37. Nadia - Horn

33 3 0
                                    

⚠ Trigger warning : kekerasan fisik ⚠

(Silakan skip ke bab selanjutnya kalau nggak mau baca yang rada-rada)

---
.
.
.
.
.

Tidak ada obrolan yang terjadi setelah 'kegiatan mencari surga' kami selesai.

Dia hanya berbaring miring membelakangiku, tanpa suara, tanpa gerakan, dan tanpa mempedulikan aku yang terus berkemelut dengan berbagai pertanyaan tentangnya.

Apa tadi aku melakukan kesalahan? Apa dia tidak menikmatinya? Apa aku tidak sesuai ekspektasinya? Apa aku kurang mahir? Sebenarnya, apa yang sedang dia pikirkan dan rasakan? Aku sangat ingin tahu.

Pelan-pelan aku bergeser mendekat padanya. Kuintip dia sedikit, dan kudapati dia tidak sedang tidur. Bahkan kami sempat berkontak mata karena ia sekilas melirikku, sebelum akhirnya mengalihkan pandangan ke depan lagi dengan hambar.

Aku semakin merapat lalu memeluk tubuhnya dari belakang. Berdetik-detik menunggu, tak ada tepisan. Tak pula ada keluhan maupun penolakan. Dia hanya terus diam, dan kuanggap itu pertanda persetujuan.

"Aku seneng banget hubungan kita akhirnya membaik," ujarku memecah kesunyian.

Tapi balasan darinya ternyata tak begitu manis. "Hanya karena kita having sex, bukan berarti aku udah maafin kamu."

Senyumanku berubah getir. "Iya. Aku tahu."

Butuh waktu lama untuk mengembalikan kepercayaan yang rusak, aku tahu itu. Namun, perbaikan kecil dalam hubungan kami, sesederhana dia yang sudah mau bersentuhan fisik lagi denganku, adalah hal yang sangat kusyukuri.

Karena dengan terus-menerus melakukan perbaikan, walaupun dari hal-hal kecil sekalipun, akan memberi dampak signifikan bagi perkembangan hubungan kami di masa depan.

Aku menanti hari itu tiba. Hari di mana hubungan kami jadi lebih kokoh, lebih hangat, dan lebih membahagiakan. Aku tahu kami bisa meraih titik itu. Meski sulit karena kerusakan yang ada sangatlah parah, tapi aku yakin kami masih ada harapan.

"Apa kamu bahagia, Nadia?"

Lagi-lagi senyumku terulas. Ah! Senang sekali mendengar Arion menyebut namaku lagi, bukan memanggilku hanya 'hey' saja.

"Apa kamu bahagia sama aku?" Lelaki itu mengulang pertanyaannya.

"Of course aku bahagia." Kuangkat kepalaku sedikit untuk mengecup salah satu tahi lalat di pipinya. "Banget," sambungku, lalu lanjut mengecup tiga tahi lalat lain di pipi kirinya itu.

"Maksudku bukan sekarang. Tapi dulu. Sepanjang satu tahun hubungan kita. Apa kamu bahagia?"

Aku terdiam sejenak, memikirkan kalimat terbaik untuk menjawab pertanyaan sensitifnya.

"Nggak ada hubungan yang sempurna di dunia ini. Termasuk hubungan kita," jawabku.

"Jadi kamu nggak bahagia?"

"Bukan begitu. Kita dulu masih di fase adaptasi. Kita menemui banyak kesulitan karena belum saling memahami. Tapi sekarang, walaupun belum sempurna, kita jadi lebih memahami satu sama lain, kan? Aku yakin hubungan kita akan segera membaik. Jangan kehilangan harapan, ya?"

Dia terdiam sejenak, masih tak mau balas memandangku. "Singkat katanya, kamu nggak bahagia."

"Bukan gitu maksudku..."

"Nggak apa-apa. Aku paham, kok."

Tanganku yang memeluknya disingkirkan. Dia pun bangkit, lalu memakai pakaiannya yang tercecer di lantai secara lengkap.

FLY TO YOU || (LHC) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang