Luka yang pernah tercipta akibat ditinggalkan Ezra membekas di hatiku cukup lama.
Karena bukan hanya tentang cinta yang hilang, tapi kepercayaan diriku pun turut hilang.
Berhari-hari setelah hubunganku dengan Ezra berakhir, aku banyak merenungi diri sendiri, tentang apakah aku begitu buruk sehingga orang-orang yang kucintai berakhir meninggalkanku secara sepihak.
Walaupun Ezra sudah menjelaskan, alasan dia meninggalkanku adalah untuk menghindari konflik dengan saudaranya sendiri, tapi tetap saja. Aku tetap mencari-cari kesalahan pada diriku sendiri.
Apakah aku terlalu jahat? Apakah aku benar-benar tidak termaafkan? Apa aku seburuk itu? Ezra bilang sudah memaafkanku, percaya padaku, dan bahagia bersamaku, lalu kenapa dia menyerah padaku? Kenapa harus dia yang mengalah, bukannya Arion?
Apakah ada sisi diriku yang begitu buruk? Kalau benar begitu, bagian mananya? Aku ingin menghilangkan hal itu, agar aku tidak lagi ditinggalkan orang yang kusayangi
Perlahan tapi pasti, aku mulai berdamai dengan krisis kepercayaan diriku. Namun, tak serta-merta hatiku pulih dalam sekejap.
Pengalaman dua kali ditinggalkan membuatku lebih selektif dalam merasa. Bisa dibilang aku trauma, tapi tidak sebegitu parahnya, bahkan tak sedikit pun aku membenci Mark maupun Ezra. Aku hanya ... tidak mau mengalaminya lagi.
Karena itulah aku membangun tembok yang sangat tinggi di antara aku dan Arion.
Tembok yang, mungkin saja, adalah penyebab aku sulit keluar dari krisis kepercayaan diriku. Tembok yang menghalangiku mencari bahagia. Tembok yang menyulitkan diriku sendiri dan juga kekasihku.
Pada detik ini, tangisanku sudah agak reda. Masih kupeluk tubuh hangat Arion, dan dia pun masih menahanku dan mengusap pelan rambutku.
Aku membuat sedikit jarak dengannya, lalu mengusap jejak basah di wajahku dengan tangan sembari menundukkan kepala.
"Maaf, baju kamu basah," ucapku lemah.
"Nggak apa-apa."
Tangan lelaki itu terangkat, mengusap ujung mataku dengan kedua jempolnya.
Menangis cukup lama berhasil membuat dadaku terasa ringan. Arion pun memperlakukanku dengan lembut, dan aku sangat berterima kasih untuk itu, walaupun harusnya dia marah padaku karena aku baru saja menyakitinya.
Aku menyakitinya dengan berkata bahwa aku tidak menyayanginya, dan ucapan sayangku di sepanjang hubungan kami hanyalah omong kosong.
Sangat wajar jika Arion marah padaku, tapi ternyata dia tidak. Justru memberiku pelukan hangat, dan menenangkanku sebaik mungkin.
"Maaf juga," ucapku, masih sambil menunduk, tak berani berkontak mata dengannya. "Karena telah mengecewakan kamu."
"Nggak, Nad. Kamu nggak mengecewakan aku. Justru aku seneng karena kamu mau jujur sama aku. Makasih, ya, karena udah ngomong jujur."
"Aku..." Kugigit bibir bawahku sebentar, agak ragu mengatakan ini padanya. Namun, sebagai kekasihku, kupikir Arion berhak tahu. "Aku sebenarnya selama ini kesulitan, Rion."
Lelaki itu terdiam, memberiku ruang dan waktu untuk melanjutkan kalimatku.
"Aku kesulitan mengatasi rasa takut dalam diriku."
"Takut kenapa?"
"Takut kamu ninggalin aku."
"Hah? Nggak mungkin, Nad. Aku mana mungkin ninggalin kamu. Kenapa harus takut?"
Arion kembali memelukku dengan lembut.
"Aku mana ada pikiran ninggalin kamu, Nad, karena aku sayang banget sama kamu. Kamu tahu itu, kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
FLY TO YOU || (LHC) ✓
Fiksi Remaja(Romance, Angst, Brothership) Kau membawakanku surga, tapi aku ingin tinggal di bumi . ⚠️ Warning : manipulative traits, dark psychology, obsession, toxic relationship, rape, abuse, suicidal thought, a lot of curse words . . . -(18+) -Sequel of "Div...