"Gue sebenernya suka sama Lo."
Gara membelalakkan matanya. Masih tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya itu. Walau sempat beberapa waktu lalu ia pikirkan, tetapi ini terasa tiba-tiba.
"Gue udah suka sama Lo dari dulu."
Tidak ada respon. Gara masih kaget dengan ungkapan yang tiba-tiba itu. Lagian, ekspresi Rahmi terlihat menakutkan. Jelas-jelas bukan ekspresi gadis saat mengungkapkan perasaan. Melainkan ekspresi wajah seperti ingin membunuh seseorang.
"Gue ... udah punya pacar," jawab Gara kemudian.
"Anara, 'kan?"
Laki-laki itu mengangguk.
"Gue tau kok, gue cuma mau ngungkapin aja. Perasaan ini ngebebanin gue"
"Gue--"
"Maaf kalau beban ini ternyata pindah ke Lo." Ucapan Gara tiba-tiba terpotong dengan ucapan Rahmi. Membuat laki-laki itu kembali terdiam.
"Nggak jadi beban kok. Perasaan Lo nggak salah, Mi."
***
Rahmi membolak-balikkan badannya di atas kasur empuk miliknya itu. Ia benar-benar tak habis pikir dengan apa yang tadi ia ucapkan. Kebiasaan bicara tanpa berpikir memang menjadi kelemahan Rahmi sejak dahulu. Ia membenci kebiasaan itu. Apa yang harus ia katakan besok kepada Gara? Maksudnya, bagaimana ia akan menjelaskan semuanya? Lagian kenapa juga dia nekat confess secara tiba-tiba seperti kemarin itu?
Tadi pun, sepertiga detik setalah ia mengungkapkan perasaan. Rahmi buru-buru berdiri dan pergi meninggalkan Gara, dan sekarang, dia di sini. Tanpa menggantikan bajunya yang tadi, ia malah menutup badannya dengan selimut lembut polos berwarna soft purple.
"Lo kenapa dah?" Suara Yura terdengar. Membuat Rahmi membuka sedikit selimutnya. Memperlihatkan sebelah mata yang menyiratkan pertanyaan kepada sang kakak.
"Temen-temen lo di luar tuh," ujar Yura, sebelum akhirnya keluar dari kamar bernuansa lilac tersebut.
Rahmi menghela napas panjang. Bukan berarti ia muak atas kehadiran teman-temannya itu. Bukan begitu, yaa! Hanya saja, ia ingin istirahat sebentar. Apalagi mengingat kejadian tadi di kafe Kenangan membuat Rahmi tidak mood dalam segala hal.
Dengan langkah berat, gadis berambut sebahu itu melangkahkan kakinya keluar kamar, dan tepat saat ia sampai di ruang tamu, terlihat Mirna, Zilla dan Puja yang sedang asik mengobrol dengan bundanya.
"Bunda kebelakang dulu, yaa," pamit Bunda kepada ketiga gadis itu. Bunda Ani--Bundanya Rahmi memang selalu memberi ruang untuk anak-anak ini bercerita. Ia tidak mau mengganggu mereka dengan bertanya ini-itu. Soalnya dia juga pernah muda. Jadi ia tahu, bahwa anak muda akan risih jika berbicara saat ada orang tua yang kepo dengan pembicaraan mereka. Yah, dia belajar dari pengalaman-pengalaman dahulu sih.
Setelah Bunda Ani resmi menghilang dari ruang tamu. Mirna langsung menarik Rahmi, dan memaksa gadis itu duduk di atas sofa. "Mi, serius lo udah confess ke Gara?" tanya Mirna to the point.
Rahmi mengangguk kecil. Membuat ketiga sahabatnya itu menganga tidak percaya. "Gue seneng Lo berani, cuma satu sisi gue khawatir," ucap Zilla pelan.
"Soalnya tiba-tiba yakan?"
Azilla mengangguk kecil merespon pertanyaan Puja barusan. Ini terlalu tiba-tiba. Apalagi ketika Rahmi jelas sudah tahu Gara telah mempunyai kekasih.
"Terus, jawaban Gara gimana?"
Rahmi menggeleng. "Dia bilang perasaan gue nggak salah. Tapi habis itu dia nggak ngomong apa-apa lagi, dan langsung pulang."
"Lah kok gitu anjir? Harusnya yang jelas-jelas gak sih?" Puja tak terima. Gara itu keterlaluan menurutnya.
"Kita lihat aja besok. Gimana kalau sekarang kita makan-makan aja? Gue laper."
Mirna, Zilla dan Puja saling tatap. Jika Rahmi mengajak makan seperti ini. Maka bisa dipastikan Rahmi sedang bimbang. Ya, Rahmi akan cenderung banyak makan jika suasana hatinya sedang memburuk.
"Hadeh, ribet juga ngurus bayik," ujar Mirna, diiringi kekehan kecil dari kedua sahabatnya itu.
***
10.15
Jam istirahat begini, jangan tanyakan bagaimana keadaan kantin. Karena di jam sakral ini, kantin akan sangat penuh dan bikin sesak. Namun, karena kelas Rahmi bisa dibilang cukup dekat dengan kantin--membuat keempat gadis itu tak harus ikut-ikutan berdesakan. Bahkan mereka sekarang sudah memulai kegiatan makan siang mereka itu.
Seluruh meja telah terisi. Banyak siswa yang tidak kebagian meja terpaksa keluar kantin dan duduk di bangku lain di luar kantin.
Brak!
Suara gebrakan meja itu membuat kantin yang awalnya ricuh menjadi senyap seketika. Di meja paling pojok sana, Gara tampak memegang pipinya yang memerah karena tonjokan dari Raju barusan.
Karena tidak terima dipermalukan. Gara dengan senyuman kecil itu kemudian berdiri dari duduknya. Menatap Raju dengan tatapan tajam. "Gue lagi gak mau bertengkar. Tapi kalau itu mau lo, gue gak bisa nolak," ujar Gara sebelum akhirnya melayangkan tinjunya tepat pada muka Raju.
Raju terkekeh kecil, menyeka darah yang keluar dari sudut bibirnya. "Kalau gak ada api, gak bakal ada asap. Lo ngomong kayak gitu seakan-akan ini semua salah gue. Padahal lo juga yang mulai."
Arman bukannya memisahkan mereka, ia malah asik menonton dengan wajah sumringah. Mungkin, ini adalah momen yang paling ia tunggu-tunggu. Terlihat dari wajahnya yang seakan-akan mengatakan kalau ia enggan melewati momen epik ini.
Sementara di meja seberang. Keempat gadis itu hanya bisa menganga lebar. Masih tidak bisa mencerna atas apa yang terjadi. Bukan hanya mereka, seisi kantin pun kini hanya bisa terdiam.
"Gue udah bilang, 'kan. Masalah keluarga gak usah bawa ke sini. Dan gue juga pernah bilang, kita gak ada sangkut-pautnya, Raju!"
"Gak ada sangkut-pautnya? Di saat gue harus mengorbankan sesuatu yang berharga buat gue, gara-gara masalah itu. Di saat lo dan keluarga lo kabur dan melupakan semuanya. Gitu lo masih bilang gak ada sangkut-pautnya? Kacau sih."
Suara ricuh kembali terdengar. Namun, tampaknya suara-suara itu sedang bergosip ria tentang kedua pemuda tersebut. Mereka bertanya-tanya, ada masalah serius apa sampai membuat mereka bertengkar seperti itu.
"Gue gak tau masalah apa yang ngebuat lo begitu benci sama gue, tapi yang--"
"Lo nggak tau masalahnya? Lo gak tau masalah yang semuanya berawal dari lo?" geram Raju, yang kemudian menggenggam kerah Gara. Membuat beberapa gadis histeris.
"Lo makhluk terbangsat yang pernah gue temui!"
Sebelum Raju mendaratkan pukulannya di pipi Gara. Suara keras milik guru BK menghentikan aktivitas tersebut. Raju berdecak kesal, dengan cepat ia melepaskan genggaman itu dari kerah baju Gara.
"Kalian berdua. Ikut saya ke ruang BK!" titah Pak Malik, membuat seluruh siswa yang berada di kantin, bergidik ngeri.
"Bakal habis mereka."
KAMU SEDANG MEMBACA
About Time [END]
Teen FictionTak terhitung berapa lama Rahmi menghabiskan waktu hanya untuk mengagumi sosok Gara. Walaupun setelah tahu kalau teman masa kecilnya tersebut telah mempunyai kekasih. Sakit? Tentu saja. Tidak ada yang lebih menyakitkan dari patah hati untuk pertama...