38. Arion - Halo

25 4 0
                                    

Seorang temanku pernah berkata, bahwa cinta itu seperti api.

Menerangi dalam gelap, melelehkan yang beku, menghantarkan kehangatan, dan menjadi sumber kekuatan.

Namun, karena cinta adalah api, cinta bisa pula melahapmu hidup-hidup dalam kobarannya. Tak pernah cinta menunggumu untuk berpikir, tiba-tiba saja kau disambar tanpa sempat menyelamatkan diri.

Lalu, ketika kau tak bisa mengendalikannya, dia akan berkuasa atas dirimu. Kau tunduk setunduk-tunduknya, tak berkutik tatkala cinta menghancurkan segala yang kau punya secara membabi-buta.

Dan pada saat itu, tak ada yang bisa kau perbuat. Tangan dan kakimu serasa terikat. Lehermu tercekat. Dan tubuhmu terbebat ketat. Kau, di depan kobaran yang menjilat-jilat, hanya bisa termangu dalam kepasrahan sembari melantun seuntai doa agar menemukan bagian dirimu yang masih selamat.

"Ini kembaliannya, Mas."

Aku menerima uang kembalian dari kasir apotek itu, lalu berjalan menuju mobilku di pelataran sembari menjinjing kresek berisi obat-obatan untuk luka luar.

Di dekat apotek terdapat penjual martabak. Aku pun mampir sebentar untuk membeli satu porsi, kemudian melajukan mobil menuju apartemen.

Yang sedang kulakukan ini sungguh sialan, bukan?

Aku membelikan obat-obatan dan makanan untuk gadis itu. Padahal tiga jam yang lalu keadaan sungguh buruk. Aku menyakitinya karena dia menyakitiku, yang mana dia melakukannya karena pernah disakiti aku yang disakiti olehnya.

Ck! Lingkaran setan sialan!

Benar kata temanku itu. Cinta memang seperti api.

Bisa hangat, bisa bangsat. Kadang nikmat, kadang keparat.

Yang sedang kualami adalah titik terkeparat dari cinta. Hurting each other endlessly, mercilessly, sampai kami sama-sama sekarat.

Apa yang bisa diharapkan dari cinta seperti itu?

Aku membuka pintu, lalu berjalan pelan menuju kamar. Kuletakkan kantung kresekku di atas nakas, lalu kembali ke ruangan depan untuk mendekat pada seorang gadis yang tergolek lemah di lantai.

Tanganku terselip di lutut dan punggungnya, lalu kuangkat dia hati-hati. Tak ada reaksi yang kudapat ketika kurebahkan dirinya ke atas kasur.

Mata sayu itu mengerjap lemah, enggan terarah padaku. Bintang-gemintangnya telah padam, tergantikan kekosongan. Jejak basah ada di mana-mana, baik yang bening maupun yang merah pekat.

Kuambil tisu, lalu kubasahi sedikit dengan air mineral botolan yang kubeli. Kemudian, kuusapkan pada area di bawah hidungnya, bermaksud menghilangkan jejak merah pekat dari sana.

Hanya butuh beberapa usapan agar noda itu sirna tanpa sisa.

"Kalau sakit, bilang," ucapku sebelum mengompres daerah kebiruan di wajahnya dengan handuk kecil yang sudah tercelup air es.

Telaten aku mengurusi dirinya. Tak hanya mengompres, aku juga menyematkan plester pada lukanya yang agak terbuka. kuharap benda itu bekerja dengan maksimal. Kalau bisa, jangan sampai meninggalkan bekas.

Selama aku melakukan aktivitasku, tak ada gerakan atau ucapan yang dia tunjukkan. Netranya menerawang jauh ke objek tak terjangkau, sesekali mengalirkan satu-dua tetes air yang segera kuhapus sebelum membasahi bantal.

FLY TO YOU || (LHC) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang