46. Arion - The Future

18 3 0
                                    

Lama aku memandangi gelang di atas meja belajarku itu sembari sesekali memainkannya.

Gelang itu, gelang pemberian Ezra di hari perayaan ulang tahunnya (*). Gelang yang awalnya tak kusukai kehadirannya karena terlalu menggelikan, kini menjadi benda yang bermakna sentimental bagiku.

Haruskah aku mengembalikan benda itu pada Ezra sebelum aku pergi ke Surabaya? Atau, lebih baik kubawa saja bersamaku sebagai kenangan?

Satu hal yang menyakitkan tentang kenangan adalah, jika keadaan kita sekarang tak lagi seindah kenangan itu sendiri. Kenangan, yang harusnya menjadi sesuatu yang manis untuk diingat, malah menjelma mimpi buruk yang ingin dilupakan.

Membawa gelang ini bersamaku mungkin akan mengingatkanku tentang luka yang kuemban sekarang. Namun, gelang ini juga bisa menjadi simbol, bahwa keharmonisan pernah tercipta di bawah atap rumah ini.

Mungkin sebaiknya kubawa benda ini bersamaku, demi menghargai Ezra. Jika membawa kenangan baik, maka beruntunglah aku. Jika membawa kenangan buruk, kuanggap itu bagian dari karmaku yang belum selesai.

Selain perkara gelang, ada satu hal lagi yang ingin kuluruskan sebelum aku angkat kaki dari rumah.

Yaitu tentang Nadia. Cintaku. Cahayaku. Cakrawalaku.

Meski belum memastikan, aku sudah yakin kalau Nadia dibawa pergi oleh Mark. Jika aku meminta Mark untuk mengizinkanku bertemu dengan Nadia, sepertinya kecil peluang lelaki itu akan mengizinkanku.

Jadi, daripada tidak ada pembicaraan sama sekali, lebih baik kurekam video saja untuk Nadia, entah nanti akan dititipkan pada siapa.

Aku menyandarkan ponselku pada tumpukan buku, lalu mulai merekam video lewat benda pipih itu.

"Ekhm... Ha-halo, Nad. Apa kabar? A- ... Haishh!"

Aku membuang video gagal yang tadi, lalu kembali merekam ulang.

"Nad. Aku ... Aku nggak tahu harus mulai ini dari mana. Ada banyak hal yang perlu kita bicarakan, tapi kayaknya kesempatan kita sempit banget. Jadi, terpaksa aku hanya ngerekam video ini untuk ... menyampaikan beberapa hal ke kamu.

"Sebelumnya, aku ingin minta maaf ke kamu atas segalanya. Sepanjang hubungan kita, aku banyak kekurangan. Aku sering bikin kamu sedih, nangis, kecewa, marah, dan kesalahanku yang paling fatal adalah, aku menyakiti kamu, physically and mentally.

"Aku bener-bener hilang kendali waktu itu. Bukan aku lagi nyari pembenaran. Aku mengakui perbuatanku salah. Aku hanya ... ingin kamu mengerti bahwa aku nggak bermaksud menyakiti kamu. Kecemburuan dan kemarahan yang besar bikin aku nggak jadi diri sendiri untuk sesaat. Padahal aku sayang banget sama kamu, tapi ... entahlah.

"Satu yang salah dari perasaanku adalah, aku nggak bisa mengendalikannya. Ternyata benar kata orang-orang, bahwa sesuatu yang berlebihan itu nggak baik, termasuk berlebihan dalam mencintai. Kalau aku nggak mencintai kamu terlalu besar dan hanya sewajarnya aja, mungkin kita bisa lebih bahagia. Iya kan, Nad?

"Sekarang, di situasi rumit kayak gini, aku nggak tahu harus apa. Aku bener-bener pengen menepati janjiku untuk nggak ninggalin kamu. Namun ... aku nggak punya pilihan. Aku nggak dikasih pilihan untuk tetap berada di sekitar kamu. Bahkan andaikan aku bersedia dilempar ke penjara maupun ke jalanan, aku tetep nggak diberi kesempatan untuk bareng kamu terus.

"Karena sialnya aku terjebak dalam sebuah kompetisi yang nggak bisa kumenangkan. Aku minta maaf untuk itu. Untuk nggak menepati janjiku ke kamu. Aku sungguh-sungguh minta maaf karena jadi pecundang. Karena jadi cowok yang sangat lemah, nggak berdaya, nggak bisa apa-apa. Aku bener-bener minta maaf.

"Yang kuinginkan adalah bareng kamu terus. Sepanjang umurku. Berbagi banyak hal sama-sama. Melewati pahit-manis, asam-garam, serta warna-warni dunia. Aku beneran pengen seumur hidup bareng kamu. Dulu banget, kamu pernah nanya cita-citaku apa, kan? (**). Saat itu aku jawab 'rahasia'. Sekarang kamu udah tahu jawabannya, Nad. Kamulah cita-cita terbesarku.

FLY TO YOU || (LHC) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang