Malam ini, hujan turun dengan deras. Petir sesekali menyambar diikuti guntur yang menggelegar keras sampai-sampai ruangan ini serasa bergetar. Aku kadang terkaget-kaget karenanya, sedangkan Arion terlihat biasa saja.
Tetap tenang dia berkutat pada layar laptop di atas meja. Kilatan petir maupun bunyi guntur tak terlalu mendistraksinya. Dia hanya akan mengedarkan padangan ke sekitar seakan sedang menggerutu pada semesta yang berisik, lalu terfokus pada laptopnya lagi.
Aku, di atas sofa, konsisten duduk meringkuk memeluk lutut, menatap Smart-TV di dinding yang sedang menampilkan series petualangan, sembari sesekali mencuri pandang ke arah lelaki itu.
"Kalau sampai jam sepuluh masih hujan, aku nginep di sini," ucapnya, tak mengalihkan pandangan dari laptop.
Apa benar dia ingin menginap? Kupikir dia tidak mau tidur sekasur denganku karena masih jijik. Aku memang sudah pindah ke sebuah apartemen studio, bukan lagi di hotel. Namun, tetap saja. Kasur di tempat ini hanya satu.
"Kamu yang tidur di sofa," lanjutnya.
Ah... Begitu rupanya.
Aku yang tidur di sofa, sedangkan dia di kasur.
Tidak pantas aku mengeluh, karena biaya sewa apartemen ini memang ditanggung olehnya. Segala keperluan hidupku di Jakarta pun dia yang menyediakan. Aku hanya perlu hadir, dan dia lah yang mengurus semuanya.
Jadi, hanya perihal tidur di sofa, harusnya aku tak mengeluh, kan? Menggunakan senjata pamungkas 'aku kan perempuan' agaknya tak pantas. Sekarang kan zaman modern. Zamannya kesetaraan gender.
Ngomong-ngomong, sudah beberapa hari aku pindah ke apartemen, bukan lagi tinggal (read:dikurung) di kamar hotel. Memang lebih baik, karena di sini lebih lengkap fasilitasnya. Ada dapur, kulkas, meja makan beserta dua kursi, dan juga sofa panjang untuk bersantai.
Arion pun sudah mengisi kulkas dengan berbagai bahan makanan. Katanya, dengan aku masak sendiri, aku tidak perlu menunggunya membawakan makanan untukku tiga kali sehari, seperti saat masih menginap di hotel. Sekarang ini, kalau Arion tidak mengunjungiku seharian pun, aku tetap tidak kelaparan.
Seperti kemarin, misalnya.
Hari Kamis kemarin, Arion tidak menemuiku sama sekali. Alhasil, kemarin aku benar-benar tidak berinteraksi dengan manusia, dan hanya suntuk menonton TV saja. Kadang membaca novel Harry Potter yang dipinjamkan lelaki itu. Kadang pula aku membersihkan ruangan yang padahal sudah bersih.
Sungguh, aku terlalu banyak waktu luang.
"Ri-" Ucapanku terpotong begitu ingat sesuatu. "ummm... Aku boleh nyebut nama kamu, nggak?"
"Hah?" responnya.
"Kamu masih keberatan nggak, kalo aku nyebut nama kamu? Waktu itu kamu ngelarang aku."
"Ooh. Coba!"
"Arion."
Dia diam sejenak. Jemarinya yang sedari tadi menari di atas keyboard laptop seketika berhenti.
"Hmm... Udah boleh."
Perkembangan baik. Walaupun aku miris juga, karena hanya untuk menyebut namanya saja harus izin dulu.
Hina sekali sepertinya aku baginya. Sampai-sampai dia tidak mau menyentuhku, ataupun mendengarku menyebut namanya.
"Arion," panggilku lagi.
Setelah tak diizinkan memanggil namanya berhari-hari, hatiku jadi menghangat hanya karena bisa menyebut namanya lagi. Sepertinya perlahan-lahan kami bisa kembali seperti sedia kala. Ah! Aku senang.
KAMU SEDANG MEMBACA
FLY TO YOU || (LHC) ✓
Teen Fiction(Romance, Angst, Brothership) Kau membawakanku surga, tapi aku ingin tinggal di bumi . ⚠️ Warning : manipulative traits, dark psychology, obsession, toxic relationship, rape, abuse, suicidal thought, a lot of curse words . . . -(18+) -Sequel of "Div...