44. Arion - Loser's Hope

21 4 0
                                    

Hampa.

Itulah yang kurasakan ketika mendapati apartemen ini kosong tak berpenghuni.

"Nad!"

"Nadia!"

"Nad, kamu di mana?!"

"Nad, please..."

Tergesa kucari gadis itu di segala penjuru apartemen, tapi tetap tak kutemukan dirinya. Sama sekali tidak ada. Dia menghilang bagai ditelan bumi. Tanpa pamit. Di saat aku sangat tidak siap.

Tidak...

Tidak boleh begini!

Nadia-ku tidak boleh meninggalkanku seperti ini!

Tidak!!

BRAKK!

Barang-barang yang ada di atas kabinet berceceran di lantai akibat kutepis dengan tangan dalam sekali gerakan. Kursi kulempar keras-keras ke cermin sampai cermin itu pecah. Tirai kutarik hingga lepas. Segala benda yang terjangkau kurusak secara membabi buta tak peduli separah apa. Persetan dengan semuanya! Persetan! Persetan!!

Duniaku berputar. Di tengah detak jantung yang menggila akibat amarah, suhu tubuhku justru menurun hingga tanganku perlahan menggigil. Seperti ada kekosongan yang nyata di dadaku. Kekosongan yang ironinya menyesakkan. Dan juga memberatkan.

Akhirnya, aku meluruh di lantai di antara ceceran barang-barang. Pusing segera menyergapku secara serampangan. Semakin lama, pusing yang menyerangku semakin hebat. Ini sungguh terlalu kuat, hingga akhirnya aku tergolek dalam keadaan lemah tak bertenaga.

Di ambang kesadaran, aku bertanya-tanya dalam hati.

Inikah puncak tragedi hidupku?

Atau masih ada tragedi lainnya yang sedang menungguku di masa depan?

Tidakkah semesta mengerti bahwa aku sudah tidak sanggup? Aku sudah menyerah. Jadi tolong, bebaskan aku dari semua ini!

Lalu semuanya gelap.

---
---

Hal pertama yang kudapati begitu membuka mata adalah langit-langit putih yang begitu asing. Melirik sedikit, kudapati tanganku dipasangi selang infus. Dan ... entahlah. Semua ini begitu tak wajar.

Apa yang terjadi?

"Arion, kamu udah sadar?"

Kudapati sosok Papa mendekat. Kak Johan pun segera muncul dan ikut berdiri di samping Papa. Keduanya memandangku haru, sedangkan aku masih mencoba menetralkan pusing yang kurasa.

"Syukurlah kalau kamu udah sadar, Nak," sambung Papa, terdengar tulus. "Kamu pingsan di apartemen, lalu dibawa petugas apartemen ke rumah sakit ini."

Aku sempat dibuat nyaman atas lembutnya cara bertutur Papa. Tak beruntung, begitu ingat kembali atas segala yang terjadi, aku tidak bisa memandang Papa dengan cara yang sama lagi.

Kurang lebih tujuh tahun aku menjadi anak Papa. Beliau pun merawatku dengan baik, dan tak pernah sedikit pun aku merasa tak disayang olehnya selama ini.

Namun, bagaimana jika kasih sayang yang Papa limpahkan padaku ternyata palsu? Bagaimana jika selama ini Papa memperlakukanku dengan baik karena permintaan Mark saja, dan bukan karena Papa benar-benar menyayangiku? Bagaimana kalau selama ini aku hanya hidup dalam ilusiku sendiri, mengira aku anak Papa, padahal Papa tak pernah berpikiran sama?

Kehampaan itu kini hadir lagi. Kali ini dalam bentuk lain. Ke bentuk yang lebih menyesakkan.

Orang bilang, patah hati karena romansa rasanya sungguh buruk, tapi tak lebih buruk daripada patah hati karena keluarga.

FLY TO YOU || (LHC) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang