2. Yunani Negeri Peradaban

4K 425 9
                                    

-:*:- e d e l w e i s -:*:-

-:*:- e d e l w e i s -:*:-

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

-:*:-


7 Oktober 1929
Bandoeng-Hindia Belanda

Lentera memberi kehangatan cahaya pada sebagian ruang di dalam pilar ringkih rumah yang barangkali lebih layak disebut gubuk. Meski remang penuh kumuh, Sartika tetap nyaman berteduh dan menyambung benang merah di rumah peninggalan orang tua--bersama anaknya.

Anaknya, anak perempuan cantik berkulit pucat dominan Eropa--yang kini tengah membolak-balikan kertas buku bersampul lawas sembari membacanya di atas tikar lusuh dekat lentera. Anak itu beruntung punya fisik yang sempurna macam Ayahnya, beruntung ketika dia pintar disaat anak pribumi lainnya tak bisa membaca apalagi belajar.

"Mah ... " Anak itu melirik manik teduh Sartika dengan tatapan polosnya, ia lebih mendekat merangkak diri padanya. "Ayah itu orangnya bagaimana menurut Mamah?"

Sartika tersenyum, pertanyaan dari anak perempuan itu sedikit membuka lembaran lama yang masih belum kunjung juga ia bakar. "Kasep, hampir sempurna kalau dari segi fisik. Sikapnya tergolong lemah lembut kalau dari sudut pandang Mamah," (Tampan/ganteng) sahutnya lirih.

Aura positif yang Sartika sebar membuat anak itu ikut tersenyum sama hal dengannya. "Tapi kenapa bisa kita tinggal cuma berdua?"

Senyuman Sartika sedikit melemah, ia menangkupkan kedua sisi wajah anaknya yang masih menatapnya bingung. "Kirana ... Ayah itu tentara bayaran, dia harus pulang ke Belgia tanpa Mamah, setelah kontrak kerjanya habis."

Gadis atas nama Kirana itu terdiam tak percaya, matanya menyorot selidik. "Mamah tidak sedang menyembunyikan sesuatu dari Eneng 'kan?"

Sartika menggeleng pelan. "Sudah malam, ayo tidur, belajar bahasa Belandanya lanjutkan besok saja, ya," ajaknya lembut.

Kirana menghela napas kecil, ia mengangguk dengan senyum paksa. Buku milik peninggalan Ayahnya yang terjelampah tak jauh darinya dia tutup dan simpan rapi di dekat sisi kasur tak layak pakai. Setelahnya, Kirana tidur dalam dekapan dan elusan hangat dari Mamah tersayangnya.

Dekapan yang ia suka, dekapan yang tak pernah mau ia bayangkan jika nanti akan lepas. Nyaman, meski masih terasa kosong sebab seakan Sang Raja merasa enggan ikut mendekap putrinya bersama Sang Selir rendahan.

"Goede nacht, Mah," lirih Kirana dengan mata yang sudah terbalut kelopak.

Sartika tersenyum seraya mengangguk, ia berbaring menyusul Kirana, mengecup singkat keningnya. "Slaap lekker, mijn zoon." (Tidur nyenyak, anakku)

-'- -'- -'- -'- -'-

Lampu-lampu kristal cantik bercahaya menerangi lorong megah yang tersampir pilar-pilar gagah. Tak jarang pula netra dapat menemukan barang-barang pajangan silau perak dan emas berkelas di atas beberapa nakas atau lemari kaca. Terpampang jelas semua, emas yang melambangkan kekayaan.

EdelweisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang