Tamu Misterius

36 4 0
                                        

Hari lebaran ke-tiga, genk 'kenyok berkumpul di rumahku. Sementara aku dan Ibu sibuk di dapur, menggoreng kripik singkong untuk mengisi toples yang sudah kosong.

"Moni! Moni! Ada tamu!" Mita datang dengan penuh semangat seolah baru saja memenangkan lotre.

"Siapa, sih?"
"Duh! Ganteng banget, Moni ... sumpah!" Mita tampak berseri-seri mengatakannya.

"Tamunya Embak depan rumah, kali!"
"Lah! Kesininya sama Mas Panca kok ya ...."
Kuintip dari lubang bilik terlihat Mas Panca memarkir motornya, sedangkan pemuda yang bersamanya berdiri membelakangiku.

"Ya sudah, suruh masuk ya, Mit! Aku nerusin ngegoreng kripik dulu.

Samar-samar kudengar Mita dan teman-teman sedang asyik mengobrol yang diiringi tawanya Mas Panca. Hampir semua teman Mas Arhan mengenal genk 'kenyok' jadi, antara mereka sudah tidak ada rasa canggung lagi. Namun, sama sekali belum kudengar suara seseorang yang dibawa Mas Panca.

Saat pekerjaan telah beres, aku memilih keluar menemui tamu-tamuku. Padahal belum mandi, karena memang tidak ada niatan untuk pergi. Sengaja berkumpul untuk menikmati mangga yang baru dipanen Ayahku. Tak kuhiraukan wajah kusam karena berlama-lama duduk di dekat api, sambil sesekali meniupnya agar tidak mati. Juga bau khas pakaianku yang terkena asap dari kayu bakar.

Tanganku membawa nampan besar yang berisi aneka jenis mangga. Baik yang harum manis, manalagi, maupun kopyor. Kupersilakan mereka untuk memakan sepuasnya. Toh, kesemuanya itu diperoleh dari pohon-pohon yang mulai berbakti dengan melahirkan buah yang melimpah. Tumbuh alami, berbuah sendiri tanpa pupuk kimiawi jika musimnya tiba. Konon, pohon-pohon mangga itu lebih dulu ada ketimbang orang tuaku. Jadi, aku generasi ketiga yang bisa turut merasakan manisnya mangga yang telah masak di pohon.

Mita dan teman-temanku sudah mengupas beberapa mangga tanpa komando. Sedangkan Mas Panca dan temannya belum menyentuh barang sebiji pun, mungkin takut kotor. Sehingga aku berinisiatif mengupaskan untuk keduanya. Kusodorkan mangga yang berada di tanganku untuk temannya Mas Panca, karena kebetulan kami duduk berhadapan. Lalu pemuda itu mengambil sepotong dengan malu-malu, kemudian melahapnya dengan ekspresi yang sulit kuartikan. Potongan yang lumayan besar dimakan Mas Panca dengan lahapnya.
****

"Kenapa enggak duduk di dalam saja, Mas?"
Pemuda yang mengibas-ibaskan kaos bagian depannya itu, tampak kaget menyadari kehadiranku di teras rumah. Memang berada di sana jauh lebih adem,  karena Ibuku suka sekali merawat tanaman. Sementara teman-temanku masih berada di dalam rumah, tawa mereka semakin membahana saja entah apa yang mereka bahas.

"Oh, Iya! Nama Mas siapa?" Tanyaku berbasa-basi.
"Lutfan, Mbak! Lutfan Sagara ... Boleh dipanggil apa saja, bebas!"
"Lutfan? Bahasa Arab kan, ya? Wah! Pasti selembut orangnya." Lagi-lagi pemuda itu tersenyum. Dari jarak yang lumayan dekat, aura kegantengannya memancar kuat. Wajahnya lebih tampan dari artis Dude Herlino. Kulitnya seputih susu, dengan bentuk badan yang atletis. Tampaknya dia rajin berolahraga. Bahkan, wajahnya super bersih dari komedo apa lagi jerawat, sungguh membuat iri. Namun, tetap ... Mas Arhan nomor satu di hatiku. Meskipun Mas Lutfan Sagara memiliki keindahan  paripurna.

"Mbak sendiri, harus kupanggil apa?"
"Kirani Bumi Harmoni, terserah mau manggil yang mana asalkan bukan es moni!"
Saat tersenyum kulihat jelas dagunya terbelah, menambah kesempurnaan parasnya.

"Mas Saga ... sepertinya panggilan yang unik kali, ya?"
"Saga?"
"Iya!"
"Hmm ... baru Mbak Harmoni saja yang memanggil begitu. Tapi enggak apa-apa, malah terdengar keren dan beda dari yang lain!" Nada bicara Mas Saga sangat lembut dan berwibawa.

