42 - "..."

862 23 2
                                    

Agatha mengatur napasnya yang tersengal-sengal dan tak beraturan ketika ia berhasil menyeret dirinya ke dalam mobilnya. Ia berterima kasih kepada dirinya sejenak karena ingat untuk membawa kunci mobilnya lalu segera menghidupkan mesin mobil. Hatinya meminta gadis itu untuk segera pergi jauh. Entah kemana. Intinya jauh dari sini.

Gadis itu menatap setir dan menghela napasnya yang gemetar. Ia tidak terbiasa menyetir sendiri. Apalagi menyetir sendiri dalam kondisi tidak stabil. Dari ujung pandangnya yang kabur seorang pria dengan jas kulit berjalan dan berhenti di depan mobilnya. Pria itu mengetuk kap mobil dengan pelan lalu menunggu Agatha untuk meresponnya. Hari sudah malam, dan mobil Agatha bukan jenis mobil yang tinggi sehingga Agatha tak bisa segera mengetahui identitas pria itu dari wajahnya yang terpotong oleh garis langit-langit mobil. Tapi jas kulit itu adalah pakaian yang dijahit khusus. Agatha segera mengetahui siapa pria itu ketika ia melihat bagaimana pria itu memasukkan kedua tangannya ke kantung jas.

Agatha membuka pintunya dan melihat seorang pria dengan rambut klimis dan dua mata tajam menghiasi wajah berkulit pucat dengan rahang yang tajam. Pria itu menoleh kepada Agatha dengan wajah datarnya. Tak kelihatan gelisah atau terusik sama sekali.

Suara empat- lima mobil ambulans menggema dari jalan-jalan dan berbelok ke rumah sakit itu, tepatnya menuju pintu di dekat tempat Agatha memarkirkan mobilnya. Telah terjadi sebuah kecelakaan beruntun di pusat kota, dan rumah sakit itu adalah rumah sakit terdekat dengan perlengkapan yang memadai untuk menangani luka parah.

Satu kerjapan mata dan hiruk pikuk tim medis yang berusaha menurunkan seluruh korban yang dibawa menjadi latar belakang pria itu. Ketenangannya kini begitu kontras diantara hiruk pikuk yang menyelimutinya.

"Ayah." Sebut Agatha, menatap pria itu melayangkan senyum, disinari oleh cahaya biru dan merah dari ambulans yang lewat di belakangnya. "Ayah!" Seru Agatha, berhamburan kepada ayahnya, memeluk tubuh pria itu dengan erat. Ayah Agatha membalas pelukannya dengan lembut dan menepuk puncak kepala Agatha.

"Banyak yang terjadi padamu, nak." Kata Ayah Agatha di sela-sela elusannya di puncak kepala Agatha. "Ayah membuatmu jadi begini."

"Ayah, tida-"

"Ayah sudah dengar." Ayah Agatha menjauhkan Agatha dari pelukan untuk menatap wajah anaknya itu. "Isaac. Lucas. Rencanamu. Ayah sudah tahu semuanya." Pria itu kembali tersenyum lalu kembali memeluk Agatha. "Nama Ivy ternyata membebanimu selama ini ya, nak."

"Maafkan ayah telah mengutukmu seperti ini."

Kedua mata Agatha mulai berair dan gadis itu mulai tersedak dengan perasaan sedihnya. Ia tak lagi memiliki kekuatan untuk menahan tangisnya karena pelan-pelan setetes air mata Agatha berubah menjadi air terjun paling deras yang ayahnya pernah lihat seumur hidupnya. Dan ayah Agatha pernah menyaksikan derasnya Air Terjun Niagara sebelumnya.

Ayah Agatha berkali-kali membisikkan kata maaf kepada Agatha. Berkali-kali juga menempelkan perban kepada jiwa lelah dalam diri Agatha. Sebuah kata yang Agatha kira tak pernah ia butuhkan lagi. Sebuah kata yang Agatha kira tak akan mengubah apapun. Ternyata, sebuah kata yang dapat meringankan kepalanya yang berjangkar, tenggelam di dalam lautan yang ia buat dari semua air mata yang ia keluarkan pada semua malam penyesalannya.

Agatha dibawa ayahnya ke limosin yang dipakai pria itu untuk menghampiri Agatha di rumah sakit itu. Agatha tak banyak bertanya atau berontak seperti biasanya ketika dulu ayahnya mengajak gadis itu berangkat menggunakan limosin milik keluarga. Jadi ayahnya tidak mengalami kesulitan untuk meyakinkan Agatha untuk pergi bersamanya. Pria itu yakin Agatha terlalu terguncang untuk bahkan menanyakan kabar pria itu, jadi ia yakin ia harus berhati-hati dengannya.

Tapi raut wajah Agatha jatuh ketika ia melihat ada seorang lagi sudah berada di dalam limosin, sama sekali tidak sadar bahwa Agatha dan ayahnya hendak naik. "Siapa ini?" Tanya Agatha dengan kedua alis mata yang berkerut ketika ia menggeser dirinya dan duduk di sisi lain limosin. Ayahnya menutup pintu lalu melihat Agatha dan seorang gadis yang duduk berseberangan dengan mereka berdua.

Toy For YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang