Setelah dipikirkan lagi, kuakui tindakanku pada Nadia cukup gegabah.
Harusnya aku tidak mengkonfrontasinya perihal kedekatannya dengan Mark. Harusnya aku lebih tenang, dan mengutamakan logika alih-alih emosiku.
Sayangnya, kecemburuan sempat membutakanku, hingga aku malah membuat keputusan keliru.
Apapun keputusan yang diambil ketika dikuasai emosi, seringnya keliru, kan?
Imbas kecerobohanku adalah kerenggangan hubungan kami. Nadia menjauh dariku, dan tak ingin bicara denganku selama tujuh hari.
Jika ada yang tanya bagaimana kondisiku karena sikap Nadia, maka jawabannya adalah tersiksa setengah mati.
Tapi, tentu saja, hal itu tidak berlangsung lama.
Karena aku bukan lagi Arion yang dulu.
Aku bukan lagi lelaki melodrama yang sudi berlama-lama disiksa rasa, dan bersedia meruntuhkan harga diri demi gadis itu semata.
Aku bukan lagi lelaki kelas 3 SMA yang dimabuk asmara sampai terlihat seperti orang gila saking putus asanya mengejar cinta.
Aku bukan lagi lelaki yang tahan tiga minggu bertemankan kegamangan, bergelung meratapi parahnya hati terluka, dan terjebak di zona antara membencinya dan mencintainya. (*)
Tidak. Aku bukan lagi Arion yang se-sentimental itu.
Cukup beberapa hari saja aku terombang-ambing dipermainkan kecemburuan, kekhawatiran, dan kepedihan.
Karena setelah puas meninjui samsak di ruang olahraga rumah selama puluhan menit kemarin, dan setelah berpesta beer dengan para anggota Andromeda kemarinnya lagi, kepercayaan diriku yang sempat retak mulai pulih lagi.
Empat hari ini banyak kuhabiskan waktu untuk memulihkan kinerja logikaku. Karena, seperti yang orang-orang bilang, cinta kadang bisa membutakan.
Tapi maaf-maaf saja, aku tidak mau seperti itu.
Aku ingin bermain cinta tanpa harus menjadi buta. Biarpun aku adalah pihak yang punya cinta lebih besar, aku tidak mau dibuat buta.
Aku selalu tidak suka dikuasai atau dikendalikan, oleh siapapun itu. Andaikan harus memilih, aku lebih suka mengendalikan daripada dikendalikan.
Termasuk dalam perkara romansa.
Satu tahun hubungan kami berjalan, dan sepertinya Nadia berpikir bahwa dia lah pemegang kontrol hubungan kami. The dominant of this relationship.
Tapi tentu saja kenyataannya tidak. The real dominant of our relationship is me, not her.
"Nadia!"
Perempuan itu menoleh, diikuti dua perempuan lainnya yang berjalan di sampingnya. Langkah mereka terhenti sejenak setelah melewati gerbang utama kampus.
Kuulas senyum pada kekasihku itu, walaupun tahu takkan bersambut.
Setelah obrolan singkat yang kupikir ucapan perpisahan, Nadia memisahkan diri dari dua teman perempuannya itu, lalu berjalan menuju diriku yang sedari tadi berdiri agak jauh dari gerbang.
Tepat di hadapanku dia berdiri. Arah pandang kami sudah terkunci pada masing-masing, dan sudah kusambut ia dengan senyuman tipis. Namun, Nadia tetap berekspresi datar.
"Kangen aku nggak?" tanyaku, mencoba membuka obrolan.
"Kenapa kamu ke sini?"
"Nggak boleh, ya? Apa karena belum tujuh hari? Aku udah kangen kamu. Makanya aku ke sini dadakan naik pesawat setelah selesai kelasku. Ah! Sayang banget aku nggak bawa mobil. Kita naik taksi aja, yuk! Kita ngobrol di tempat lain."
![](https://img.wattpad.com/cover/298414664-288-k856509.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
FLY TO YOU || (LHC) ✓
Novela Juvenil(Romance, Angst, Brothership) Kau membawakanku surga, tapi aku ingin tinggal di bumi . ⚠️ Warning : manipulative traits, dark psychology, obsession, toxic relationship, rape, abuse, suicidal thought, a lot of curse words . . . -(18+) -Sequel of "Div...