Tidak cukup satu jam Daffi berada di rumah orang tuanya, Sahara sudah mengusir Daffi dan mengatakan Navya sudah menunggunya pulang. Padahal Daffi masih ingin menghabiskan waktu bersama.
Pada akhirnya meski sedikit terpaksa Daffi pulang dan ucapan Sahara menang benar adanya. Navya menunggunya pulang. Perempuan itu duduk di ruang tengah sambil bersuara lirih, di tangannya terdapat sebuah mushaf Alquran. Tubuhnya pun masih terbalut mukena. Tidak ada siapa-siapa di ruangan ini, kecuali Navya.
"Tuan." Daffi menoleh pada Ajeng yang menghampirinya menunduk. Pelayan itu hendak mengambil tas kantor Daffi seperti biasanya, namun Daffi segera menggelengkan kepalanya membuat gerakan Ajeng urung.
"Gak perlu. Saya sudah ada yang urus." Hanya dengan kalimat itu Ajeng mengerti. Tuan mudanya itu sudah ada yang mengurusi dirinya sekarang, yaitu istrinya.
Ajeng mengangguk patuh dan menggumamkan kata maaf sebelum berlalu dari sana.
Setelah Ajeng pergi, Daffi kembali memusatkan pandangannya pada Navya yang ternyata sudah menyadari keberadaannya. Perempuan itu menutup Alquran yang dibacanya, meletakkan di atas meja kemudian menghampiri Daffi.
"Maaf Tuan, saya gak denger Tuan pulang," ucapnya setelah berhenti di hadapan Daffi. Navya mengambil alih tas kantor suaminya itu kemudian meraih tangan besar berurat tersebut kemudian menciumi punggung dan telapak tangan Daffi. Untuk sesaat Daffi terpaku. Darahnya berdesir hangat, namun dengan cepat ia menyingkirkan perasaan tersebut.
"Tuan mau mandi sekarang? Mau saya buatkan teh atau kopi?" tanya Navya beruntun.
Daffi menatap raut wajah teduh perempuan itu. Navya sangat menikmati perannya sebagai istri. Dia bahkan mau melakukan hal-hal kecil untuk Daffi meski Daffi tidak menginginkan itu. Ia sama sekali tidak mendapati raut terpaksa ketika melayaninya.
"Tuan?" panggil Navya bingung sebab Daffi hanya menatapnya dalam diam. "Tuan mau ngomong sesuatu atau butuh sesuatu?"
"Kamu menikmati sekali ya peran sebagai istri saya," celetuk Daffi membuat Navya mengerjapkan matanya pelan, pertanda tidak mengerti. "Tapi kayaknya saya perlu ingatkan kamu satu hal sebelum kamu lupa diri."
Daffi menekuk lututnya dan berjongkok di hadapan Navya yang menunggu kalimat selanjutnya. "Saya nikahin kamu supaya saya bebas dari perjodohan ayah saya. Dan, saya milih kamu bukan karena kamu isimewa, tapi karena bunda saya suka sama kamu. Jadi jangan berharap banyak dari saya atau pernikahan ini," tekannya serius.
Navya tahu, tanpa perlu Daffi ingatkan lagi. Ia tahu diri dan sadar posisinya. Tetapi ketika diingatkan lagi oleh pria ini, hatinya terluka. Navya tahu ia tidak istimewa untuk siapapun, terutama untuk Daffi. Ia tahu diri.
Maka dari itu Navya tersenyum kecil, menyembunyikan luka di hatinya. "Saya tahu diri kok, Tuan. Saya sadar posisi saya di mana, saya juga gak berharap apa-apa sama Tuan. Tapi saya minta tolong, biarin saya melakukan tugas saya sebagai istri. Tolong jangan halangin saya mencari pahala dengan melakukan kewajiban saya. Saya janji gak akan mengganggu kenyamanan Tuan," pinta Navya dengan tenang.
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm With You || On Going
RomanceFollow dulu sebelum dibaca, ya😊 *** Daffi memiliki prinsip yang tidak akan mengizinkan sembarang orang untuk menginjakkan kaki di mansionnya. Namun prinsip itu seolah terlupakan sebab pengusaha tampan tersebut justru membawa paksa seorang Navya mas...