24. Simfoni Romantika

1.9K 259 13
                                    

-:*:- e d e l w e i s -:*:-

-:*:- e d e l w e i s -:*:-

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

-:*:-

28 Maret 1940

Tak ada diksi yang terlontar begitu rapi mengenyahkan sunyi. Seakan mengembalikan jati diri kediaman Edwin yang kelamnya tiada berpijar silau--terlebih tatkala malam bertandang. Kirana termagu duduk di depan meja rias, meratapi pantulan dirinya yang menawan terbalut dress hitam lengan panjang selutut. Tiap inci wajahnya dibubuhkan riasan lembut yang membuatnya kian mempesona.

Lensa jernihnya sesekali menubrukkan sorot pada pantulan pergerakan Mbok Sari yang mulai menyisir apik untaian benang surai gelapnya. Ada banyak jejeran kalimat yang ingin dirinya ajukan untuk dipaparkan tuntas oleh Mbok Sari. Sejak wanita paruh baya itu datang kemari dengan tiga kotak hitam semacam kado yang sekarang Kirana tahu apa isi di dalamnya; benda-benda yang lagi melekat pada diri.

Senyap tak terbantahkan lagi tatkala pergerakan sekecil apapun langsung terekam ke gendang telinga. Rona senyuman selembut sutra dari wajah perempuan berkebaya langsung tampak begitu dua pasang mata saling memandang sekilas. Tanpa Kirana melantunkan seuntai kata pendek pun, Mbok Sari sudah paham--gadis ini lagi mengumpulkan huruf berakhir tanda tanya untuk diterjunkan.

"Meneer Edwin ingin makan malam dengan Cah Ayu." Perkataannya yang tiba-tiba memecah dentuman keterdiaman, sontak saja membuat kelopak indah Kirana mengerjap tiga kali.

Hah?

"Maksudnya itu s-saya?" tunjuknya gugup pada diri sendiri.

Garis lintang senyuman Mbok Sari masih terpatri, membuat siapa saja yang memandangnya sekejap meneduh. Anggukan yang didapat seketika membuatnya menganga kecil tak percaya. Apa dirinya sedang tidak berhalusinasi? Atau sebab telinganya yang belum dicuci?

"Tapi ... mengapa harus sampai berdandan heboh seperti ini, Mbok?" Dahinya berkerut heran melahirkan kekehan ringan.

"Saya tidak tahu, Cah Ayu. Saya hanya mengikuti titah Meneer."

Pupil mata Kirana turun sorotnya pada benda-benda diatas meja. Agaknya makin bumi bergerak merotasi matahari hingga berganti hari, pemikiran Edwin kian tak terduga yang juga memengaruhi perubahan sikap. Ada apa dengan Tuannya itu? Bukankah sedari awal beliau mendeklarasikan bahwa pria itu tidak sudi melirik dirinya barang sejengkal pun? Semuanya bertambah rumit. Terlebih pada karakter Tuannya yang tak tertebak.

"Cah Ayu?" panggil Mbok Sari pada Kirana yang tampak mengambang dalam lamunannya. Pusat netranya beralih pada wanita paruh baya itu sekejap setelah tersadar.

"Sudah selesai." Ia mengakhiri kalimat dengan tepukan di bahu. "Ayo ikut, saya. Meneer pasti sudah menunggu."

"Ah ... i-iya, Mbok," sahut Kirana membalas dengan goresan santun sebelum beranjak berdiri. Mengangkat kaki menjejaki lantai keluar tatkala Mbok Sari memperlihatkan gestur menggiring.

EdelweisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang