32. Sleep Away

1.6K 261 0
                                    

-:*:- e d e l w e i s -:*:-

-:*:- e d e l w e i s -:*:-

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

-:*:-


Hingga bulan terganti Juni, Kirana sama sekali tidak mendapat kepastian keberadaan ayah dari janin yang lagi dikandungnya. Tidak ada lagi cahaya yang membuat Kirana tersenyum bahagia selain merasakan pergerakan kecil dari dalan perut buncitnya. Kini jarang pula dirinya memancarkan senyum tulus semanis gula jawa.

Manik madunya yang kosong memandang langit Bandoeng saat kakinya berpijak. Mendung dan dingin. Kirana berjalan bersama papahan Amanda masuk ke dalam desa seusai turun dari mobil. Dua jongos Jawa ikut dari belakang guna mengawal mereka.

Pasang-pasang mata menjadikan Kirana dan Amanda atensi. Semuanya tertegun bingung melihat orang kaya yang entah dari mana itu datang kemari. Beberapa mulai berbisik saat melihat wajah pucat Kirana yang amat cantik. Mereka mulai ingat pada anak jelita dari kembang desa, Sartika. Yang sudah lama dibawa tentara Belanda untuk diseretnya pergi entah ke mana. Dia masih hidup, membuat mereka membuat persepektif sendiri melihat dia macam tengah--mengandung.

Kirana dan Amanda pergi ke pemakaman umum. Mencari nisan dengan nama Sartika termaktub. Tak disangka, Kirana mendapati Dian, kawan lamanya, tengah bersimpuh di samping pusara yang ia yakini milik ibunya.

Kirana menjauh dari Amanda, ia berderap pelan menjejaki tanah milik orang mati. Ia turut perlahan bersimpuh sampai Dian menoleh terkejut menyadari Kirana yang dia rindu-rindu datang.

"K-Kamu ... Kirana?" lirihnya.

Perempuan itu mengangguk sembari tersenyum tipis. Dian menumpahkan tangisnya, ia memeluk Kirana dengan tubuh yang bergetar. Kirana meloloskan satu butiran air dari matanya, ia mengusap-usap bahu sang kawan.

Sesegukan, Dian melepaskan dekapan. Pandangannya jatuh pada perut perempuan itu yang tak lagi datar.

Dengan pedih, Kirana meraih telapak tangan Dian dan meletakannya di permukaan perutnya. "Aku hamil," bisiknya menyakitkan.

Sekujur tubuh Dian menegang, menatap manik tanpa makna Kirana dengan bergetar. Seluruh pikiran negatif berlomba-lomba masuk ke dalam benaknya. Apa yang terjadi?

"Bilang sama aku kalau kamu sudah menikah." Dian menggenggam kedua tangan Kirana. Ia berharap, sangat berharap semua yang dipikirkannya bukan kenyataan.

Namun yang ia dapat hanya sebuah gelengan hampa. "A-Aku ... gun-dik," sahut Kirana terbata-bata.

Dia kembali menangis kecewa. Dian kian membenci penjajah. Orang asing yang tiba-tiba merenggut kebahagiaannya juga Nusantara yang damai. Dian juga benci mengetahui fakta bahwa temannya Indo-Eropa, dan dia tampak hancur karena Belanda.

Dian menarik Kirana yang tengah berbadan dua kembali ke dalam dekapan. Latar mereka adalah penderitaan yang tiada tara. Batin mereka meraung pada Tuhan Yang Maha Baik.

EdelweisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang