11. Buta Rahsa

2.4K 291 2
                                    

-:*:- e d e l w e i s -:*:-

-:*:- e d e l w e i s -:*:-

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

-:*:-


Setelah menyanggul rambutnya asal cepat-cepat, Kirana keluar dari kamar saat fajar belum tampak. Berlama-lama di kamar itu dengan keadaan sadar membuatnya berkeringat tak nyaman.

Gadis berkebaya putih sederhana itu mengayunkan kakinya santai, dengan jahil mendorong satu persatu tirai yang menutupi jendela. Supaya ketika mentari datang nanti, dia akan memberi napas pada kediaman Edwin yang suasananya gersang mirip hutan mati.

Senyum tipis tergaris di bibir, namun saat mata melirik interior di sekitarnya, senyum dia seketika pudar.

Pergerakan kaki Kirana berhenti dengan mulus, memandang keluar jendela yang menampilkan penampakkan ufuk timur. Samar warna jingga larut bersama langit yang masih pekat.

Kepala gadis itu tertoleh, menyapu sekitarnya yang teramat sunyi. Ia sama sekali tidak melihat satu bedinde¹ pun yang membersihkan rumah ini dari tadi. Biasanya, pada waktu ini para bedinde akan mulai membersihkan rumah tuannya seperti apa yang terjadi di kediaman Meneer Eduardo.

Puk.

Badan Kirana spontan tersentak hebat begitu merasakan ada tangan yang menepuk pundaknya. Langsung saja kepalanya menoleh ke belakang dan mendapati wanita paruh baya semalam tengah tersenyum tipis.

Napasnya luruh seketika seraya memegang dadanya, jantungnya bahkan berdetak lebih dari biasanya. "Ibuk ngagetin saja."

"Cah Ayu hari ini cantik sekali, ya? Bagaimana tidurnya?" ucapnya sembari menilai penampilannya secara halus.

Gadis itu tersenyum kecut. "Buruk, Buk."

Dia terkekeh pelan. "Panggil Mbok Sari saja, Nduk."

Mulutnya membulat dan berubah menjadi garisan senyum, seraya mengangguk.

"Meneer Edwin berpesan sama Mbok, kalau sarapan beliau hari ini, harus Cah Ayu sendiri yang buatkan. Apa tidak apa-apa?"

Huh?

Kirana sontak tersenyum seraya menggeleng pelan. "Tidak apa-apa, Mbok. Kalau begitu, boleh antarkan Kirana ke dapurnya?"

Wanita paruh baya itu membalas senyumnya sehangat cahaya mentari yang belum muncul. "Boleh, mari."

Kirana mengayun kaki mengikuti langkah wanita paruh baya itu menyusuri lantai kediaman, membawa mereka ke belakang tempat dapur biasanya bersemayam.

Matanya berkeliaran menyapu dapur di kediaman Edwin yang sedikit gelap, baru terang saat Mbok Sari menyalakan pencahayaan.

"Meneer Edwin suka makan apa biasanya, Mbok?" tanya gadis itu sembari memandangi Mbok Sari yang tengah membuka jendela.

Secercah senyum tipis kembali terbit di bibir Mbok Sari. "Kalau pagi, Meneer biasanya suka sarapan sama Ontbijtkoek². Siangnya dan malamnya, beliau jarang makan di rumah atau kadang-kadang ndak makan kalau setau Mbok."

EdelweisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang