Hari terakhir di Klaten, seluruh kontingen relawan dari berbagai kota siap meninggalkan Yogyakarta. Bahkan, antar satu kontingen pun juga akan berpisah, karena kami harus kembali ke desa dan keluarga masing-masing. Kutitipkan buku diary Fahmi pada Arumi.
"Eh, Moni! sepertinya peraturan di sekolah Fahmi yang baru sangat ketat. Buktinya dia enggak nyusul kita ke sini, padahal dulu itu dia murid nomor satu yang sering kabur dari sekolah, loh ...." Arumi bercerita padaku sambil jari-jemarinya lincah mengemas barang-barangnya.
"Fahmi itu artisnya sekolah kami loh, Mon! Apa lagi kalau sedang beratraksi memainkan tongkat saat menjadi mayoret marching band, beuh! keren banget!"
Arumi terlihat bersemangat menceritakan ihwal Fahmi, seperti seseorang yang lagi promosi. Sedangkan aku hanya ber ah-oh saja sambil memilah baju kotorku."Hmm ... melihat gelagatnya, sepertinya Fahmi naksir kamu, deh!" Tiba-tiba Arumi menghentikan aktivitasnya, lalu menyenggol lenganku. Matanya menyipit tajam menantikan jawabanku.
"Fahmi, naksir aku? Boleh ... tapi aku, enggak!" Aku terkekeh sambil mengacungkan dua jari ke atas kepala.
Entahlah, sejauh ini aku belum pernah berdebar memandang seseorang, setampan Fahmi sekali pun. Apa lagi sampai menyukai lalu berpacaran seperti teman-temanku kebanyakan. Seandainya ingin, surat cinta dari beberapa kakak kelas pasti sudah kubalas alih-alih mengabaikannya. Bukan karena sombong, tapi pikiran benar-benar belum mengarah ke sana.
Kalau barang-barang pemberian mereka sih, tetap kuterima. Sayang jika dibuang, terlebih tidak baik menolak kebaikan orang, kan. Beruntungnya mereka mengerti bahwa menjadi sahabat jauh lebih nyaman dari pada pacaran, yang kudengar dari orang kebanyakan bisa saling menyakiti.
***
Jam dua dini hari aku sudah tiba di rumah, langsung berangkat sekolah di hari yang sama. Sudah rindu berat dengan teman-teman, terutama Mita, sahabat sebangku dan genk 'kenyok'.Mereka heboh saat aku masuk kelas, semua berhambur menghampiri. Bukan, bukan untuk memelukku, tapi berebut dua kantong keresek yang berada di tanganku.
Gethuk goreng, bakpia Pathuk, dan aneka cindera mata terhampar di atas meja. mereka sibuk ngemil sambil memilih gantungan kunci berbagai bentuk. Padahal sudah jelas terukir nama mereka masing-masing, buat apa masih berebut, aku geleng-geleng sendiri. Setelah satu persatu mendapat bagiannya, barulah mereka antusias mengelilingiku. Lalu mengalirlah berbagai kisahku selama menjadi relawan.
****
"Moni, aku enggak nyangka kalau kamu berteman sama anak-anak genk motor dari kawasan utara, loh ...."
Tiba-tiba Hasan menghampiriku yang tengah asyik membaca buku. Ia kemudian menggeser salah satu bangku untuk duduk di sebelahku.Kuhentikan aktivitas membaca Long-Long Sleep yang lagi seru-serunya dengan tatapan tak mengerti.
"Genk motor, siapa? aneh-aneh aja kamu, San!"
"Kamu kenal seseorang yang bernama Fahmi, Mon?"
Mendengar nama Fahmi disebut reflek aku terkesiap. "Hah, di mana kamu bertemu Fahmi?"Lalu Hasan menceritakan perkenalannya dengan Fahmi di stadion Joyokusumo, malam Minggu kemarin saat mereka sama-sama menonton balap motor.
"Jadi, kemarin itu dia nanya asalku dari mana, saat kusebut nama sekolah kita dia antusias banget mengetahui aku dan kamu satu sekolah ...."
Aku manggut-manggut mendengar penuturan Hasan, dunia benar-benar sempit. Lagian, sudah sebulan berlalu semenjak kukembalikan diary padanya ternyata Fahmi masih mengingatku."Akhirnya kita jadi enggak fokus nonton balap, Fahmi nanya banyak soal kamu. Kubilang padanya kalau kamu itu primadona di sekolah, tapi ya itu ... " Hasan menjeda kalimatnya, melirik takut-takut menunjukkan gelagat tak enak, "rada jutek!" Ia kembali nyengir kuda melihat ekspresiku yang berubah masam mendengar ocehannya.
"Wah, jahat kamu, San! Pembantaian karakter itu namanya ...." Bibirku mengerucut satu senti. Namun, aku kembali ceria saat Hasan menyodorkan sobekan kertas yang di sana tertulis beberapa deret angka.
"081290009990, hah! serius ini nomor HP, tapi kok aneh ya, San?" Kubaca nomor itu berulang-ulang.
"Itu namanya nomor cantik!" Hasan menarik jilbabku ke depan dengan gemas, lalu ngeloyor pergi.
Kukeluarkan HP yang baru saja dibelikan Ayahku seminggu lalu. HP bekas dengan bunyi nyaring yang khas, ditambah antena kecil di sisi kanan, atasnya. Kata Ayah agar aku lebih leluasa berkomunikasi dengan teman-temanku di luar kota, yang kukenal waktu di Yogyakarta. Mungkin karena Ayah sering melihat tukang pos hilir-mudik ke rumah, untuk mengantar surat-surat dari temanku.
Aku naik ke lantai tiga bangunan sekolahku. Di sana signal cukup bagus. Kutekan nomor Fahmi, lalu meletakkan gawai di telinga dengan debaran jantung yang lumayan keras. Ini kali pertamanya aku melakukan panggilan dengan seseorang.
"Biarkan aku pergi bersama malam gelap dan dingin rasakan sakit hati yang harus aku lalui ...." 'Bukan Untukku' dari Sahara Band mengalun indah. Lagu yang akhir-akhir ini sering diputar di radio kini juga menjadi RBT pilihan Fahmi.
"Hallo ...." Suara bariton seorang pemuda terdengar jelas, cepat-cepat kumatikan. Bukan karena gerogi, aku hanya ingin memastikan saja kalau nomor ini benar-benar bisa dihubungi. Urung mengobrol seperti niat awal mengingat harga pulsa sangat mahal. Butuh mengumpulkan uang saku lima hari untuk membelinya.
Mengirim pesan singkat saja menyedot 500 perak untuk setiap satu pesan. Itupun paling mentok menampung seratus karakter huruf saja, sehingga pesan harus diketik sesingkat-singkatnya, kadangkala sampai pesan susah dibaca.
[Benar ini nomor Fahmi? Blz gpl!] Tak berselang lama gawaiku berdering. Dari layarnya yang berwarna kuning, kulihat nomor yang baru saja kukirimi pesan sedang memanggil. Kuangkat dengan cepat.
"Hermion .... ini beneran, kamu?"
"Hmm ... iya!"
"Enggak nyangka, loh, nomorku akan sampai. Kemarin itu nyari-nyari kertas enggak nemu, akhirnya minta sama embak penjaga angkringan. Eh, dikasih kertas nota bon pelanggan ...."Tawanya berderai, terdengar renyah sekali. Masih sama seperti saat pertama kali bertemu. Dia memang sosok yang ceria, seolah tak punya beban dalam hidupnya.
"Diary sudah kuterima, thanks udah nyempetin waktu buat nulis ...."
Obrolan kami mengalir kira-kira setengah jam, ingin kutanyakan tentang sekolah barunya yang diceritakan oleh Arumi tempo hari. Juga tentang dirinya sebagai bagian dari keluarga Kiyai Bisyir, namun bel masuk kelas berbunyi, menghalangi keinginanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
HARMONI SAGA
RomanceCinta Tak Biasa *Novel ini sudah tahap lay out, doakan semuanya lancar, yak! 🤗