"Mas Saga sekelas sama Mas Panca?"
"Iya, Mbak! Satu pondok juga."
"Kalau sama Mas Arhan?"
"Gus Arhan? Aku dan Gus satu kamar."
"Mbak Harmoni mengenal Gus Arhan?" Ingin kujitak kepala Mas Saga dengan nampan, lalu berteriak di telinganya bahwa kami tak sekedar saling mengenal, bahkan, diantara kami terikat hubungan spesial.

"Hmm ... Iya!" Karena Mas Saga tidak menanyakan lebih detail maka akupun tidak berusaha menjelaskan.
****
"Mas Saga! Jangan bersandar, ya! Nanti baju Mas kotor!" Kuingatkan Mas Saga untuk menjauh dari bilik rumahku yang terbuat dari bambu.

Saat baru saja beranjak, tiba-tiba bilik bambu itu ambruk menimpa Mas Saga. Kulihat dia kesakitan namun wajah melasnya menyiratkan rasa bersalah. Kemudian fokusku terpusat pada bilik yang kini tergolek di lantai tanah. Membuat salah satu bagian rumahku bolong plong. Tambah menyedihkan, saat ribuan rayap keluar dari bilik yang sudah lapuk itu. Seolah rayap-rayap seantero desa bermigrasi di rumahku. Dengan sigap, Ayah membereskan kekacauan itu. Namun masih belum bisa menutup rasa maluku.
****
"Kok, ada manusia yang kelewatan begitu, ya?" Dahiku berkerut memandang Mita yang sejak tadi tersenyum, amat manis.

"Dia enggak sengaja, Mit!"
"Bukan masalah ambruknya bilik, tapi aku heran mengapa segala yang bagus diborong semua. Sudah ganteng, putih, bersih, wangi lagi!

"Hish! Itu iklan sabun, Neng!" Kucubit pipi Mita dengan gemas.

Semenjak itu Mas Saga menjadi buah bibir di kalangan genk 'kenyok'. Terutama Mita yang rajin mengirim salam padanya, melalui Mas Panca saat ikut Mas Arhan ke rumahku.
****
"Harmoni ... Dapat salam!"
"Waalaikumsalam ..., Dari siapa, Mas?"
"Lutfan! Kemarin dia kesini, ya?"
"Oh! Mas Saga ...."
"Cie ... seneng banget habis ketemu orang ganteng!" Mas Arhan menggodaku.
"Hish! Enggak lucu, Mas!"
"Sebenarnya udah lama aku pengen ngajak dia ke sini, tapi ada aja halangannya. Alhamdulillah ... akhirnya nyampe sini juga."

Mengalirlah cerita dari Mas Arhan bahwa Mas Saga itu bintang volly perwakilan sekolah. Diidolakan mayoritas gadis di SMK IB, bahkan luar sekolah juga. Karena pribadinya yang pendiam dan terkesan dingin, dia tidak pernah terlihat pacaran.

"Lutfan itu sahabat karibku, bukan sekedar teman sekamar, aku dan dia bagai daging dan kulit ... jika ada yang menyakitinya aku juga merasa sakit."

"Terlihat dari pembawaannya, aku yakin dia tidak neko-neko."

"Tentu, saja! Kamu ingat gadis yang kuceritakan pernah nembak aku dengan bahasa Inggris?" Kuanggukkan kepalaku, hal-hal yang menyangkut Mas Arhan selalu tersimpan rapi dalam ingatan.

"Setelah kutolak, gadis itu nembak Lutfan ...."
"Hah! Serius, Mas? Lalu diterima?"
"Dasarnya memang Lutfan terlalu baik dan penurut, mana mungkin tega. Kalau tak diterima bisa-bisa sekolah rame dengan kabar seorang bintang kelas yang ditolak dua orang cowok populer."

"Wah! Keren!"
"Aku udah keren dari dulu, kali!"
"Hish! Bukan, Mas! Mbak bintang kelas itu, loh ... sungguh pemberani!"
"Keren apanya, baru beberapa bulan ngapelin Lutfan di kampung halamannya segala, tuh cewek udah nembak orang lain lagi, senior Pramuka di SMK IB."

Aku hanya bisa melongo mendengar cerita Mas Arhan. Penasaran dengan gadis bintang kelas yang sangat optimis.

"Lalu, kenapa Mas Arhan menolaknya waktu itu?"
"Dia bukan tipeku!"
"Emang kayak gimana tipe Mas Arhan?"
"Seorang gadis di depanku yang bawelnya kebangetan!" Dia lemparkan sebiji kacang ke arahku.

HARMONI SAGA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang