Melepaskan

28 3 0
                                    

Usai menandaskan nasi goreng favoritnya, Mas Saga pamit kerja. Bahkan sekarang dirinya berani mencium keningku meski sekilas. Langkahnya yang hampir sampai ke pintu diputar lagi ke arahku. Dia bilang ada yang tertinggal, senyumku. Sepanjang pagi aku memang melamun, dan Mas Saga menyadari bahwa yang merajai otakku sudah pasti Mas Arhan. Padahal bukan hanya diriku yang kehilangan, Mas Saga juga.

'Apakah harus kubuang saja kalung ini?' 

Sepertinya dia bukan menjadi teman sehari-hari, melainkan tali dalam rumah tanggaku. Karenanya, aku selalu terikat pada Mas Arhan. Lalu gemar merutuki nasib dan takdir yang menimpaku. Kalung itu serupa matanya yang terus mengawasi kebersamaanku dengan Mas Saga. Tapi jika kubuang begitu saja, ada rasa bersalah yang menghantuiku karena kalung itu juga didapatkan atas dasar cinta. Kuputuskan untuk memanggil Adelia, adiknya Teh Siti yang baru berusia delapan tahun.

"Nah! Kamu bertambah cantik, Del." Kupasangkan kalung itu pada leher Adelia. Karena cinta itu suci, sesuci gadis yang belum memahami artinya mencintai. Jadi, kubuarkan Adelia memilikinya.

"Ini beneran buat aku, Mbak?" Mata Adelia membulat sempurna.

"Tentu saja! dirawat baik-baik, ya ...."

Tadinya sempat berpikir jika dikaruniai anak perempuan ingin kupakaikan kalung itu padanya. Namun, kurasa pemikiran itu sangat konyol. Seolah sengaja membiarkan bayang-bayang Mas Arhan mengikuti bahtera rumah tangga kami seumur hidup. Dan itu sangat kejam bagi Mas Saga.

Anehnya, setelah melepas kalung itu rasa hatiku sangat tentram. Tidak ada perasaan sesedih saat membakar benda-benda dari Mas Arhan dulu. Hatiku berasa lebih lapang, seolah berton-ton beban baru saja terangkat dari tubuhku. Apa lagi jika mengingat sikapnya yang memilih menghindar, jelas membuatku kecewa. Perlahan kebanggaanku terhadapnya turut menguap bersama janji-janjinya.
****
Kelopak mataku terbuka pagi ini, hal yang pertama kulihat sudah pasti wajah suamiku, Mas Saga. Jika biasanya ada perasaan marah, sedih, dan terluka. Pagi ini kurasakan berbeda. Aku menikmati berlama-lama memandang wajahnya. Alisnya yang rapi, hidungnya yang lancip, dagunya yang terbelah, nyaris semuanya indah.

Rahang kokohnya semakin sempurna dibalut kulit wajah yang super bersih. Tanpa sadar, tanganku meraba bekas luka yang memudar di bawah matanya. Tiba-tiba mata Mas Saga terbuka, ingin kutarik tanganku menjauh tapi Mas Saga lebih dulu menangkapnya.

"Sudah subuh ya, Dek?"

Aku mengangguk cepat, rasanya ingin segera bebas dari tatapannya yang menggoda. Ditariknya aku ke dalam pelukannya. Hembusan napasnya di tengkukku membuatku merinding.

"Dek, habis salat nanti siap-siap, ya! Kita akan pergi piknik."

"Hanya berdua? Teman Mas enggak ada yang ikut, ini kan hari Minggu?"

"Berdua saja ... lebih syahdu."

Tak banyak bertanya lagi, aku segera bersiap diri. Kukenakan gamis Canda cokelat tua dipadu dengan hijab warna mocca. Juga menghias wajah seperlunya. Kulihat Mas Saga mengenakan kemeja senada denganku padahal kami tidak janjian memakai busana couple. Terlebih aku berganti baju di kamar, dan Mas Saga di kamar mandi.

Sesaat aku terkesima menatap keindahan yang tersaji di hadapanku. Rambut Mas Saga disisir rapi ke belakang, kulit putihnya terlihat segar.

'Mengapa baru kusadari kegantenganmu hari ini, Mas?'

"Wah! Ini namanya jodoh, Dek. Enggak sengaja bisa kembaran gini." Mas Saga berujar sambil menggulung lengan kemejanya.

"Oh, iya! Pakai jaket, Dek! Kalau masuk angin lagi repot. Bisa-bisa kamu kehilangan banyak." Gelak tawanya memecah suasana pagi.
****
Udara terasa sangat sejuk pagi ini, tak banyak kendaraan yang lalu-lalang. Matahari juga masih mengintip malu-malu di ufuk timur. Motor Mas Saga melaju pelan. Ditariknya tanganku melingkari perutnya yang rata. Kusandarkan kepalaku pada punggungnya yang kekar.

'Beginikah rasanya pacaran ....'

Kami menyusuri jalan raya Meruyung yang lengang. Setelah hampir satu jam perjalanan, sampailah pada bangunan yang menjadi ikon Kota Depok. Masjid Dian Al Mahri dengan kubah emasnya berdiri megah di atas tanah seluas 70 hektar. Aku terkagum-kagum memandang keajaiban yang diciptakan oleh arsitek handal itu.

"Sampai di sini saja, Dek!" Mas Saga melepas gandengan tanganku saat memasuki kawasan masjid. Dahiku mengernyit tak mengerti. Mungkinkah Mas Saga malu beberapa pasang mata terlihat memperhatikan kami. Padahal dia yang berinisiatif menggandengnya. Aku sedikit tersinggung, rasanya seperti baru saja dicampakkan. Reflek bibirku manyun sesenti.

"Hei, lelaki dan perempuan punya wilayah sendiri, tidak boleh bercampur meskipun suami istri. Dan setiap pengunjung harus mematuhi aturan itu." Seperti tertampar, malu sendiri tadi sempat salah paham.

"Berarti kita terpisah ya, Mas. Di masjid seluas ini? Kalau aku tersesat bagaimana?"

"Mustahil seorang Harmoni tersesat. Sudah, ayo buruan masuk!"

Kami masuk melewati pintu yang berbeda, meski berada di dalam tak ada harapan bertemu Mas Saga. Kupindai seluruh ruangan yang terasa sangat lapang. Ratusan pilar penyangga masjid serupa pasukan yang berdiri gagah. Konon, serbuk-serbuk emas melapisi setiap mahkota yang berada di masing-masing pilar.

Kemegahannya bertambah-tambah ketika kulihat di puncak keenam terdapat kubah yang dihiasi mozaik emas 24 karat. Setelah menjelajahi beberapa ruang, aku terduduk di lantai marmer  yang kabarnya didatangkan dari Turki dan Italia. Kuangkat kepalaku menatap langit-langit masjid, menyadarkanku betapa manusia sangat kecil di hadapan Tuhan.

Aku teringat kisah Mas Saga yang doanya terkabul saat dipanjatkan di masjid Bakalan. Maka, kuikuti jejaknya dengan merayu Tuhan di masjid ini. Seandainya Mas Saga benar-benar jodoh terbaik, Tuhan akan membuatku bersamanya sampai di surga. Aku tak ingin mencintainya, karena dicintai membuatku merasa berharga. Kebodohanku pernah mencintai manusia sampai nyaris gila. Aku tak ingin mengulang kesalahan yang sama.

Seandainya Mas Saga pilihan terhebat, Tuhan akan membuatnya bertahan dan tak ada hasrat berpaling dariku meski di luar sana banyak gadis yang lebih cantik. Mas Saga akan mengikuti kemana pun langkahku pergi. Tak terasa bulir-bulir bening mengaliri pipi seiring doaku. Tak ada nama Mas Arhan lagi mulai dari hari ini.

Saat keluar dari pintu masjid, Mas Saga sudah menunggu di tapal batas area. Senyum tak pernah surut dari bibirnya.

'Tuhan buatlah lelaki itu tidak bisa lepas dariku'

"Apa doamu hari ini, Dek?" Mas Saga terlihat penasaran.

"Ada, deh!" Kujulurkan lidah lalu berlari sebelum dia mengejarku.





HARMONI SAGA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang