7. Di Ujung Tebing Palapa

1.9K 268 0
                                    

-:*:- e d e l w e i s -:*:-

-:*:- e d e l w e i s -:*:-

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

-:*:-


Umpatan dan derap sepatu boots mereka perlahan menghirap di telan jarak. Meninggalkan hening, sunyi, dan dingin. Namun berbeda dengan Kirana yang justru berkeringat menahan sakitnya sembari terduduk. Rautnya kini bertambah, bercampur bersama rasa was-was pada wanita yang telah menyeretnya bersembunyi dari kejaran para tentara Belanda tadi.

"Tenang saja, Mbak tidak berniat jahat," katanya seolah bisa membaca apa yang sedang dia rasakan. "Kakimu cukup banyak mengeluarkan darah meski pelurunya tak terlalu dalam. Tahan sedikit, Mbak akan mengikatnya dengan selendang supaya darahnya tak lebih banyak lagi yang keluar."

Dan setelah mengatakan hal itu, orang di depannya ini benar-benar melakukan apa yang terucap. Sedangkan, Kirana hanya bisa terdiam mencerna logika yang menyerang. Benarkah bisa macam itu?

Wanita kebaya merah itu menatapnya setelah selesai membalut kencang luka yang sedari awal membuat Kirana meringis kencang--menahan sekuat tenaga sakit dan linu yang luar biasa bersarang.

"Tahu alamat rumah kamu? Jika iya, Mbak akan antar dan obati lukamu."

Dirinya mengalihkan pandangannya secara halus dari wajah wanita itu yang terkena sinar rembulan; yang sedari tadi ada dan masuk melewati celah rumah tak kokoh. Kumuh dan tak nyamannya tempat mereka berdialog dapat tercium jelas.

Jika diingat-ingat, kakinya barangkali sudah terlalu jauh dari desa tempat rumah Mamah berada. Ah ... Mamah, ya? Hatinya seketika berdenyut nyeri dan dadanya sesak, sekuat tenaga ia tahan air matanya agar tak berjalan lebih jauh.

"Saya ... " Kirana masih tak melirik wajah wanita itu, bahkan sekedar ekspresi yang di keluarkannya saja ia tak bisa merasakan sebab terlampau tak peduli. Bahkan sakit di betisnya jadi sedikit terasingkan.

Orang ini yang seakan mengerti, lantas berucap, "Apa ada sesuatu yang terjadi? Mau bercerita?"

Tiba-tiba ingatan perawakan Mamahnya tergeletak bersimbah darah bersama tatapan kosongnya membuat Kirana meluruhkan kembali air mata. "Pajak, kami tak bisa membayarnya. Mereka menembak Mamah. Lalu, saya tidak tahu apa yang terjadi sekarang."

Dalam hati, Kirana meruntuki bibirnya yang bercerita tanpa belenggu begitu saja pada orang asing.

Wanita itu tersenyum yang Kirana sendiri tak tahu apa makna di dalamnya. "Mbak mengerti perasaan kamu."

Helaan napas sesak keluar dari mulut Kirana. Dia ... sama sekali tak percaya. Tidak, tidak akan ada seseorangpun yang merasakan perasaanya dari cerita atau tatapan sebelum orang itu secara langsung merasakan sendiri.

"Sekarang kamu butuh uang 'kan untuk bayar pajak? Mau ikut Mbak bekerja? Sekalian kita obati lukamu ini."

Pusat sorot netra Kirana kembali padanya. Tidak ada tanda mencurigakan, malahan gadis itu mulai membenarkan perkataannya dalam hati.

EdelweisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang