Rembulan Kedua

29 4 2
                                    

Mas Arhan ... apa kabarmu di jauh sana? Semoga Mas bahagia sejak memutuskan kepergianmu dariku. Kuharap sesekali sendu matamu menoleh kembali pada jejak kenangan yang mulai mengabur oleh rajutan kisah baru. Dari ribuan wajah yang Mas lihat, adakah wajahku terselip di sana hingga membuat matamu basah mengingat senyumku, yang kini sudah tak manis lagi  karena luka yang Mas berikan.

Saat melintasi Desa Telaga, lihatlah sebentar pada tugu yang berdiri kokoh di pertigaan, apakah hatimu masih bergetar? Mas pernah berdiri di sana membawa banyak rasa untuk seorang gadis dua tahun lalu.

Mas ... sudah kujalani hari-hariku di penjara suci, menghukum diri dari mengingat apapun tentangmu. Ratusan ayat suci berhasil kuhapal dengan lancar, ribuan doa kulantunkan sepanjang malam, namun aku gagal melupakan segala rasa yang Mas berikan. Aku tetap mengingatmu.

Katakan seandainya Mas bahagia di sana, telah menemukan tempat singgah yang nyaman bagi hatimu hingga tak ada celah untukku mengharap-harap lagi. Namun, seandainya Mas sama tersiksanya denganku, kembalilah ...!

Urung kulayangkan surat itu ke Ujung Berung, alamat Mas Arhan di Bandung. Karena berpuluh surat yang sebelumnya kukirimkan tiada balasan, setidaknya hatiku lega setelah melepas segala beban dengan menulisnya pada secarik kertas. Karena menyembunyikan perasaan justeru membuat tubuhku sering sakit. Sebenarnya aku sendiri tak yakin apakah Mas Arhan masih di sana atau sudah pindah, yang jelas surat-surat yang kukirim tak pernah kembali. Entah siapa yang menerimanya.
****
Liburan pondok tiba, aku pulang ke rumah. Saat memasuki ruang tamu mataku bersirobok dengan tabung hitam selebar 32 inch yang mendominasi pemandangan. Mungkin Ayah memeras keringat siang dan malam demi mendapatkan elektronik itu, benda yang sangat diinginkan adikku. Kuhampiri Ibu yang berada di dapur, beliau tidak mendengar ketika aku datang diantar ojek yang mangkal di pertigaan ujung desa, setelah turun dari bus.

Ibu memelukku dengan sukacita, hampir lima bulan kami tidak bertemu karena  sibuk mengurus ternak dan sering lembur di pabrik singkong.

"Bu, televisinya baru, ya?"
"Iya, Nduk ... calon suamimu yang membelikannya, adikmu juga dapat jatah uang saku ...."

Mas Saga tak pernah bilang padaku terkait pemberiannya. Dia tipe pemuda setenang lautan seperti namanya, Sagara. Menyembunyikan perasaan juga kebaikannya tanpa ingin dilihat orang lain. Tak ubahnya Mas Arhan, Mas Sagapun cepat diterima keluargaku karena perhatiannya.

Padahal jatah bulananku di pondok saja lumayan banyak, belum biaya hidupnya di Depok, tapi Mas Saga tetap memikirkan keluargaku. Jujur, hal itu membuatku terharu.
****
Kamar masih tempat yang paling nyaman untukku, seperti tersedot dalam dimensi masa lalu saat memasukinya. Benda-benda di dalamnya tak ada yang berpindah tempat. Bagai mengulang kenangan, semua hal yang terkait dengan Mas Arhan masih tersimpan rapi di kamar ini. Jam dinding darinya tergeletak di meja belajarku, setelah beberapa kali jatuh sendiri dari bilik bambu tempat pertama kali Mas Arhan meletakkannya.

Kuaktifkan gawai yang berada di laci.  Semenjak di pondok HP dipegang adikku, hanya untuk bermain game ular tangga usai belajar. Dia sama sekali tidak pernah membuka kotak masuk sehingga puluhan pesan menumpuk. Tentu saja dari Mas Saga, berisi kata-kata motivasi juga puisi. Namun, ada satu pesan yang membuatku tertarik.

[Harmoni ....]
Jariku bergulir pada pesan dari nomor asing yang dikirim seminggu lalu.

Tidurlah selamat malam lupakan sajalah aku ....
Mimpilah dalam tidurmu bersama bin--
RBT dari Anji Drive terputus oleh suara seorang perempuan di seberang.

"Hallo .... Mbak Harmoni, ya?"

"Maaf, ini siapa?"

"Sera, Mbak! Purba Sera. Istrinya Gus Arhan!"

Jantungku seolah meledak oleh peluru nyasar. Air mata merembes dari kedua netraku. Jadi, Mas Arhan menemukan belahan jiwanya dan melupakanku. Atau melupakanku lalu bertemu gadis bernama Sera itu. Bahkan mereka menikah, bukankah alasan Mas Arhan melepaskanku karena merasa belum mandiri dan belum mampu untuk bertanggungjawab atas hidup seseorang, tapi apa yang aku dengar barusan.

"Mas Arhan ss--sudah mm--men--nikah?"

"Iya, Mbak ... tadinya ingin mengundang Mbak Harmoni tapi nomor Mbak susah dihubungi."
Tubuhku lemas, seolah tulang-tulang penyangganya lepas begitu saja.

"Bb--benarkah?"

"Aku sangat senang akhirnya bisa mengobrol dengan Mbak Harmoni. Oh, ya! Aurora Aisya itu akun Mbak Harmoni, kan?"

Mas Saga memang pernah meminta ijin untuk membuat akun di aplikasi biru atas namaku, karena rata-rata teman kantornya memiliki akun dan saling menandai pasangan masing-masing. Kemudian saat Mas Saga membuat status receh, akunku akan hadir di kolom komentarnya. Seolah-olah kami pasangan paling romantis sedunia dengan memperlihatkan dukungan dari masing-masing, padahal kedua akun tersebut dioperasikan oleh Mas Saga sendiri.

"Mbak Harmoni sangat anggun mengenakan hijab biru ...," ujar perempuan itu ramah.
Mungkin, dia melihat beberapa fotoku yang diunggah Mas Saga.

"Hmm ... tidak! Aku percaya diri dengan warna merah."

"Oh! Pantas saja atribut lamaranku didominasi warna merah. Dasar Gus Arhan!" Hatiku kembali berdarah.

"Hmm ... bb--bolehkah akk--u bicara dengan Mm--mas Arhan,?"

"Sayang sekali, Mbak ... Gus ada kuliah sore ini."

"Kalau begitu, mm--maaf ...."

"Mbak, kalau kami mudik ke Pati, kita ketemuan, yuk!"

"InsyaAllah ...."

'lebih baik tidak, karena aku belum siap melihat Mas Arhan menggandeng tangan perempuan lain.'

Purba Sera, mungkinkah dia rembulan dari Sunda yang membuat pandangan Mas Arhan teralihkan padanya. Mendengar tutur bahasanya yang santun sudah pasti dia perempuan terpelajar. Secepat itukah Mas Arhan melupakanku, sementara diriku masih tenggelam dalam lumpur nestapa. Mungkinkah selama ini aku menangisi orang yang telah berbahagia. Sementara hatiku belum terbuka untuk menerima siapapun setelah kepergiannya.

Kudekap foto Mas Arhan, tangisku tumpah di wajahnya yang tak bergeming memandangku. Senyumnya seolah menertawakan kebodohanku. Kupukul dadaku menahan isak, takut Ibu tahu dan larut dalam kesedihan yang sama.

Mas Saga, haruskah aku meminta bantuannya untuk mencari tahu tentang Purba Sera. Tapi, jika aku melakukannya sama saja menunjukkan pada Mas Saga bahwa aku menutup diri darinya karena masih terperdaya masa lalu. Sementara aku tak ingin menyakiti lelaki sebaik dirinya yang telah berkorban banyak demi membuatku bahagia.

HARMONI SAGA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang