Agatha duduk di koridor rumah sakit dengan kedua tangannya bertaut satu sama lain, selagi jantungnya berdegup lebih kencang dari yang pernah ia rasakan. Ia tidak menyukai perasaan ini. Perasaan yang sama seperti ketika ia menunggu namanya dipanggil untuk kedepan kelas dan diuji oleh gurunya, atau ketika pertama kali ia datang ke sesi konsultasi di klinik kejiwaan yang jadi seperti rumah keduanya sekarang.
Di dalam semua kepanikannya, ia menghubungi Kay dan pria itu muncul di pintu dalam waktu lima belas menit dengan keringat yang deras dan baju kaos oblong putih, kelihatan sedang bersantai sebelum Agatha menghubunginya.
Agatha berusaha sebaik mungkin untuk mengatur napasnya selagi Kay terus-terusan menelpon satu orang ke orang lainnya, beberapa kali kelihatan tertekan tapi kemudian kembali tenang ketika koneksi teleponnya diputus.
Kay menghela napasnya setelah berpamitan pada panggilan terakhir dengan seorang direktur perusahaan Isaac lalu kemudian memutar badannya untuk memeriksa kondisi Agatha yang ternyata semakin buruk dari saat mereka bertemu di rumah tadi.
"Hey.. Agatha?"
"Ya! Ya. Sudah selesai dengan panggilannya?" Tanya Agatha yang segera berhenti menggigiti kuku tangannya.
"Kamu tidak apa-apa?" Tanya Kay, mengabaikan pertanyaan Agatha.
"Um.. Ya. Tentu saja." Kata Agatha, melayangkan senyum.
"Hm, tunggu disini. Aku akan berbicara dengan dokter." Kata Kay.
"A-apa Isaac akan baik-baik saja?"
Kay menatap Agatha dengan wajah datar lalu menghela napasnya. "Ini bukan pertama kalinya." Kata Kay sambil menepuk puncak kepala Agatha. "Aku bicara ke dokter sama resepsionisdulu. Mau memeriksa kamar inap yang lebih bagus."
Kay membuka mulutnya lagi, hendak mengatakan beberapa kalimat lagi untuk menenangkan Agatha yang terlihat gugup. Namun ia diinterupsi dengan suara gaduh dan ketukan sepatu hak yang menyita perhatian di depan pintu lift. "Dimana dia? Dimana Isaac?" Seorang wanita dengan jas bulu asli, memutar kepalanya kesana kemari. Suara dan gestur tubuh wanita itu terdengar panik. Perawat berhamburan dari resepsionis menuju dirinya yang histeris, mengingatkannya kalau koridor ini berisi banyak pasien yang perlu istirahat.
"Lepaskan!" Kata wanita itu, menghempaskan genggaman para perawat itu lalu berjalan menuju Kay ketika menemukan pria itu berdiri di ujung koridor lain. "Kay. Anakku. Dimana?" Tanya Ibu Isaac. Kay menghela napasnya. Saat ini ia begitu dicekik dengan semua kepanikan diantara dewan investor yang mengkhawatirkan kondisi Isaac yang kritis dan situasi perusahaan tanpa Kay dan Isaac. Ia tidak bisa mengatasi ibu Isaac yang histeris seperti saat ini.
"Ibu. Selamat malam," Kay membungkuk hormat, melakukan penghormatan seperti biasa. Seakan Isaac tidak sedang bertarung untuk tetap hidup di dalam kamar sana.
"Persetan dengan ilmu sopan-santunmu, nak! Mana Isaac?!" Ibu Isaac menggenggam lengan atas Kay dengan erat, menatap pria itu dengan dua mata yang merah dan sembap, tanda jelas kalau wanita ini menangis selama di perjalanan. Kay berdoa untuk keselamatan mental supir milik wanita itu.
"Lewat sini, bu." Kay mengajak Ibu Isaac untuk melihat Isaac lewat jendela besar disebelah pintu yang tertutup. "Kenapa kau hanya mengajakku kesini? Aku ingin ke sebelah Isaac! Bawa aku masuk."
"Bu! Bu." Kay menghalau Ibu Isaac yang sudah sedikit membuka pintu menuju kamar Isaac, kelihatan sangat gelisah semenjak ia berdiri di koridor rumah sakit itu. Suara bip yang berirama dan konstan terdengar dari monitor holter yang terus menerus merekam ritme jantung Isaac, menandakan Isaac masih hidup dan masih dalam kondisi stabil. "Bu. Saya mohon. Tolong tetap tenang." Kay menghelas napasnya. "Isaac baik-baik saja sekarang." Kata Kay sambil mengelus lengan atas Ibu Isaac, berusaha melelehkan ekspresi panik dari wajah wanita itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Toy For You
Romance𝟐𝟏+ 𝐃𝐞𝐟𝐢𝐧𝐢𝐭𝐞𝐥𝐲 𝐂𝐨𝐧𝐭𝐚𝐢𝐧 𝐄𝐱𝐩𝐥𝐢𝐜𝐢𝐭 𝐂𝐨𝐧𝐭𝐞𝐧𝐭. Agatha Ivy. Gadis malang yang terus-terusan terbelit masalah bahkan ketika ia tidak memintanya. Apalagi ketika ia harus menandatangani kontrak yang membuatnya jadi milik Isaa...