"Perempuan itu sangat supel, semenjak duduk di sebelahku dia yang berinisiatif mengajak bicara. Sampai mengalirlah obrolan kita pada almamaterku. Ternyata dia adalah adik dari guruku di SMK IB. Pantas wajahya tidak asing ...."
Mas Saga melonggarkan pelukannya, lalu menyandarkan punggungnya di kepala ranjang.
"Dia menceritakan perihal hidup Gus Arhan yang sengsara pasca putus cinta dari kekasihnya. Gus sering menangis di kontrakan perempuan itu ...."
"Maksudnya menangis karena aku?" Mataku mengerjap menatap Mas Saga, lalu dia mengangguk pelan.
"Kuliah Gus Arhan hampir saja berantakan. Dia ingin kabur dari Bandung untuk kembali pada kekasihnya, namun urung melakukannya mengingat nama besar Kiyai Bisyir ...."
'Oh, diriku tak ada artinya dibanding latar belakang keluarga. Sudah seharusnya dia melakukan itu.'
"Gus mencoba fokus menamatkan pendidikannya. Tapi, kabar mengejutkan datang ketika kekasihnya bertunangan dengan sahabatnya sendiri. Dia kembali hancur. Seringkali begadang dan malas mengerjakan tugas-tugas kuliah. Bahkan perempuan itu mengepalkan tangannya saat menceritakan itu. Sepertinya dia kesal terhadap sahabat Gus Arhan ...."
'Oh! Andai perempuan itu tahu, sahabat yang telah bertunangan dengan kekasih Mas Arhan tengah duduk di sampingnya saat itu.'
"Jadi, Mas dihajar?"
"Tidak, Gus Arhan tidak menyebutkan nama sahabatnya waktu curhat dengan perempuan itu ...." Pandangan Mas Saga kembali menerawang, kesedihan kembali menggelayut di matanya.
"Itu bukan salahmu, Mas ...." Kuletakkan kepalaku di pangkuan Mas Saga. Jemarinya mengusap-usap pipiku.
"Gus Arhan menderita, Dek! Badannya semakin kurus karena jarang makan kalau tidak ada seseorang yang memaksanya ...."
'Itu juga yang kurasakan saat dia menghilang. Berat badan yang semula porposional 45 kilogram, turun drastis. Seperti pengidap anoreksia.'
Bukannya tidak ada perasaan iba mendengarnya. Tapi dendam kesumat sudah terlanjur tertanam di hatiku. Lelah sudah dipermainkan seperti ini. Bagai layang-layang yang ditarik ulur benangnya. Terombang-ambing oleh angin, dipaksa kuat terbang tanpa arah dan tujuan. Setelah itu tali layangan di tambatkan pada pohon. Sementara dirinya melenggang pergi tanpa peduli dengan nasib layang-layang itu. Apakah kuat bertahan menghadapi serangan panas dan hujan. Seputus asa itu diriku.
"Lalu ... apa aku harus lari ke sana, Mas? Memasakkan menu kesukaannya, begitu?"
Mengapa seolah diri kami yang bersalah. Padahal akar masalahnya berada pada dirinya sendiri. Abah dan Uminya tahu hubunganku dengannya. Seandainnya Mas Arhan mau berjuang pasti orang tuanya akan luluh, jika yang menyebabkan perpisahan kami adalah soal restu. Tapi, alasan waktu itu bukan menyoal restu, melainkan dirinya yang belum mandiri. Padahal Mas Saga juga sama, sekalipun baru memulai karirnya saat itu dia berani mengikatku terlebih dulu. Sampai mapan secara finansial hingga tidak lagi menjadi beban orang tuanya, baru kemudian menikahiku.
Bahkan diam-diam Mas Saga memasang target kapan siap mengambil alih peran orang tua dalam menjagaku. Karena setiap perempuan butuh kepastian, bukan hanya janji-janji semu. Menunggu tiga tahun lamanya, setelah itu pupus begitu saja. Membuang-buang waktu masa muda tapi tak berakhir bersama. Rasanya dadaku kembali terbakar. Seandainya reuni kemarin Mas Arhan mau menemuiku, kupastikan dirinya habis oleh amarahku.
"Adek membencinya?" Mas Saga melihat kilatan api pada manik mataku.
"Terkadang ...."
Dulu aku begitu mencintainya. Dia satu-satunya lelaki yang paling sempurna di mataku. Meskipun secara fisik Mas Saga jauh berkali lipat lebih bagus darinya. Belakangan aku mulai merasakan kehampaan, seiring hatiku dia bawa pergi tapi ragaku ditinggal begitu saja. Bukan hanya dirinya yang merana. Aku juga menderita karena pikiran labilnya.
"Gus Arhan tahu, Adek tidak bisa melupakannya meski sudah bertunangan. Jadi, dia menyuruh perempuan itu untuk mengaku sebagai istrinya yang tengah mengandung buah cinta mereka ...."
Sepertinya bom atom baru saja jatuh di dadaku. Teganya Mas Arhan melakukan itu, seolah perasaanku ini barang yang mudah dipermainkan. Apa yang dia pikirkan hingga sejahat itu. Bahkan karena kudengar dia sudah menikah dan bahagia, maka dengan berat juga kuputuskan untuk siap dinikahi Mas Saga.
'Ya Allah ... sungguh Mas Arhan keterlaluan!'
"Bb--berarti Pp-purba Sera itu bukan isterinya?"
Gelengan Mas Saga sontak membuatku terlonjak kaget. Tak habis pikir atas skenario yang dibuat Mas Arhan. Bahkan perbuatannya tak hanya menghancurkan diri sendiri, tapi juga diriku. Kenapa tak berpikir sampai sana. Lalu, aku kembali teringat pada akun Purrba Serra. Kuraih gawaiku yang tergeletak di atas cermin rias. Kupilih-pilih gambar yang paling jelas.
"Apakah perempuan ini yang duduk di sebelah Mas Saga kemarin?"
Mas Saga mengamati foto itu, dahinya mengerut dalam seolah mencocokkan dengan ingatan pada perempuan yang dia maksud.
"Benar! Dia orangnya, Dek."
Napasku tersengal. Beberapa bulan kuhabiskan untuk mengikuti jejak perempuan ini di sosial medianya. Bahkan terkadang aku sangat iri dengan kesederhanaan yang mampu menghipnotis Mas Arhan. Ternyata ...."Kenapa Adek tidak mengatakan tentang Purba Sera?"
"Aku takut Mas terluka, dan membenci Mas Arhan yang sudah meninggalkanku lalu menikahi perempuan lain."
"Seandainya Adek berterus-terang waktu itu, mungkin Mas bisa mencari informasi tentang Purba Sera."
"Dan saat mengetahui ini di awal, Mas akan menggagalkan rencana pernikahan kita lalu mengembalikanku pada Mas Arhan, begitu?" Aku berdesis.
"Dek--"
"Mas! Ini bukan salahmu! Berhenti hidup dalam kendali rasa sesal yang dirimu sendiri tak kuasa mengubahnya ...." Luruh lagi air mataku.
"Oh, Iya! Mas menyimpan nomornya Purba Sera kalau adek--"
"Tidak, mas! Perempuan itu yang berhutang maaf padaku. Bagiku Mas Arhan juga sudah tutup buku."
Mas Saga terperanjat dengan ucapanku. Seolah tak percaya aku tengah berusaha melupakannya. Hanya tengah berusaha, bukan berarti seratus persen melupakannya.
"Apa perlu kita mengunjunginya, Dek?"
"Mas Arhan? Apa dia sakit keras?"
Menurutku nasi sudah menjadi bubur, tinggal bagaimana cara kita membumbui buburnya agar tetap nikmat di lidah. Toh, bubur ini Mas Arhan yang membuatnya. Terlepas dari apa yang melatarbelakangi yang jelas hidupku terlanjur mengikuti skenario yang dirancangnya.
"Mbak Sera bilang Gus Arhan semakin terpuruk sejak kita menikah, Dek."
"Dia yang menginginkannya ...."
'Seperti janjiku saat kamu memutuskan hubungan kita, Mas. Aku akan menikah dengan Kakak, Adik, bahkan sahabatmu, meski aku tidak mencintainya. Dan sekarang sudah kutunaikan janjiku. Tiada tempat lagi bagimu Mas Arhan ....'
Sadarkan aku Tuhan dia bukan milikku
Biarkan waktu, waktu, hapus akuLagu yang diputar Teh Siti seolah menjadi sindiran yang tepat sasaran. Membuat aku dan Mas Saga saling menatap, lalu kami tertawa dalam tangisan.

KAMU SEDANG MEMBACA
HARMONI SAGA
RomanceCinta Tak Biasa *Novel ini sudah tahap lay out, doakan semuanya lancar, yak! 🤗