Diary

49 5 4
                                    

Aku tenggelam dalam tubuh angkot yang merangkak pelan menuju kantor kwartir cabang Pramuka di pusat kota. Hari ini hasil tes seleksi akan diumumkan. Aku berharap berita baik yang kudengar. Sebab, selain ingin benar-benar mengabdikan diri menjadi relawan, bisa mengunjungi berbagai kota secara gratis tanpa pusing memikirkan bekal dan biaya menjadi hal yang sangat istimewa bagiku. Dan sebagai pelajar, kesempatan keliling kota bahkan Indonesia bisa kudapatkan saat aktif di Pramuka.
****

Tak terasa, kini angkot sudah menepi di tempat tujuanku. Aku berlari kecil memasuki aula yang hampir penuh wajah-wajah yang  kutemui kemarin. Namun, hidung mbangir si bocah tengil tidak muncul. Atau bisa jadi ia akan datang terlambat.

Tak berselang lama, panitia memasuki ruangan. Dibacanya satu persatu daftar calon relawan yang akan dikirim ke Yogyakarta. Nama Fahmi Bisyir disebut dalam nomor urut lima, sedang namaku berada di urutan sembilan, sesuai abjad.  Kami berdua lulus  bersama 13 teman yang berasal dari berbagai sekolah yang berbeda, mewakili kecamatan masing-masing.

Aku geleng-geleng sendiri, mengingat dalam seminggu ke depan harus hidup dalam gangguan si tengil yang menyebalkan.

"Kamu Harmoni, kan?" Seorang perempuan bertahi lalat di pipi itu menepuk pundakku. Kemudian ia mengulurkan tangannya.

"Arumi ... temannya Fahmi, kita akan menjadi tim dan berada di dalam satu kontingen. Oh, iya ... ini ada titipan untukmu."
Arumi menyodorkan sebuah buku diary berwarna biru, lengkap dengan gembok kecil. Aku terkesima pada gambar sampulnya, Doraemon bersama Nobita.  Kuputar kunci yang masih menempel pada gemboknya. Halaman pertama terdapat goresan pena, sepertinya baru saja ditulis oleh pemiliknya.

Hai, Hermion .... Semoga saja kamu masih tetap galak seperti saat pertama kita bertemu. Tapi percayalah! kamu yang tercantik dari lautan manusia yang terhampar di pendopo kabupaten kemarin. Aku serius!

Oh, iya! Jangan rindu aku, ya ... meskipun hati yang terdalam ingin pergi, menjadi relawan di Yogyakarta bersamamu, nyatanya aku pindah sekolah, dan sekolah baruku melarangku ke sana. Atau aku harus bersedia dikirim  Ayah ke Balikpapan, hiks ....

Hermion ... baik-baik ya, di sana! Tulis apapun pada buku ini tentang apa yang kamu lihat, dengar, dan rasakan. Beri tahu aku sejelas-jelasnya, jangan ada dusta! Aku berharap buku ini penuh sampai lembar terakhir dengan ceritamu.

Hermion ... jaga diri! Aku harap saat kembali ke Pati, rona bahagia terbit di wajah cantikmu melebihi sinar mentari.

Pati, Mei 2006

Paragraf awal berhasil membuatku melayang. Paragraf kedua, wah! apa dia bilang, Aku rindu? sungguh narsisnya over dosis!

"Iya, Fahmi pindah di sekolah yang sangat elit. Dia pernah cerita padaku, di sana tak ada buku tulis maupun pena, semua serba digital."

Tak bisa kubayangkan sekolah yang dijelaskan Arumi. Bahkan lantai di sekolahku saja belum dikeramik, juga hanya ada satu komputer, itupun hanya dipakai saat ujian praktik TIK.

"SMK IB Terpadu, apa kamu pernah dengar?"
Aku menggeleng pelan, sementara Arumi menatapku heran.

"IB, Ilham Bisyir!" Arumi setengah berteriak.
Aku menutup mulut seketika. Mengingat Kiyai Bisyir, seorang tokoh yang kaya-raya dan masyhur di kotaku.

Aku hanya tahu kisah kedermawanan Kiyai Bisyir, namun tidak mengetahui bahwa beliau juga memiliki sekolah berbasis digital, sesuai penuturan Arumi. kukira hanya pondok pesantren salaf pada umumnya.

Bahkan saat hari raya Kurban, pendistribusian daging dari pondok pesantren Kiyai itu sampai pelosok kampungku. Padahal berjarak sangat jauh, tiga kecamatan.

HARMONI SAGA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang