3. Sudut Pandang Manusia

2.9K 342 2
                                    

-:*:- e d e l w e i s -:*:-

-:*:- e d e l w e i s -:*:-

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

-:*:-

25 Oktober 1929
11.00 AM

Kapal Peti Kemas asal Yunani dari Pelabuhan Piraeus merengsek masuk ke dalam area ramai pelabuhan lain setelah mengarungi rute laut Mediterania berhari-hari. Banyak jenis-jenis kapal laut bersandar tertata dekat jembatan ramping panjang di samping kanan dan kiri.

Bangunan-bangunan gagah sentuhan arsitektur classic Eropa dengan banyak jendela menampakan dirinya berjejer berbagai tinggi di pesisir daratan dekat pelabuhan. Rute jalan bagi pengendara mobil vintage menjadi pembatas antara laut dan pemukiman. Bukit kecil juga nampak mencuat di tengah terbangun menara di sana.

Dalam Ruang Palka dengan pencahayaan remang, Edwin bangkit dari pijakan saat mendengar pintu keluar yang luar biasa berat akhirnya dibuka. Ia segera meraih tas gembungnya dan bersembunyi di balik punggung para peti berbadan besar.

Beberapa pekerja masuk untuk mengangkut peti kemas berisi bahan makanan keluar. Tanpa mereka sadari, Edwin gencar berjalan tanpa suara keluar dari dalam Ruang Palka yang telah menyiksa jiwanya setelah menunggu mereka mengeluarkan sebagian besar barang muatan.

Edwin menghembuskan napas dengan mata rapat menyipit sembari mengayun kaki di trotoar ramai. Samping kanannya bangunan cantik berestetika berjejer terjamah para spesies homo sapiens. Agaknya tak sedikit dari para insani berlalu lalang yang menatapnya dengan berbagai macam.

Wajar. Penampilannya yang sedari awal rupawan bak Dewa Hermes, malah sekarang nampak macam gelandangan yang memakai pakaian hasil curiannya. Rambut dan pakaian berantakan yang tak tertata, wajah bantal jelas menguar, lagi--jangan lupakan bahwasannya selama berhari-hari ini Edwin tidak mandi membuatnya bau dan dirinya pribadi sangat-sangat tak nyaman.

Edwin sampai terlampau jijik pada dirinya sendiri sebab buang air kecil dan besar tanpa toilet di dalam Ruang Palka.

Mengingat semua momen itu, anak muda ini jadi menggeram dan mencengkram kuat pegangan tas abal-abalnya di pundak. Terpaksa ia harus menelan malu dalam-dalam. "Sial."

Kalau saja pertunangan di usia muda itu hanya basa-basi ibu-ibu menor bangsawan, pasti Edwin tidak akan senekat ini. Sebab dirinya tahu; jika sudah terikat dengan si Abony-Abony itu sejak dini, dia tidak bisa lepas sampai ke jenjang pernikahan saat dewasa nanti. Seumur-umur Edwin telah mendeklarasikan bahwa dirinya tak akan pernah mau menikah.

Bocah jangkung berumur 14 tahun itu memandang bangunan standar di sisi kanan dan permadani biru laut di sisi kiri bergantian sepanjang kakinya menyusuri jalan. Ia baru menyadari sesuatu hal yang menjanggal. Negara apa ini? Pastinya bukan Libya apalagi Lebanon.

Edwin berdecak, nyatanya otak cerdasnya sudah bosan hidup. Jika si cerdas itu manusia, Edwin ingin sekali menyiksanya. Mengenali tempat saja susah!

Tak ingin membuang tenaganya untuk menahan amarah, anak muda itu menyebrang masuk ke dalam gang berukuran tidak besar tidak kecil. Gerai toko membuka diri menyapa pelanggan dari ujung ke ujung. Edwin mengamatinya dari awal masuk, sampai ia terhenti ketika netra kelabu terpaku pada semua gaya aksara tulisan yang sepertinya pernah ia lihat.

EdelweisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang