Bagian Dua Puluh enam : Bagaimana Jika Berdamai Saja?

12.6K 1.6K 156
                                    

Sekilas, bayangan masa lalu mengenai aku dan Sean hinggap tanpa kuundang. Bertebaran diotak tanpa permisi. Hal-hal yang membuatku tersadar mengenai asal mula aku mulai menyukainya pada masa kanak-kanak.

"Terima kasih." Aku mengucapkan kalimat itu dengan setengah hati kepada Sean yang kini menawarkan sebuah sapu tangan kepadaku, yang dengan sangat baik aku gunakan untuk mengelap ingusku yang secara tidak aesthetic keluar bersamaan dengan air mata.

Memalukan!

Mengapa aku malah menangis seperti anak kecil? Seharusnya aku marah saja dan menghajar Sean hingga babak belur. Benar, begitu saja!

Tapi apalah daya. Masa lalu yang aku lewati mulai bertebaran, membuka kembali luka lama yang kututup secara paksa.

"Mengenai sikapku dahulu, aku minta maaf." Ujar Sean kepadaku setelah keheningan kami beberapa saat yang lalu.

"Kutolak." Maaf saja, aku tidak doyan permintaan maafmu.

Kami berdua duduk dibawah pohon Apel. Karpet berwarna merah yang sempat aku gunakan untuk menikmati alam kami duduki bersama. Dahulu kala, aku menanti betul momen ini. Namun sekarang, aku rasanya ingin menghilang saja setelah adegan memalukanku sebelumnya dan hal-hal buruk yang terjadi akhir-akhir ini.

Sean kemudian menatapku. Mata merahnya itu menyipit dan alisnya terangkat sebelah. "Rendah hatilah sedikit."

"Kau terlalu banyak mau. Aku ini terlampau sakit hati."

Seharusnya begitu aku berteriak mengatakan A B dan C semua perlakuannya padaku, pria ini haruslah tahu dan pasrah bahwa ia tak lagi termaafkan.

Dasar para lelaki. Tidak peka dan bodoh. Apakah mereka pikir perlakuan seperti itu tidak melukai hati kami-para wanita? Jelas saja luka itu menganga lebar hingga pedih rasanya. Cintaku kepadanya begitu tulus, dan kemudian ia hancurkan begitu saja. Keparat! Aku dendam setengah mati.

"Ada alasan mengapa aku melakukan itu."

Tentu saja harus ada. Jika kau mengabaikanku hanya karena tidak suka disaat aku jelas-jelas menjalin hubungan denganmu, aku jelas akan tambah murka. Jika tidak suka, maka cobalah bersandiwara. Sean bahkan tidak mencoba bersandiwara dan membuatku semakin tenggelam.

Dasar Iblis! Kejam!

"Dengarkan baik-baik." Titahnya padaku. Mata Sean tidak menghadap kepadaku. Pria itu menatap bangunan Rumah Blumaz yang terlihat di taman yang kami singgahi. Walau begitu, Sean tampak serius.

Aku yang semula berfokus pada sapu tangan dan air mata lantas menekuk kaki, kemudian memeluknya dengan lenganku. Setidaknya sekali ini saja, aku akan mendengar kata-kata Sean.

Kuharap, alasan pria itu tidak sekedar ia risih kepadaku atau hal-hal berbau tidak nyaman denganku. Kuharap begitu.

"Ketika aku berumur lima tahun, aku mengalami pelecehan oleh pengasuhku." Ujar Sean, yang membuatku sontak terdiam dengan mata melebar.

Segera kutolehkan kepalaku kepadanya. Sean, yang mengatakan hal mengerikan itu hanya menatap jendela mansion Blumaz dengan serius, walau begitu matanya tampak sedih dan ketakutan. Barangkali, Sean mendapat trauma atas kejadian yang menimpanya.

"Pengasuhku terobsesi dengan ayahku. Ketika Ibuku menjadi Grand Duchess dan melahirkanku, Pengasuh itu membalas rasa sakit hatinya dengan memberikan trauma kepadaku."

Selama aku menjadi tunangan Sean, aku tidak pernah mendengar hal ini dari siapapun. Tentu saja, trauma itu nyata, terlihat dari jemari Sean yang gemetar dan matanya yang tampak ketakutan. Untuk seorang Pahlawan Negara dan Neraka Medan Perang, itu bukanlah sesuatu yang bisa dianggap remeh. Sean tidak pernah takut kepada siapapun musuhnya di medan perang yang panas. Tapi di dalam hatinya, mantan pengasuhnya menjadi momok menakutkan yang mampu membuatnya gemetar ketakutan.

Male lead, Get away from me!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang