Pantai Masa Depan

34 4 0
                                    

"Iya ... aku menyesali kehilangan Kakak sebaik dirinya. Juga menyesali, mengapa sahabatku yang hebat itu menyia-nyiakan orang yang kucintai ...." Air mata Mas Saga kian deras membasahi bantal.

"Tiga tahun lamanya ... tak cukupkah waktu yang kuberikan untuknya kembali padamu, Mbak? Kuhitung setiap waktu yang berkurang, bersiap diri kehilangan cinta demi Gus Arhan bahagia. Sakit hatiku melihatmu menunggunya. Andai dia datang, tanpa meminta pun pasti kuberikan. Mbak Harmoni mencintainya, dan kalian berhak bersama ...."

'Nyatanya sahabat terhebatmu itu, sudah bersama orang lain, Mas ....'

"Di detik-detik ijab-kabul, kubayangkan dirinya datang menggagalkan pernikahan kita. Tapi, ketakutanku tak pernah menjadi nyata hingga Mbak berada di sampingku sekarang. Apakah ini mimpi?" Mas Saga berbaring miring menatapku. Pilu tangisnya sungguh menyayat hati.

'Sahabatmu takkan pernah datang, Mas ... ada Purba Sera di sisinya ....' Ingin sekali kukatakan itu pada Mas Saga, tapi aku takut dirinya bertambah kecewa terhadap Mas Arhan.

Malam itu kami sama-sama larut dalam tangis.
****
Usai salat Subuh, aku berjalan-jalan di sekitar kediaman Mas Saga. Berjalan di atas kerikil tanpa alas kaki seperti ini bagai pijat refleksi. Sangat nyaman sekali. Melihat siluet Gunung Kapur bagai lukisan yang ditoreh tinta agung, ditambah kerlip bintang fajar membuat suasana semakin menentramkan. Dari corong masjid, kudengar suara merdu Mas Saga melantunkan QS. Arrahman membuat hatiku bergetar. Tak terasa bulir bening jatuh ke pipiku.
****
Sarapan sudah tersaji di meja makan saat aku kembali ke rumah Mas Saga. Mbak Yuli gadis hitam manis itu sangat cekatan memasak aneka menu seafood yang terlihat menggoda lidahku.
"Mbak, maaf ya ... enggak bantuin ...." Lirihku merasa bersalah.

"Santai Mbak'e! Pengantin baru jangan sering ke dapur, entar bau bawang. Kasihan Mas Lutfan," godanya sambil tertawa. Orang-orang terdekat Mas Saga memang terbiasa memanggil 'Lutfan', sedangkan Mas Panca dan keluargaku mengikutiku memanggilnya 'Saga'.

"Ehm! Lagi pada ngomongin apa, sih? Sampai pipi istriku merah begitu?" Mas Saga tiba-tiba muncul, ia mengenakan Koko hitam yang dipadukan dengan sarung motif tenun abstrak. Rambut legamnya tertutup peci rajut warna putih. Dengan tampilan seperti itu aura kegantengannya semakin terpancar.

"Rahasia perempuan! Mas Lutfan enggak boleh tahu." Mbak Yuli menjulurkan lidahnya. Gadis itu sudah seperti adik kandung bagi Mas Saga, sejak usia sekolah dasar Mbak Yuli sudah ikut Ibu mertuaku.

"Mbak Harmoni! Ayo kita sarapan dulu, beo satu itu kalau ada temannya bisa enggak berhenti ngoceh." Mas Saga terkekeh sambil melempar kulit kacang ke arah Mbak Yuli.

"Wah! Parah Mas Lutfan! Istri dipanggil Mbak? Panggil Dinda, donk! Biar mesra." Sementara Mas Saga menatapku kikuk.

"Berisik! Sini, ikut sarapan bareng."

"Dih, ogah! Memangnya Yuli obat nyamuk." Aku hanya geleng-geleng kepala menyaksikan kekonyolan mereka berdua.

Mas Saga mengambil piring lalu mengisinya dengan secentong nasi.
"Kalau kurang, nanti nambah ya ... silakan lauknya pilih sendiri."

Gulai patin, semur udang, botok kepiting, semuanya aku suka. Jadi bingung memilihnya.

"Ayo dimakan, Mbak ...." Mas Saga meletakkan ikan mirip belut lengkap dengan sambal terasi dan lalapannya di atas nasiku."

"Itu ikan sidat, favoritku. Cobalah ...." Seolah Mas Saga memahami rasa heranku menatap ikan yang tampak aneh itu.

'Ah! Mas Saga .... Mengapa perlakuanmu semanis Mas Arhan.'
****
"Kita akan pergi ke tempat yang indah, pasti Mbak Harmoni suka." Mas Saga memasangkan helm di kepalaku. Lalu bergegas menyalakan motor matic dari dalam garasi.

Berada di balik punggungnya seperti ini, kulihat tetes-tetes air dari rambutnya yang basah jatuh di tengkuk. Wangi parfumnya menguar mengusik hidungku untuk tidak berhenti membau. Kami berboncengan menyusuri jalan yang berkelok. Jika Mbak Yuli melihat adegan ini, pasti dia bakal protes dan menyuruhku melingkari pinggang Mas Saga.

Dari jarak beberapa meter, terlihat bangunan yang bertuliskan 'Benteng Portugis' peninggalan bersejarah di era penjajahan. Terletak di bibir pantai utara, laut Jepara.

"Mas bisakah kita melihat ombak di tempat lain?"

"Kenapa? Kita belum melihat-lihat suasana di dalam, loh!"

"Mas ... jika tempat ini penuh kenanganmu bersama Mas Arhan, aku tidak mau masuk!" Aku bersungguh-sungguh mengatakannya.

Mas Saga tampak berpikir sesaat lalu melajukan motornya lagi. Kemudian berbelok pada jalan setapak dekat rumah sakit pengidap kusta yang ditumbuhi semak belukar di sekelilingnya, hanya para penggembala kambing atau pencari rumput yang melewati jalan bebatuan ini.

"Mas kita mau kemana?" Bulu kudukku meremang ketika memasuki kawasan pohon randu yang terlihat wingit.

"Manut saja, Mbak ...."

Motor melaju pelan menyusuri jalan berkelok, rupanya Mas Saga membawaku pada bibir pantai yang sangat indah. Dari sini Benteng Portugis terlihat jelas.

"Mas, itu pulau apa?" Kutunjuk gunung kecil yang berada di tengah laut.

"Mandalika!"

"Mas Saga pernah ke sana?"

"Dulu, waktu kecil diajak Paman ke sana naik kapal nelayan."

"Oh, iya! Di Mandalika terdapat sebuah goa yang tembus pada gunung di samping rumah kita ...."

"Hah! Beneran, Mas?"

"Tentu saja! Nanti pulang dari sini kutunjukkan pintu goanya di sisi gunung bagian selatan."

Kami berjalan di sepanjang pantai tak bernama ini. Tak ada satupun manusia selain kami berdua, menikmati desir angin yang mempermainkan gaun panjangku.

"Mbak Harmoni!" Sontak aku menoleh. Klik! Mas Saga mengabadikan gambarku dengan gawainya.

"Aku yakin, suatu hari nanti pantai ini akan menjadi destinasi wisata masa depan. Saat itu, kita akan datang lagi ke sini bersama Saga-Saga kecil ...." Mas Saga terkekeh sendiri melihat-lihat hasil bidikannya, dia tak menyadari pipiku semerah tomat mendengar ucapannya.

'Bagaimana bisa kulukai hati malaikat sebaik dirimu, Mas ....'
****
"Lutfan itu lucu, Nduk! Enggak pernah cerita kalau sedang dekat dengan perempuan tahu-tahu ngajak beli cincin ...." Tutur Ibu mertua ketika kami duduk bersama di teras, menonton ratusan itik yang melintas untuk kembali ke kandangnya.

"Kok ya nekat ngelamar dan yakin bakal diterima, wong ya dapat dari telepon  nyasar ...." Ibu terkekeh sambil menepuk-nepuk bahuku.

"Nduk, Cah Ayu ... kamu kok mau sama Lutfan?"

"Hmm ... anu, emm ...." Ditanya Ibu begitu membuatku gelagapan. Terlalu panjang juga untuk kuceritakan. Bahkan seandainya Ibu mengetahui kisah rumit kami dari awal, aku yakin pasti beliau memilih untuk menghindari menikahkan kami dari pada menyakiti putera Kiyai Bisyir, sahabat Mas Saga yang juga sudah seperti putera beliau sendiri.

"Ya karena aku super ganteng donk, Buk!" Mas Saga mengedipkan sebelah matanya padaku, dia datang tepat waktu. Menyelamatkanku dari pertanyaan Ibu.




















HARMONI SAGA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang