Kebaikan dan kebahagiaan.
Dua hal yang ditanam di pikiranku dalam-dalam oleh ibu kandungku.
Dua nilai yang berkomplementer, yang telah sedikit-banyak membentuk karakterku.
Dua hal yang kukira akan mengalun harmonis, cara hidup terefisien dan terwaras, strategi terbaik untuk melihat dunia dalam bentuk surga.
Sayangnya, kerikil takdir ternyata lebih runcing dari yang aku dan ibuku bayangkan. Keruncingannya bahkan sampai mampu mengoyak prinsip esensial dari pandangan spiritual yang selama ini kami ampu.
Mau diakui atau tidak, ketidakadilan dunia itu nyata, bukan mitos belaka. Seberapa besar pun kau menipu dirimu sendiri dengan gagasan fatamorgana, takkan mampu mengubah realita, bahwa tanah yang kau injak adalah tanah dunia, bukan tanah surga.
Dengan ketidakadilan dunia yang senyata itu, tentu ajaran naif tentang kebaikan dan kebahagiaan saja tak cukup untuk hidup waras. Itulah pelajaran yang kutangkap dari kejadian yang menimpa ibuku.
Jadi, sebenarnya masih ada satu hal yang hilang. Hal yang sama pentingnya dengan kebaikan dan kebahagiaan untuk tetap bertahan menjalani rimba dunia.
Kau tahu apa hal penting yang hilang itu?
Power.
Kekuatan.
Bung, biar kuberitahu. Jadi orang baik dan bahagia saja tidak cukup. Jika kau hanya baik tapi tak bahagia, hidupmu berkelindan penderitaan. Jika kau bahagia tapi tak baik, hidupmu awut-awutan. Jika kau baik dan bahagia, tapi tak ada kekuatan, hidupmu dipenuhi kebodohan. Kau hanya bahagia dalam gelembungmu yang rentan.
Iya. Gelembung. Benda bulat tipis tak ada isinya dan gampang pecah itu.
Hanya butuh sentuhan kecil untuk memecahkan gelembungmu. Bahkan lebih buruknya, gelembungmu bisa saja pecah tanpa ada yang menyentuh, sesederhana karena penguapan. Komposisi gelembung kan air dan sabun. Air menguap sedikit, maka ... ya sudah.
Namun, jika kau menaruh kebaikan dan kebahagiaanmu dalam perlindungan yang lebih kokoh, dan bukan dalam gelembung, maka barulah kau bisa hidup sebaik-baiknya kau hidup.
Perlindungan yang lebih kokoh tentunya adalah kekuatan. Bisa dalam bentuk apapun itu. Harta, kekuasaan, akses, pengaruh, kecerdasan, kejelian, sumber daya, ataupun yang lainnya.
Ada yang bilang, itu semua aksesoris duniawi. Namun, bagiku itu adalah brankas esensial untuk melindungi kebaikan dan kebahagiaan dalam diri.
Lalu, apa peran gadis cantik yang sedang duduk menyantap makanan di hadapanku ini? Apakah dia adalah salah satu bentuk kekuatan?
Tidak.
Dia bukan kekuatanku.
Dia kebahagiaanku.
"Makan, Rion! Jangan ngeliatin aku mulu."
Aku tersenyum. "Aku cuman ... lagi terpikirkan satu hal."
"Terpikirkan apa?"
"Bahwa aku beruntung banget kamu ada di hidup aku."
Dia memandangku heran sembari menahan senyum. "Apaan, sih? Tiba-tiba ngomong begitu."
"Nggak tahu, Nad. Nggak ngerti. Tiba-tiba aja pikiranku kayak gitu."
"Udah, makan aja! Jangan mikirin yang aneh-aneh."
Walaupun respon Nadia terbilang biasa saja, aku tahu dia tersanjung akibat ucapanku. Terbukti dari tulang pipinya yang meninggi akibat menahan senyum, dan semburat merah yang gagal ia tutupi.
KAMU SEDANG MEMBACA
FLY TO YOU || (LHC) ✓
Teen Fiction(Romance, Angst, Brothership) Kau membawakanku surga, tapi aku ingin tinggal di bumi . ⚠️ Warning : manipulative traits, dark psychology, obsession, toxic relationship, rape, abuse, suicidal thought, a lot of curse words . . . -(18+) -Sequel of "Div...