13. Nadia - Afraid To Love

44 11 1
                                    

Sudah lima belas menit kami berdua makan di kantin kampus ini, dan selama itu pula Evelyn tak henti membahas tentang Mark.

Tentang betapa baiknya lelaki itu, betapa gentleman-nya, sopan, tenang, down to earth, lucu, peka, pendengar yang baik, pemberi saran yang baik, misterius tapi ramah, dan juga ―yang paling Evelyn sukai― wangi.

Semua hal itu bisa diketahui Evelyn karena mereka sempat jalan-jalan berdua malam Minggu kemarin. Kata Evelyn, mereka pergi ke mall, menonton di bioskop, makan-makan, dan membeli beberapa barang bagus.

"Parfum yang dia pake itu enak banget. Wanginya halus, seger, dan maskulin. Bikin betah lama-lama deketan sama dia. Kira-kira mereknya apa, ya?"

"Waktu di mall, aku nggak ngomong pengen makan kebab, cuman ngelirik gerainya aja. Dia ternyata peka banget, dan langsung nanyain 'kamu pengen makan itu, kah?'. Oh my! Jarang-jarang lho ada cowok sepeka itu."

"Dia punya aura yang bikin siapapun nyaman sama dia, entah cewek atau cowok. Dia nggak canggung sama sekali, dan cair banget obrolan kami seakan kami teman lama. I feel so close to him, walaupun baru kenal beberapa hari."

Begitulah kira-kira isi curhatan Evelyn padaku.

Aku sebenarnya agak tak menyangka terhadap progres perkenalan mereka yang terbilang cepat, mengingat aku baru memberikan nomor Mark ke Evelyn hanya beberapa hari yang lalu.

Tapi ini tetap hal yang bagus. Evelyn nampak senang dengan kedekatan mereka. Sepertinya Mark juga sama. Uhm... Entahlah. Mungkin harus kutanyakan sendiri pada lelaki itu.

"Kamu beneran nggak ada perasaan apa-apa sama dia, Nad?" tanya Evelyn.

Aku tersenyum pada perempuan yang duduk di depanku itu. "I have a boyfriend."

"I know. I mean, andaikan aku punya pacar pun, aku akan mempertimbangkan ninggalin pacarku demi cowok kayak Mark."

"Hahaa... Kasian banget pacar kamu."

"Mark is so damn perfect. Aku nggak nemu kata lain untuk mendeskripsikan dia selain perfect."

"Kamu yakin banget? Baru kenal beberapa hari, lho. Lagipula, dia punya flaw juga. Kan masih manusia."

"Flaw-nya apa?"

"You'll find out kalo udah lebih deket sama dia."

"Kamu bilang, dia bukan player, kan? Bukan mata keranjang yang sana-sini godain cewek, kan?"

"Nggak, kok. Mark bukan cowok kayak gitu."

"Lalu flaw-nya apa?"

"I can't tell you. Kamu harus cari tahu sendiri.

"Well, selama dia bukan cowok mata keranjang, tukang ghosting ataupun tukang PHP, flaw dia kayaknya bisa kuterima."

Aku tersenyum saja, lalu obrolan kami pun mengalir ke topik lainnya secara natural, sembari terus menyantap makanan kami.

Terkait tentang flaw, aku tidak bisa membicarakan kekurangan lelaki itu pada Evelyn. Bagaimanapun juga, aku lebih dulu mengenal Mark daripada Evelyn. Jadi agaknya kurang pantas membicarakan kekurangan teman lamaku pada teman baruku.

---
---

Saat sedang berjalan di koridor kampus, kornea mataku menangkap sosok lelaki yang sedang duduk di salah satu bangku taman.

Arah pandangnya sangat fokus pada buku yang ia pegang. Kadang mulutnya bergerak, merapal lirih tulisan-tulisan di buku itu.

Aku mengendap-endap mendekatinya, tak mau ia menyadari eksistensiku. Begitu sudah dekat, kututup matanya dari belakang dengan dua tangan.

FLY TO YOU || (LHC) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang