"Dek, semua perlengkapanku sudah komplit?"
"Sudah masuk ke koper, Mas."
Mas Saga terlihat gelisah, mondar-mandir di kamar entah apa yang dia cari. Sementara di luar, travel sudah menunggu untuk siap mengantarkannya ke hotel tempat titik kumpul para jamaah umroh yang hendak berangkat pagi ini.
"Mas ... Ayo!"
Sesampainya di hotel, Mas Saga masih saja gelisah. Duduknya tampak tak tenang, kakinya terus saja digoyang-goyangkan.
"Mas ...." Kupegang tangannya, "sarapan dulu ...," ujarku lagi.
Jika biasanya Mas Saga yang menyuapiku. Kali ini aku yang berinisiatif menyuapinya. Mas Saga makan begitu lahap dari tanganku, setelah itu aku meneguk secangkir teh dan sekeping croissant. Kami sama diam-diam mungkin dengan perasaan campur aduk. Hingga dari suara microphon terdengar aba-aba agar para jamaah bersiap diri.
Kupakaikan slayer warna biru, simbol travel yang dipilih Mas Saga. Air matanya luruh saat kusentuh lehernya. Sementara sekuat tenaga kutahan untuk tidak menangis di hadapannya. Mas Saga hendak mencium puncak kepalaku, tapi aku buru-buru mendongak, sehingga bibirnya berhasil menyentuh keningku. Tidak sekilas lagi, tapi ciuman yang sangat dalam. Kurasakan haru yang begitu luar biasa melepas kepergiannya.
****
Saat kembali ke kontrakan, kesedihan menyergap. Kuciumi baju yang baru saja dilepas Mas Saga. Bau keringatnya masih menempel di sana. Seperti baru saja kehilangan. Hidupku hampa tanpanya, padahal baru satu jam dirinya pergi. Doa-doa terus kulantunkan, semoga perjalanannya selamat sampai tujuan dan kembali lagi ke negaranya.Tidak kulihat celoteh manjanya yang sering menggodaku. Sepertinya aku kehilangan sahabat, juga tak kudengar petuahnya selayaknya seorang Kakak pada adiknya. Mas Saga paket lengkap untukku. Dengannya aku menjadi diriku sendiri, dan dia selalu berusaha menyembuhkan lukaku tanpa memikirkan lukanya sendiri.
[Dek, Mas sudah sampai di Madinah.] Dikirimnya pose dirinya di depan masjid Nabawi.
[Alhamdulillah ... semangat, Mas!] Tak lupa kububuhi emoticon love pada pesanku. Ini sungguh di luar gayaku.
Meski komunikasi berjalan lancar, aku tetap merasa kehilangan. Aku ingin selalu mendengar kabarnya setiap waktu, juga suaranya memanggil namaku. Meski aku sendiri yang memintanya untuk berkirim kabar seperlunya agar Mas Saga fokus beribadah saja. Nyatanya, gawai tak pernah lepas dari tanganku. Seperti perempuan yang tengah mabuk kepayang. Menunggu-nunggu kabar dari pujaan hatinya.
Tidurku tak nyenyak, padahal ada Teh Siti yang menemaniku sembilan hari ke depan. Ternyata batinku lebih tenang jika Mas Saga yang berada di sisiku. Dengkur halusnya seolah nyanyian yang menghias malam-malamku. Senyum manisnya selalu menyambutku di pagi hari.
'Beginikah rasanya tersiksa rindu pada kekasih halal ....'
[Dek, di sini hati sangat tentram. Mas jadi betah seperti tak ingin pulang.]
Tak lupa dikirimnya gambar Ka'bah lengkap dengan pemandangan aktivitas para jamaah. Foto itu diambil dari jendela kamarnya, di hotel Pullman.
[Sekalipun ranjang Zam-Zam Tower begitu nyaman. Mas harus pulang ... aku menunggumu di ranjang yang dingin ini.]
Terus terang aku sangat malu menyampaikan perasaanku. Baru kali ini aku bergenit-genit padanya. Yakin di sana Mas Saga pasti tertawa.Tapi, dia tidak membalasnya. Mungkin tengah larut dalam doa-doa.
****
[Dek, dalam daftar ini kenapa tidak ada permintaanmu?]Mas Saga memotret dua lembar kertas yang penuh dengan tulisannku. Di sana ada nama-nama barang yang harus dibelinya untuk dua keluarga. Aku memang tidak menginginkan apapun kecuali dirinya kembali dengan kondisi prima.
[Hal berharga yang kuinginkan adalah dirimu, Mas ....]
Lagi-lagi jariku berulah menjadi lebih fasih menuliskan kalimat agresif.
[Ah, yang bener! Biasanya dianggurin, tuh!]
Aku tertawa sendiri membayangkan ekspresi Mas Saga waktu mengatakannya.
[Dek, love you full ....]
Dibubuhkan emoticon cium yang sangat banyak. Chat mesra ini kami lakukan via aplikasi biru. Rasanya memang seperti ABG yang baru saja kasmaran dengan seorang pacar.
****
Sembilan hari berlalu, bersama teman-teman kantornya kujemput Mas Saga di Bandara. Ratusan manusia berlalu-lalang tampak menarik kopernya. Namun, aku tak melihat batang hidung Mas Saga. Kupastikan lagi membaca pesannya, benar hari ini kedatangannya."Dek!" Seseorang berteriak sambil melambai padaku. Tubuhnya tinggi tegap, mengenakan kemeja biru tua. Berkacamata hitam sepekat rambutnya yang dicukur habis.
"Mas Saga!" Aku berteriak histeris, tampil dengan kepala pelontos membuatku pangling.
Mas Saga berhambur memelukku, sepertinya dirinya tak menyadari sedang berada di tempat umum.
"Ehem! Mesra-mesranya bisa dilanjut di rumah, ya." Salah satu rekan Mas Saga menggoda kami.
Sebelum pulang ke rumah, kami menyempatkan diri makan di salah satu restoran Sunda. Aku mengambil peran menyuapinya lagi. Wajah Mas Saga berseri-seri, ditambah teman-temannya yang tak berhenti dengan banyolan khas mereka.
"Wah! Setelah ini ada yang bulan madu kedua, Nih!"
Mas Saga hanya tersenyum-senyum saja menanggapinya. Aku yakin batin Mas Saga sebenarnya menjerit 'boro-boro yang kedua, malam pertama saja belum pernah'.
****
"Dek, ini oleh-oleh buatmu." Secarik kertas disodorkan Mas Saga padaku. Berisi amalan agar cepat dikaruniai keturunan."Saat jam 12 malam, ketika teman-teman tertidur aku turun dan berdo di depan Ka'bah. Kurasakan suasana Ka'bah begitu lengang saat itu. Tiba-tiba seseorang yang entah dari mana arahnya menepuk pundakku. Lelaki itu mengatakan hidupku sudah sempurna, aku memiliki semuanya. Kecuali ...."
"Kecuali apa, Mas?" Bulu kudukku meremang, sekaligus penasaran.
"Kk--kecuali bb--buah hati." Sepertinya Mas Saga tak enak menyampaikannya padaku.
"Lalu lelaki itu menunjukkan sebuah sudut di mana harus kuambil air zam-zam khusus untukmu ...." Mas Saga menyodorkan sebotol kecil air zam-zam kepada ku.
"Ini Mas ambil langsung dari kran yang berada di sana?" Mas Saga mengangguk. Cepat-cepat kusambar botol itu dari tangannya, lalu segera meneguknya habis.
"Seharusnya makan kurma muda dulu, Dek! Baru meminumnya ...." Mendadak aku merasa bersalah, mengapa tak kudengarkan dulu cerita Mas Saga sampai selesai.
"Kurma mudanya sudah kubeli di sana, tapi karena lupa menaruhnya di kulkas kurma itu jadi busuk. Mau beli lagi sudah tak sempat." Ujar Mas Saga lesu.
"Enggak apa-apa, Mas. Air zam-zam itu mengandung nutrisi yang lebih baik dari apapun."
"Oh, iya! Aku mandi dulu ya, Mas." Mas Saga memicingkan matanya. Tidak biasanya aku mengikuti kebiasaannya yang mandi dulu sebelum beranjak tidur.
"Hish! Gerah banget malam ini, Mas!" Aku menjawabnya sambil ngeloyor ke kamar mandi.
Kusabun seluruh badanku berkali-kali, lalu kukenakan lingeri ungu yang turut dalam serangkaian seserahan yang diberikan Mas Saga dulu. Degup jantungku tak bisa dipelankan ritmenya, melihat diriku yang begitu seksi pada pantulan cermin di kamar mandi.
"Dek, sudah hampir sejam, loh! Ayo mandinya gantian!" Mas Saga sedikit berteriak.
Derit pintu terbuka bersamaan dengan diriku yang tampil berbeda, juga tanpa hijab yang menutup kepala. Mas Saga mengerjap-ngerjapkan matanya seolah tak percaya apa yang tersaji di hadapannya. Ditatapnya begitu, membuatku gugup setengah mati. Namun, tetap saja berjalan pelan menuju ranjang tempat Mas Saga merebahkan diri.
"Dek ...." Kudengar suaranya mulai serak memanggilku. Sementara aku tertunduk dalam, tak berani menatap matanya.
"Dek ...."
"Iya ...."
"Lampunya masih menyala ...."
"Matikan saja, Mas!" Lirihku dalam hasrat yang tak bisa dibendung lagi.End

KAMU SEDANG MEMBACA
HARMONI SAGA
Roman d'amourCinta Tak Biasa *Novel ini sudah tahap lay out, doakan semuanya lancar, yak! 🤗