32. Arion - Kindness & Happiness, No More

36 5 0
                                    

Bagaimana rasanya hidup tanpa kebaikan dan kebahagiaan?

Jawabannya adalah, seperti di neraka.

Karena, walaupun kisah ibuku tidak berakhir bahagia, ucapannya tentang korelasi antara kebaikan dan kebahagiaan adalah benar adanya.

Kau bisa jadi baik karena kau bahagia, atau kau bisa berbahagia karena kau baik.

Berlandas prinsip itu, maka kau tidak perlu mengalami mati secara literal dulu untuk merasakan surga. Di bumi pun kau masih bisa. Caranya, dengan menjadi baik dan bahagia.

Sayangnya, ombak dunia bisa menyeret dirimu ke segala arah, membuat kebaikan dan kebahagiaan dirimu terkoyak. Jadi, mau tak mau kau harus melindungi mereka. Dengan kekuatanmu.

And that is what I'm doing now. Using my power to make her, my happiness, stay with me.

"K-kita ... mau ke mana?"

Aku menoleh ke samping di mana Nadia duduk di sebelahku. Aku memang belum berkata apa-apa tentang tujuan kami, hanya memaksanya ikut bersamaku melaju menggunakan mobilku.

"Ke Jakarta."

"Hah?! Kenapa kita ke sana?"

"Karena aku nggak tahan kamu dan dia ada di satu kota yang sama."

Gadis itu termangu beberapa detik. "O-oke. Sebentar aja, kan?"

Aku tersenyum remeh. "Jelas nggak bakal sebentar. Kamu pikir kepercayaan aku yang hancur ini bisa kamu perbaiki dalam waktu singkat? Kamu akan di Jakarta berhari-hari."

"Tapi ... aku harus kuliah."

"Pindah kampus sekalian!"

"Hah? Nggak bisa semudah itu."

"Bisa! Kenapa harus nggak bisa? Atau jangan-jangan, kamu nggak mau pindah karena pengen terus ketemu sama dia?"

Aku tetap mengarahkan pandangan ke depan, sehingga tak tahu bagaimana ekspresi Nadia sekarang. Yang jelas, sepertinya dia tersinggung akan tuduhanku.

Masa bodoh dengan itu!

"Kalau kamu memang nggak ada perasaan apa-apa sama dia, harusnya kamu nggak masalah dengan ini. Dengan kamu menolak, justru kamu semakin mencurigakan. Ini konsekuensi kamu mengkhianati aku. Aku terpaksa bertindak begini karena kamu. Karena kamu sering ngeyel dan nggak mau dengerin aku. Lihat sendiri, kan, akibatnya? Andaikan sedari awal kamu dengerin aku, kita nggak akan jadi kayak gini."

Tak ada jawaban apapun yang kudengar. Melirik ke samping, kudapati dia mengalihkan pandangan ke luar dari jendela samping mobil. Mungkin dia kesal, tapi aku tak peduli. Coba bandingkan dengan kekesalan yang kutanggung akibat dirinya!

"Aku nggak bisa ngambil risiko," lanjutku. "Kamu sudah sangat melewati batas. Butuh lebih dari sekadar kata maaf dan janji untuk memperbaiki semuanya. Aku nggak bisa ngebiarin kamu lepas dari pengawasanku. Dan juga, ini demi kebaikan kamu sendiri."

Dia balas melirikku, seakan janggal dengan kalimat terakhir yang kuucapkan.

"Kenapa? Nggak setuju?" tantangku. "Kamu bilang, kamu dipaksa, kan? Itu artinya kamu diperkosa. Kalau kamu tetep di Bandung, nggak menutup kemungkinan akan ada pemerkosaan kedua, ketiga, dan seterusnya. Kamu nggak mau itu terjadi, kan? Kecuali kalau kamu menikmati dan menantikannya, maka itu bukan pemerkosaan. Sekarang pertanyaanku, apa kamu tipe perempuan yang kayak gitu?"

Pupil matanya melebar. Nampak kentara ia tersinggung atas ucapanku.

Pandanganku kualihkan ke jalanan depan, dan tanganku masih menggenggam kemudi mobil ketika aku melanjutkan ucapanku.

FLY TO YOU || (LHC) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang