48. Arion - Staring at Heaven

35 3 0
                                    

Satu lagi hal yang kupelajari tentang hidup adalah, kau tidak akan merasa takut ataupun khawatir jika sudah tak punya apa-apa.

Seseorang bisa merasa takut ataupun khawatir jika punya sesuatu yang mereka ingin pertahankan. Namun, di titik kau sudah tak punya apa-apa lagi, rasa takut itu lenyap. Mau takut pada apa? Mau khawatir kehilangan apa? Toh, semuanya memang sudah hilang.

Mungkin itulah definisi nyata dari perasaan 'hampa' yang sesungguhnya. Seperti yang sedang kualami sekarang.

Di situasi seperti ini, yang bisa kulakukan adalah mengikuti arus waktu. Tidak ada rasa sakit maupun benci. Hanya ada kepasrahan, juga keputusasaan.

Apa mau dikata, ini semua memang salahku. Aku menyakiti Nadia, kuakui itu. Aku kesulitan mengendalikan emosiku. Aku bodoh, serampangan, tak tahu diri, pecundang, atau apapun itu. Iya, aku mengakuinya.

Memang aku melakukan kesalahan, tapi itu tidak menjustifikasi bahwa cintaku palsu. Tidak sama sekali!

Mark bilang, aku hanya terobsesi karena Nadia sedikit mirip ibuku. Itu juga aku akui, bahwa mereka ada kemiripan, terutama saat Nadia tersenyum. Itulah alasan mengapa aku jatuh cinta pada pandangan pertama ketika berkenalan dengannya dan dia mengulas senyum ramah untukku. (*)

Namun, kalau aku tertarik pada Nadia lantaran dia mirip ibuku, lantas kenapa? Orang bisa tertarik pada orang lain untuk alasan-alasan random. Parfum yang wangi, misalnya. Suara yang indah, tatapan yang lembut, leher yang seksi, tubuh yang molek, dan sebagainya.

Berbagai macam cara manusia bisa jatuh cinta. Namun, untuk mempertahankan cinta, tentu butuh lebih dari itu.

Satu tahun lebih hubungan kami berjalan. Tepatnya enam belas bulan. Tidak mungkin aku bisa bertahan selama itu kalau bukan karena cinta.

Lima jam sebelum keberangkatanku ke Surabaya, kuisi waktu luang untuk memandangi kolam ikan koi di belakang rumah sembari duduk santai di dalam gazebo.

Kak Johan ada di sebelahku, sibuk melempar makanan ikan ke dalam kolam, membuat para ikan berebut makanan dan menciptakan percikan dan gelombang yang tak teratur.

Sesekali dia melempar ke sisi kolam di hadapanku, membuatku mau tak mau terkena cipratan air dari ikan yang menggelepar. Aku melirik Kak Johan sinis, sedangkan dia hanya terkekeh.

"Hati-hati, Kak!"

"Jangan ngelamun makanya!"

"Nggak ngelamun, tuh!"

Kak Johan menepuk-nepuk tangannya untuk membersihkan sisa makanan ikan yang menempel. "Tapi lo keliatan sedih gitu. Jangan sedih, dong! Gue bakal sering-sering main, kok. Dan kalo udah diwisuda, gue bakal langsung pindah ke tempat lo. Janji."

"Nggak usah janji-janji, Kak."

"Kenapa? Nggak percaya sama janji gue?"

Pandanganku menerawang hambar ke kolam. "Rion pernah janji sama Nadia untuk nggak akan ninggalin dia. Tapi sekarang Rion malah mengingkari janji itu. Nggak ada yang menjamin masa depan akan seperti apa, Kak. Selain kematian, hal yang pasti dari masa depan adalah ketidakpastian."

Kak Johan terdiam beberapa saat. "Iya. Lo bener. Masa depan memang nggak pasti." Lalu ia bangkit berdiri. "Gue mau cuci tangan dulu sekalian bikin jus. Lo mau juga nggak?"

"Iya, Kak. Mau."

Kak Johan pun masuk ke dalam rumah, meninggalkan aku sendirian di taman belakang ini.

Aku menghabiskan menit-menit yang sunyi dengan tenang. Gerak-gerik ikan di dalam air ternyata lumayan menarik untuk dilihat. Apalagi dengan suasana taman yang asri nan rindang. Tak heran Ezra sering menghabiskan waktu duduk di sini sembari memandangi ikan.

FLY TO YOU || (LHC) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang