"Yang ini kali, si Arhan!" Cindy menunjuk gambar seorang pemuda yang sedang berkacak pinggang.
"Feelingku, sih, yang ini!" Widya menimpali dengan mengarahkan jari telunjuknya pada pemuda yang sedang jongkok pada barisan depan.
"Ah, bukan! santri 'ndalem' itu identik kalem dan enggak terbiasa di depan, kan? pasti yang ini!" Jelita turut berargumen dengan menunjuk seorang pemuda yang hanya terlihat bagian kepalanya saja, sedangkan badannya tertutup oleh teman-temannya.
Genk 'Kenyok' heboh ketika kubawa foto-foto yang dikirimkan Mas Arhan. Mereka semua tahu tentang Fahmi juga tentang sahabat surat-menyuratku, selama ini. Sejujurnya aku sendiri tidak bisa menunjukkan yang mana Mas Arhan, tapi Mas Arhan versi yang ditunjuk teman-temanku juga tak sesuai dengan hati kecil. Malah menurutku dari puluhan pemuda berseragam IB itu tidak ada Mas Arhan diantara mereka. Entahlah ....
"Baiknya kalian harus bertemu, Mon! Biar enggak kecewa kayak aku ...." Mita yang sedari tadi hanya mengamati tingkah teman-teman, kini turut membuka suara. Masih kulihat sendu di matanya.
"Bahkan, aku sudah terlanjur nyaman dengannya, tapi harus rela 'menjanda' ...."
Mimik mukanya lucu sekali saat mengucap kata janda, lalu Mita menutup wajahnya dengan telapak tangan."Cup! cup! cup! janda kembang ... bersyukur kamu enggak nikah beneran sama tuh om-om!" Cindy mengelus-elus puncak kepala Mita.
"Aku enggak nangis, woi!" Mita bangkit lalu menggelitik perut Cindy tanpa ampun. Tawa kami semua meledak melihat kekonyolan mereka berdua.
****
Tak bisa kupungkiri kehadiran Mas Arhan memang menciptakan rasa yang berbeda di dalam hati. Kunanti kabarnya setiap hari, bahkan kalimat-kalimat yang dia tulis dalam SMS maupun surat akan terasa sangat manis bak madu yang membuatku candu, ingin terus membacanya meski sudah hapal di luar kepala.Membalas surat-suratnya sesemangat waktu mengikuti jadwal les bahasa Inggris, pelajaran favoritku. Bahkan saat mendengar namanya disebut oleh tukang Pos, hatiku terasa kebat-kebit, sebahagia anak kecil yang melihat gelembung-gelembung sabun beterbangan di udara.
Isi surat-suratnya serupa daging yang tak pernah membuatku kenyang, penuh dengan nasehat-nasehat yang diperolehnya dari Kiyai Bisyir. Bahkan aku merasa sudah menjadi santri beliau secara tidak langsung, karena Mas Arhan mentransferkan pengetahuannya padaku. Kami tak pernah memanggil sayang, maupun membahas cinta-cintaan. Tapi memikirkan dirinya yang begitu perhatian, terkadang membuatku melakukan kesalahan dengan menganggapnya sebagai pacar hayalan. Hanya hayalan ... Karena aku tak pernah mengatakan kepada siapapun bahwa aku menyukainya.
****
[Harmoni ... seharian ini aku terkurung di penjara suci]
[Mas Arhan sakit?]
[Bukan, Pak Kiyai mengosongkan jadwalnya hari ini]
[Wah! bebas tugas donk, Mas?]
[Iya, sih! Tapi enggak diijinkan ke mana-mana malah.]Biasanya Mas Arhan menjadi bayangan Kiyai Bisyir. Mengikuti beliau di setiap pertemuan maupun kajian, juga menjadi sopir saat beliau ke luar kota. Akomodasi pondok juga menjadi tanggungjawabnya. Bahkan tidak masuk sekolahpun tak akan mendapat masalah karena atas permintaan Pak Kiyai sendiri.
[Oh, iya ... tadi di kelas ada seorang gadis yang memberiku surat.] Naik turun nafasku membaca kabar yang sungguh tak mengenakkan itu.
[Terus?] Entah kenapa aku berharap Mas Arhan menolaknya.
[Kuterima suratnya ....] Mulai ada bagian hati yang tercabik, kecewa atas tindakan Mas Arhan.
[Apakah dia cantik, Mas?] Padahal bukan itu yang ingin kutanyakan, tapi aku ingin tahu lebih cantik siapa antara diriku dengan gadis itu. Tapi, mana mungkin Mas Arhan bisa membandingkan, melihatku saja belum pernah.
[Hmmm ... dia bintang kelas!]
[Wah! hebat donk!] Sejujurnya hatiku terasa panas, seolah api yang tak kasat mata menjalar dalam dada.[Suratnya berbahasa Inggris, karena enggak mau pusing kuserahkan pada ahlinya, lalu guruku membacakannya di depan murid-murid.]
[Apa yang gadis itu katakan di dalam surat?]
[Dia mengungkapkan perasaannya dan ingin menjadi pacarku.] Nyaliku menciut seketika, membayangkan gadis itu. Selain cerdas, mungkin dia juga primadona hingga bisa sangat percaya diri.
[Lalu?]
[Harusnya, gimana?]
[Ish!] Aku mulai sewot.
[Setelah membaca surat itu, Pak Guru bertanya apa keputusanku ....]
[Terus?]
[Nabrak, donk!]
[Ish!]
[Tenang saja, aku menolaknya!]
[Tega kamu, Mas!]Sungguh tidak bisa kubayangkan menjadi gadis itu. Betapa malunya dia ditolak mentah-mentah di hadapan teman-temannya. Mas Arhan benar-benar keterlaluan. Tapi, di sisi lain aku merasa lega, panas yang kurasa sebelumnya seolah sirna disiram hujan es.
****
Sepulang sekolah, aku menenggelamkan diri di kamar. Merebahkan diri di kasur lapuk yang kapasnya sudah mengeras. Pandanganku menatap langit-langit, teringat sikap Mas Arhan. Jika bintang kelas saja ditolaknya bagaimana mungkin dia memandangku.Saat hampir tertidur, sayup kudengar di luar Ibu tengah bercakap-cakap dengan tetangga. Membahas tentang Kiyai Bisyir yang ternyata pernah satu pondok pesantren dengan tetanggaku itu saat menimba ilmu di Kajen. Bahkan Ibu menunjukkan kekagumannya setelah banyak mendengar cerita yang sama tentang betapa megah dan mewahnya SMK IB yang dibangun oleh Kiyai Bisyir. Aku senyum-senyum sendiri, Ibu tidak mengetahui bahwa Puteri kesayangannya ini bahkan mengenal keponakan dan santri 'ndalem'nya Kiyai Bisyir.
KAMU SEDANG MEMBACA
HARMONI SAGA
Lãng mạnCinta Tak Biasa *Novel ini sudah tahap lay out, doakan semuanya lancar, yak! 🤗