14. Jasminum

2.2K 294 3
                                    

-:*:- e d e l w e i s -:*:-

-:*:- e d e l w e i s -:*:-

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

-:*:-


Seorang gadis berkebaya kuning pudar menatap kosong pemandangan permadani hijau sawah di depannya. Duduk di dalam teduhnya saung yang tak membiarkan sinar matahari siang bolong menerobos. Tak mengindahkan sapuan lembut angin yang mengajaknya untuk damai.

"Dian? Kamu teh ternyata di sini, Asep nyariin kamu dari tadi tahu."

Dengan pandangan tak teralihkan, ia merasakan lantai saung berderit ketika Asep duduk di sampingnya. Masih diam, tak menunjukan tanda-tanda akan menyahuti ucapan pemuda itu.

"Dian," panggilnya lagi. Asep menghembuskan napasnya halus. "Ada apa? Cerita atuh."

Suara burung gereja terbang dengan nyanyian mereka, seolah pemuda mengasihani pemuda yang terabaikan itu.

Sampai pada akhirnya, Asep mengalah dan membiarkan hening mematahkan dialog pembicaraan mereka. Biarlah, Dian akan berbicara jika gadis itu sudah tidak kuat; setidaknya, itulah yang ada di kepala Asep.

"Kirana ... " gumam Dian yang akhirnya membuka suara hingga pandangan Asep teralihkan. "Kirana ke mana?"

Lontaran dari mulut gadis itu seketika membuat kata-kata Asep terhenti di ujung lidah. Mereka tahu semua yang pernah terjadi; tentara bayaran londo yang menagih hutang, dan Sartika yang merenggang nyawa hingga akhiran Kirana terseret paksa.

Mereka tidak tahu teman mereka itu di bawa ke mana oleh mereka. Sampai hari ini, setelah sekian bulan dan persekon waktu lamanya, Kirana tak kunjung kembali. Mereka sedih, mereka merasa kehilangan, tapi mereka tidak tahu harus apa. Dan Dian benci itu semua.

Tiba-tiba isakan halus dari bibir gadis itu membuat Asep panik bukan kepalang. Pipi sawo matangnya kini sudah di terjang anak sungai yang jatuh dari pelupuk mata. Tak lupa juga dengan bahu bergetar, Dian meredam tangisnya dalam-dalam.

"Dian ... "

"Asep, aku rindu sama Kirana," adunya bernada serak. "Ingin peluk dia."

Merasa iba, pemuda itu perlahan merangkak mendekat dan membawa Dian ke dalam dekap secara perlahan. Membuat gadis itu nyaman untuk meluruhkan hujannya.

"Kirana pasti pulang, Dian," bisiknya lembut tepat di dekat telinga gadis bersanggul acak-acakan itu.

"Kapan?" tanyanya serak.

Asep mengusap-usap puncak kepala gadis yang ada di dekapannya. "Asep juga tidak tahu. Tapi Asep yakin, kalau Kirana tak setega itu ninggalin kita."

"Kita doakan, semoga Kirana masih dalam keadaan baik-baik saja sampai sekarang dan nanti."

Kirana, sudah seperti layaknya kakak Dian sendiri. Kirana, sudah seperti adik bagi Asep, Bayu, dan Ahmad. Kirana, sudah seperti bidadari pembawa lentera untuk mereka. Menerangi penglihatan mereka yang buta soal dunia. Persoalan jahatnya kaki tangan Belanda.

EdelweisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang