Sah

33 3 0
                                    

Sekembalinya di pondok, hapalanku kacau. Pikiranku dipenuhi oleh Mas Arhan dan Purba Sera. Gairah untuk murojaah hampir musnah. Parahnya, aku sering sakit-sakitan. Mulai kepala pusing sebelah, naiknya asam lambung, juga keluarnya darah haid yang tidak berhenti-berhenti membuat berat badanku menyusut drastis. Mungkin kapasitas otakku penuh oleh memori masa lalu yang seharusnya dilepaskan malah kupertahankan hingga raga turut merasa lelah.

Aku menjadi lebih sensitif dan mudah menangis. Puncaknya saat tengah setoran hapalan tiba-tiba ambruk, kehilangan kesadaran dan susah sekali dibangunkan. Menurut dokter, aku mengalami anemia akut. Bahkan saat diajak mengobrolpun bisa mendadak tertidur pulas. Karena orang tuaku merasa was-was dengan kondisiku, akhirnya memilih boyong dari pondok dan melanjutkan hapalan di tempat Ustadzah dekat rumah.

Sesekali Purba Sera masih menghubungi, menceritakan keharmonisan rumah tangganya bersama Mas Arhan. Dari hati terdalam aku turut bahagia mendengarnya, namun sisi terburukku sering kali merasa cemburu. Hingga dengan penuh kesadaran kuputuskan untuk melanggar janjiku.

"Berjanjilah Harmoni! Apapun yang terjadi nanti, kamu tetap setia memakai provider merah-putih kepunyaan Abah!" Ujar Mas Arhan waktu itu, anggukan kepalaku disaksikan Mas Panca.

Tapi, keputusanku sudah bulat untuk berganti provider. Toh kehilangan satu pelanggan tidak akan membuat Kiyai Bisyir jatuh miskin. Demi diriku sendiri, aku menghilang tanpa pamit pada Purba Sera. Juga meminta Mas Saga untuk memprivat akunku di aplikasi biru, karena Sera tidak memberitahu nama akunnya sehingga Mas Saga tidak bisa memblokirnya.
****
Tak terasa tiga tahun sudah pertunanganku dengan Mas Saga. Keluarga Mas Saga mendesak kami untuk segera menikah. Bahkan hari dan tanggal sudah ditentukan, Ayah dan Ibu tinggal mengikuti serta mempersiapkan segalanya. Saat umbo rampe diantar ke rumah, Mas Saga tidak ikut. Dia akan pulang ke Jepara menjelang hari-H.

Semua benda pemberian Mas Arhan kutumpahkan menjadi satu ke dalam kardus. Aku tidak ingin Mas Saga melihat secuilpun kenangan itu sebagai bentuk penghargaanku padanya. Kusulut korek api ke dalam kardus, api menjalar melahap surat-surat dari Mas Arhan. Foto, Sapu tangan, gantungan kunci, semua cindera mata darinya turut terbakar.

Saat satu persatu benda itu lenyap, aku didera rasa kehilangan yang teramat dahsyat. Air mataku tak mampu memadamkan api di hadapanku yang terlanjur berkobar. Hatiku teremas-remas nyeri sekali. Ingin rasanya menjerit sepuasnya, seolah baru saja ditinggal mati seseorang yang kucintai. Saat tangis mereda dan api tinggal asapnya saja, kulihat kotak beludru yang semula merah kini berubah warna menghitam. Hanya terbakar di bagian luarnya saja, sementara kalung di dalamnya masih bersinar. Serupa mata seseorang yang memelas ingin diselamatkan. Tak sampai hati mengabaikannya, kupungut lagi satu-satunya kenangan dari Mas Arhan yang tersisa itu.
****
"Kuterima nikah dan kawinnya Kirani Bumi Harmoni binti Bagus Sajiwo dengan mas kawin tersebut tunai!"
Suara lantang Mas Saga menghentak dadaku, Ibu memeluk dan mencegahku untuk tidak menangis, tapi beliau sendiri terisak di bahuku.

'Mas Arhan ... aku milik sahabatmu sekarang ....'
****
Usai acara resepsi, aku berselonjor kaki di kamar. Kakiku bengkak setelah seharian menyalami para tamu.

"Ehm! Boleh aku masuk?" Suara bariton Mas Saga membuatku kaget.

"Ss--silakan, Mas!" Aku sampai lupa terhadap dirinya yang mungkin sama capeknya denganku.

"Oh, ya! Mbak Harmoni sudah melihat-lihat isi seserahannya?" Aku menggeleng pelan, jangankan isi seserahan makanpun tak sempat.

"Ada baiknya dilihat sekarang, sebelum keduluan anak-anak!" Mas Saga cengengesan sambil menggaruk rambutnya. Kebetulan sekali dia menyuruhku pergi, berada satu kamar dengannya seperti ini membuatku canggung.

Seperangkat alat sholat, perhiasan, peralatan rumah tangga, make-up, pakaian, furniture, kurang lebih sama pada umumnya dihias dengan pita warna-warni dan bentuk parsel yang menarik. Namun, saat menyisir bagian makanan ada yang langsung membuatku jatuh cinta. Kugendong ke kamarku dengan perasaan senang.

"Ini, Mas?" Mata Mas Saga yang setengah terpejam mengerjap seketika saat melihatku menggendong keranjang telur asin. Lalu ia bangun, kemudian memberi ruang untukku duduk di pinggir ranjang.

"Mbak Harmoni suka banget sama telur asin?" Mas Saga tertawa geli melihatku mengusap telur-telur itu.

"Semua telur aku suka, tapi telur asin ini spesial. Terimakasih ya, Mas telah memenuhi 'kudangan' untukku ...."

Dulu, saat masih bayi aku pernah disuapi telur asin oleh budeku. Sudah menghabiskan dua butir tetap saja ketagihan hingga menangis kencang. Bahasa sekarang mungkin sedang tantrum. Karena tangisku tak kunjung reda, bude bilang saat aku menikah nanti suamiku akan membawakan sekeranjang telur asin hingga aku bisa memakannya dengan puas. Jadi, kudangan itu semacam nazar yang diucapkan untuk dipenuhi oleh calon mempelai laki-laki saat memberikan mahar atau seserahan kepada pengantin perempuan. Sayangnya bude sudah meninggal, jadi tidak bisa ikut merasakan nikmatnya telur asin di hari pernikahanku ini.

"Untung cuma telur asin! Coba minta ladang emas, enggak akan sanggup aku!" Mas Saga tertawa lagi.

"Tapi, bukan itu maksudku ... mau ikut keluar sebentar?" Aku berjalan keluar kamar mengekori Mas Saga. Dia berhenti pada deretan seserahan lagi. Lalu menunjuk sekeranjang cokelat aneka bentuk. Air liurku serasa ingin tumpah, tak sabar menggigit legitnya cokelat berbentuk sekeping hati yang besar.

"Duh! Terimakasih banyak ya, Mas ... tahu dari mana aku juga suka cokelat?"

"No! Bukan yang itu, lihat di sebelahnya!" Mas Saga mengarahkan kepalaku pada sepasang Teddy bear. Boneka laki-laki memakai tuxedo lengkap dengan dasi kupu-kupu berikut topinya, sedangkan boneka perempuan mengenakan gaun putih serta tudung muka transparan. Tampak mereka sepasang pengantin beruang yang berbahagia. Netraku mengembun, Mas Saga sungguh romantis menyiapkan kejutan ini. Lagi-lagi aku berterimakasih dan nyaris memeluknya.

"Merah warna favorit Mbak Harmoni, kan? Untung saja masih ada ... soalnya tipe yang ini di konter-konter Depok sangat laris." Mendengar Mas Saga menyebut kata konter membuatku kelabakan, ternyata oh ternyata di tengah antara pengantin Teddy bear itu berdiri sebuah HP keluaran terbaru lengkap dengan kamera serta musik. Aku mematung sesaat, menimbang-nimbang harganya, pasti sangat mahal.

"Uangmu enggak langsung habis kan, Mas?" Aku meringis memandangnya.











HARMONI SAGA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang