Agatha bermimpi malam itu.
Tentang sebuah pagi, di sebuah kamar, diatas sebuah ranjang. Ia sendirian bersama kicauan burung di jendela yang terbuka sedikir. Ia bisa merasakan setiap inci kulitnya menggigil karena angin pagi yang menelusup dari sela selimut putih yang seharusnya hangat.
Di mimpi itu Agatha terbaring lama di kasur bahkan sampai ia merasakan kedua kakinya dingin dan membeku. Seakan ia lekat di kasur dan tubuhnya bukan tubuh yang bisa ia kendalikan. Ia merasakan angin mengecup keningnya dan ia bisa mendengar suara tetangganya di luar mengucapkan selamat pagi pada tetangga lain yang kedengarannya sedang membuka kotak posnya.
Tapi Agatha tidak bisa membawa tubuhnya ke ambang jendela dan memastikannya. Ia hanya bisa melihat langit-langit kamar, bagian kasur kosong di sebelahnya serta mendengar setiap gerakan aktivitas yang mulai berlangsung di luar jendela kecilnya.
Meski Agatha merasa sedikit gelisah dan ingin melihat dimana ia berada sekarang, sejatinya ia tahu ia hanya bisa menggerakkan kepala dan matanya saja. Jadi perlahan ia mencermati langit-langit kamar dengan matanya dan mendengar suara ramai namun pelan yang membuatnya penasaran soal mimpi apa ini sebenarnya.
Selagi ia mencermati suara-suara itu, ia tidak bisa memungkiri bahwa ia menyadari satu hal lain. Karena di mimpi itu, entah kenapa kepala dan hatinya tidak gaduh. Ia merasakan detak jantungnya setenang saat ia mendengar desiran ombak yang menggesek kepada pasir pantai yang bergemerisik pelan mengikuti dorongan aliran air yang melewatinya.
Agatha bisa merasakan bahwa kulitnya tidak terasa terhimpit udara seperti hari-harinya yang sesak. Ia merasakan... kelonggaran dan kebebasan, sebuah enigma yang ingin Agatha pahami selama ini.
Seakan ia terlepas dari beban menjadi seorang... Agatha Ivy. Seakan... hidupnya kembali berjalan maju dan ia tidak tersangkut pada dirinya di masa lalu dan di masa kini.
Lalu Agatha bangun dari mimpi itu. Hatinya berisik dan kepalanya kembali berat. Tubuhnya memang bisa digerakkan tapi kulitnya bergemerisik dan menghimpitnya di dalam ruangan luas seharga seratus ribu dolar totalnya.
Ia kembali pada kenyataannya yang sesak.
"Aggie! Selamat pagi," Isaac mengecup puncak kepala Agatha dan menimpanya sambil tersenyum. Agatha tertawa kecil lalu mencium pria itu lalu mengusap bibir Isaac dengan pelan. "Selamat pagi. Kamu kelihatan bahagia, sir."
"Ohh hm.. Aku juga tidak paham." Kata Isaac. "Tapi aku punya sesuatu yang ingin aku katakan." Katanya di sela kecupan-kecupan kecilnya di leher, wajah dan bibir Agatha.
"Mandi lalu ganti baju kamu. Ini sesuatu yang besar!" Kata Isaac sambil melepas rengkuhannya dan membiarkan Agatha berdiri. Tapi semenit setelah Isaac melihat lekuk tubuh Agatha tanpa sehelai kain, ia kembali merangkul pinggang gadis itu lalu tersenyum, "Ah baby, nevermind. Kinda want to eat you now."
Agatha menoleh pada Isaac dan menerima kecupan singkat di bibirnya. Mereka kembali melihat satu sama lain tapi kemudian tangan Agatha melepas rangkulan Isaac dengan pelan. "Berita besarnya dulu." Rengeknya.
Senyum Isaac segera merekah lalu ia membenarkan posisi duduknya. "Ayo kita berlibur." Katanya.
"Hah?"
"Aku tahu ini sangat impulsif, tapi sebenarnya aku sudah memikirkan hal ini dari jauh-jauh hari. Ayo kita berlibur."
"Kemana?" Agatha mengernyitkan dahinya heran. Apa tujuan dari keputusan yang sangat impulsif ini?
"Yah, aku muak dengan kota ini dan aku yakin kamu juga begitu." Katanya. "Entahlah. Kota sebelah kelihatannya menarik."
Agatha melihat Isaac tanpa terpikirkan sanggahan apapun. "Tapi aku sekolah." Kata Agatha.
KAMU SEDANG MEMBACA
Toy For You
Lãng mạn𝟐𝟏+ 𝐃𝐞𝐟𝐢𝐧𝐢𝐭𝐞𝐥𝐲 𝐂𝐨𝐧𝐭𝐚𝐢𝐧 𝐄𝐱𝐩𝐥𝐢𝐜𝐢𝐭 𝐂𝐨𝐧𝐭𝐞𝐧𝐭. Agatha Ivy. Gadis malang yang terus-terusan terbelit masalah bahkan ketika ia tidak memintanya. Apalagi ketika ia harus menandatangani kontrak yang membuatnya jadi milik Isaa...