CHAPTER 6

461 30 2
                                    

Seperti biasa, setelah melaksanakan kegiatan ibadah subuh, Navya menghabiskan waktunya dengan berzikir dan mengulang hafalan Alquran hingga matahari terbit

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Seperti biasa, setelah melaksanakan kegiatan ibadah subuh, Navya menghabiskan waktunya dengan berzikir dan mengulang hafalan Alquran hingga matahari terbit.

Rasa ingin keluar dari kamar dan membantu memasak di dapur, tapi Navya tidak cukup berani untuk melakukan tindakan itu. Gadis dengan hijab warna cokelat tua itu menghela napasnya pelan.

Tiba-tiba ia teringat akan keluarga satu-satunya yang ia punya. Adnan. Apa kabar kakaknya itu sekarang? Apa Adnan baik-baik saja di luar sana? Apa Adnan mengalami kesulitan? Ah, idak perlu ditanya lagi, sudah pasti kakaknya itu mengalami banyak kesulitan.

Kedua mata Navya berkaca-kaca mengingat perjuangan Adnan yang harus membayar hutang almarhum ayah mereka. Seandainya saja Navya tidak lumpuh dan bisa berjalan normal, ia pasti akan membantu Adnan mencari uang untuk melunasi hutang mereka yang tidak sedikit.

"Ya Allah, Mas Adnan pasti kesulitan di luar sana melunasi hutang almarhum ayah. Aku mohon, mudahkan segala urusan mas Adnan membayar hutang kami, jagalah mas Adnan di mana pun ia berada, dan berikanlah kesehatan kepadanya, Ya Allah. Jangan biarkan mas Adnan terluka dan sedih. Kuatkanlah ia dan lapangkanlah hatinya."

Navya mengusap air matanya. "Vya kangen mas Adnan. Maafin Vya yang gak bisa bantu apa-apa," gumamnya sedih.

"Gak usah cengeng!"

Navya tersentak mendengar suara itu. Ia segera menoleh dan mendapati Daffi berdiri di ambang pintu menatapnya. Gadis itu segera menunduk dan perasaan waspada menguasainya. "Kamu mau ketemu kakak kamu kan?" tanya Daffi.

Mendengar itu Navya sedikit mendongak, menatap Daffi dengan ekspresi bingung.

"Saya izinin kamu ketemu sama kakak kamu. Silahkan tinggal lagi sama kakak kamu itu."

Kedua mata Navya membesar. Antara tidak percaya dan senang. "M-maksud Tuan, s-saya boleh pergi dari sini?"

Daffi melipat tangan di dada lalu berdehem malas. "Ya, kamu boleh pergi dari sini," jawabnya.

Navya sontak tersenyum senang tapi sedetik kemudian raut wajahnya berubah bingung. "A-apa hutang ayah saya udah lunas? Mas Adnan sudah bayar lunas hutang ayah kami?"

"Intinya kamu boleh pulang ke rumah kamu. Supir saya akan antar kamu sampai rumah," kata Daffi lalu berbalik dan pergi.

"Tuan," panggil Navya membuat Daffi kembali menghadap ke arahnya. Gadis itu mendorong kursi rodanya agar posisinya sedikit dekat dengan Daffi.

"Saya mau ucapin terima kasih. Makasih karena selama ini Tuan sudah baik sama saya dan gak ngelakuin sesuatu yang membahayakan saya maupun kakak saya. Saya minta maaf atas nama almarhum orang tua saya karena sudah merepotkan Tuan. Sekali lagi terima kasih, Tuan." Navya memberikan senyum tulus yang selama ini tidak pernah ia tampakkan di depan Daffi.

Daffi terdiam menatap wajah teduh gadis lumpuh di hadapannya ini. Selama berada di sini, Daffi tidak pernah melihat ekspresi Navya selain takut dan waspada. Ini pertama kalinya ia melihat senyum itu. Senyum yang entah kenapa terasa beda.

I'm With You || On GoingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang