta masa muda.

Mereka memang random. Apa saja menjadi pembahasan. Tak terkecuali jika itu tentang perasaan, dan itulah, Rahmi hanya menjadi pendengar. Mendengar cerita teman-temannya tentang cinta. Kadang, kalau ia tahu, ia ikut bersuara. Namun, ada beberapa hal yang tentunya tidak ia ketahui. Seperti, bagiamana rasanya berpacaran. Jujur sih, selama ini ia tidak pernah berpacaran.

"Mi, jadi kapan nih mau confess ke si Gara?" tanya Mirna kemudian. Mereka kini menatap Rahmi, mencoba melihat gerak-gerik sahabat mereka yang lucu itu.

"Nggak deh. Mending gini aja. Gue udah bahagia, kok."

Mirna menatap Rahmi nyalang. Gadis itu kemudian menunjuk Gara, lelaki yang sedang mendengar musik di pojok kelas. Bersama dengan Dirga yang mungkin sedang mendengar musik juga sembari menyelesaikan kaligrafinya. Tidak ada pembicaraan, tetapi mereka dekat kok.

"Yakin nggak mau?" tanya Mirna memastikan. Namun, dengan nada ejekan tentunya.

"Udah deh, Mir. By the way, Bobby tadi telepon nggak?" tanya Rahmi berusaha mengalihkan pembicaraan. Namun, Mirna tidak semudah itu terpancing. Ia tersenyum miring, lalu berlari menuju tempat duduk Gara. Entah apa yang kini ia obrolkan dengan Gara, Rahmi tidak tahu karena jarak mereka cukup berjauhan.

"Dirga sama Gara nanti mau ikut kita nongki." Mirna kembali duduk dengan senyum penuh kemenangan. Sementara Zilla dan Puja tertawa pelan.

"Si Mirna aktif, ya," ujar Puja tak habis pikir.

"Kapan lagi coba Rahmi fall in love? Nunggu momen kayak gini langka banget. Gue nggak mau kalau first love Rahmi gagal."

Zilla menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia kemudian menatap Puja. Memberi kode untuk pergi ke toilet sebentar, dan Puja tahu itu.

"Eh, gue ke toilet dulu. Nanti kalau Buk Hayati masuk tolong kasih tau, ya," ujar Puja yang mendapatkan anggukan dari Mirna.

Mereka berdua pergi menuju toilet dengan perasaan tak enakan. Ada rahasia besar yang mereka sembunyikan, dan itu cukup membuat mereka uring-uringan.

"Ja, kita kasih tau aja nggak sih?"

"Bukannya udah terlambat? Rahmi udah suka banget sama Gara. Kalau kita kasih tahu, gimana respon Rahmi nanti?" tanya Puja balik. Kali ini, mereka berua melewati koridor sekolah yang sudah sepi. Apalagi bell sudah berbunyi lima belas detik yang lalu, membuat anak-anak segera masuk kelas.

Zilla berdiri di depan pintu toilet. Celingak-celinguk mencari keberadaan orang di sekitarnya, dan setelah dirasa aman, gadis itu berujar, "kita nggak bisa rahasiain terus. Gue kasian, Rahmi berharap banget disaat Gara udah punya pacar."

Puja berdecak pelan. "Kan kemaren-kemaren lo juga yang bilang harus rahasiain." Gadis itu menatap pantulan dirinya dari cermin. Menerka-nerka, jika saja sekarang ia berada di posisi Rahmi, apa yang akan ia lakukan? Dan bagaimana tanggapannya jika sudah tahu fakta tersebut? "Kita kasih tau aja deh. Mungkin dengan itu dia jadi bisa belajar melupakan," ujar Puja setalah beberapa menit berpikir.

Kesimpulan yang dibuat Puja tidak mendapatkan bantahan dari Zilla. Mereka telah bersepakat, mereka akan mengatakan yang sebenarnya.

***

Jam istirahat telah berlalu. Di belakang gedung sekolah, terdapat satu bangunan kosong bekas kebakaran beberapa tahun yang lalu. Bangunan itu sering digunakan para berandalan sekolah. Termasuk Raju dan kawan-kawannya.

"Bisa-bisanya Gara sekelas sama Rara."

Raju menatap Arman penuh selidik. "Emangnya kenapa?"

Arman hanya menggeleng, mengambil botol plastik berwarna merah yang berisi soda kesukaannya. "Mereka udah lupain semuanya nggak sih?"

"Yakali," timpal Raju sembari mengunyah permen karet rasa anggur dengan perlahan. "Lo masih suka sama Rara?"

Arman tersenyum sinis. Membuang botol yang tadi berisi soda ke tong sampah di depan mereka. "Masa lalu, bro. Lagian gue nggak bisa apa-apa kalau Gara udah balik."

Raju hanya terkekeh. "Bisa-bisanya kita suka sama orang yang sama."

"Gue mah dulu. Kalau Lo masih sampai sekarang kan?" Arman bertanya walau sudah tahu jawaban dari itu semua. Raju jelas masih menyukai Rahmi. Walau selama beberapa tahun ini mereka tidak pernah bersama-sama lagi.

"Gue nggak nyangka si bangsat itu balik ke sini." Bukannya menjawab pertanyaan Arman, Raju membuang muka, merasa kesal dengan kepulangan Gara yang tiba-tiba.

"Gimana kalau Lo deketin Rara lagi, Ju? Dan soal Gara, gue yakin bakal lebih mudah ngehancurin dia setelah Lo dapatin Rara."

Sementara itu di sisi lain, Rahmi di dalam kelas menatap papan tulis berwarna putih itu dengan tatapan sulit diartikan. Perasaannya menjadi tidak nyaman, padahal baru tadi pagi dia senang dan berharap keberuntungan datang. Gadis itu tidak pernah tahu, bahwa mungkin yang akan datang kepadanya bukanlah keberuntungan. Namun, kesialan.

"Rahmi, lo dicariin Raju!" Teriakan Shiema membuat semua orang menoleh. Kebetulan, guru yang bersangkutan sedang izin sebentar ke UKS, dan kelas benar-benar free. Semua teman sekelas ricuh, menatap Rahmi yang kini didekati oleh sosok yang paling ditakuti di sekolah ini. Raju Martunis.

"Mau pulang bareng nggak, nanti?"

About Time [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang