Foto

32 3 0
                                    

"Moni! kamu dipanggil Pak Kepsek sekarang juga, kata beliau ada yang penting!" Hasan tiba-tiba muncul, nafasnya terangah-engah seperti dikejar hantu. Aku dan Mita yang sedang mengerjakan tugas Sosiologi, saling pandang, sama-sama heran.

"Tadi pagi kamu enggak datang terlambat kan, Mon?" Aku membalas pertanyaan Mita dengan gelengan kepala sambil mengingat kesalahan apa yang mungkin kulakukan, hingga kepala sekolah memanggilku ke ruangannya.

"Cepat ke sana, gih! Siapa tahu memang ada apa-apa, Mon!" Mita mengambil alih buku dari tanganku.

Kulangkahkan kaki lebar-lebar menuju ruangan yang berada paling ujung dari bangunan gedung sekolahku, dari balik kaca bening dapat kulihat lelaki paruh baya sedang duduk di meja kerjanya menekuri berkas-berkas yang menumpuk.

"Assalamualaikum ...."
"Waalaikumsalam ... sini masuk, Nduk!" Pak Heru, begitu beliau akrab disapa. Kepala sekolah yang sudah kukenal hampir dua tahun ini-- semenjak aku masuk menjadi murid baru sampai sekarang sudah berada di kelas XI, mempersilakan duduk.

Kupilin-pilin ujung jilbabku demi menghalau resah.  Kupindai aktivitas Pak Heru yang tampak menarik laci dan mengeluarkan sebuah amplop dari dalamnya. Tak biasanya Pak Heru memanggilku seperti ini, kutebak bukan  masalah tunggakan SPP karena semua sudah tercover oleh beasiswa.

"Sejak kapan kamu mengenal murid SMK IB, Nduk?" Pak Heru menurunkan kaca matanya sambil mengamati amplop sekali lagi, memastikan tidak tertukar dengan amplop yang lain, lalu mengangsurkannya padaku.

Sebuah amplop dengan kop surat di atasnya, 'SMK TERPADU ILHAM BISYIR' lengkap beserta alamatnya tertulis dengan huruf besar. Aku panik seketika, ini jelas berbeda dari surat yang biasa kuterima.  Namun, saat kubalik amplop itu terdapat nama pengirimnya, Arhan Akhtar. Mataku membulat sempurna, apa maksudnya mengirim surat dengan amplop resmi, alih-alih dikirim ke alamat rumah, ini malah dikirim ke sekolah. Keringat dingin mengucur dari dahi sampai merembes di jilbabku. Pak Heru masih menatap lekat, tampak menunggu penjelasan.

"Ehm-- itu ... anu-- dia teman yang kukenal saat tes seleksi di gempa Yogyakarta kemarin, Pak!" Ditatap Pak Heru seperti itu membuatku gelagapan. Tak terpikirkan jawaban lain, kurasa itu sudah yang paling ringkas daripada harus menjelaskan kronologis kejadian  A-Z awal perkenalanku dengan Fahmi sampai pada Mas Arhan. Kulihat Pak Heru manggut-manggut mendengar jawabanku.

"Oh, begitu ... SMK IB itu sekolah favorit, bukan hanya untuk calon siswanya, bahkan banyak orang yang melamar ingin menjadi guru di sana ...." Pak Heru melepas kacamatanya, terlihat pandangannya menerawang jauh.
"Eh, apa jangan-jangan yang kirim surat barusan itu pacarmu, Nduk?"

Sesaat jantungku seperti berhenti memompa, meskipun Pak Heru melontarkan pertanyaan itu dengan nada bercanda rasanya seperti sedang diinterogasi saja. Wajahku memerah antara malu ketahuan surat-menyurat dengan lawan jenis, juga takut kalau perihal surat ini menyebar ke seantero sekolah.

"Ya sudah, silakan kembali ke kelasmu, Nduk ... Bapak juga pernah muda, kok!" Lagi-lagi Pak Heru tersenyum jenaka. Aku meninggalkan ruang itu dengan tergesa. Dalam hati terus merutuki ulah Mas Arhan. Bisa-bisanya berkelakuan sejahil itu.
****
[MAS ARHAN KELEWATAN!] kukirim SMS itu setelah keluar dari ruangan Pak Heru. Selang beberapa detik, gawaiku berdering nyaring. Kutekan tombol hijau lalu bersiap melontarkan rasa kesal yang sejak tadi kutahan.

"Santai aja Harmoni ... Pak Heru itu sahabat baik Kiyai Bisyir, beliau sering main ke pondok sini."

"Hah! jadi Pak Heru tahu Mas Arhan mengenalku?"

"Mungkin baru tahu saat surat itu sampai di tangan beliau tadi pagi ...." Dari seberang sana terdengar tawanya berderai hingga ia menjeda penjelasannya.

"Harusnya sih, lebih praktis nitip surat untukmu lewat Pak Heru, tapi takut digantung Pak Kiyai kalau sampai ketahuan."

Selama ini surat-surat yang kukirim untuk Mas Arhan diterima oleh satpam, lalu diberikan langsung pada Mas Arhan. Jadi, peluang tertangkap Kiyai Bisyir nyaris tak ada. Berbanding terbalik denganku, mengirim  surat ke sekolah sama saja memproklamirkan sebuah hubungan yang entah apa. Diterima langsung oleh kepala sekolah karena sekolahku berada di pelosok kampung dan tidak memiliki penjaga. Pintu gerbangnya selalu terbuka sejak pagi, oleh guru yang sedang piket.

"Maksudnya apa coba, mengirim surat ke sekolah?"
"Seru aja!" Tawanya membahana lagi, sementara diriku bertambah kesal. Baik Fahmi maupun Mas Arhan sama-sama menyebalkan, suka sekali mengerjai orang.
****
"Harmoni ... benar tentang semua yang kamu katakan. Bahkan bisa dibilang, kamu memiliki salah satu keahliannya  Pak Kiyai, setiap perkataanmu berpotensi untuk mempengaruhi seseorang. Untaian kalimat yang kamu tulis sungguh penuh hipnotis. Membuatku semakin sadar bahwa rasa percaya diri itu bukan berasal dari apa yang kita miliki maupun apa yang kita kenakan, tetapi berasal dari rasa syukur terhadap diri atas segala karunia Ilahi.

Oh, iya! Harmoni ... kamu tahu salawat Fatih? Kalau belum, di balik surat ini sudah kutuliskan dengan lengkap. Dibaca terus setiap hari, ya! Itu salah satu ijazah yang kudapatkan dari Kiyai Bisyir. Sebuah cara agar semua mimpi dan harapan kita terkabulkan. Jadi, mulailah menyusun mimpi dari sekarang. Jangan lupa, jadikan diriku sebagai bagian dari mimpimu juga! Eh ...."

Harmoni ... maaf aku melanggar kesepakatan kita. Kukirim beberapa lembar fotoku bersama surat ini. Aku tahu, sebenarnya kamu penasaran seperti apa wajahku namun tetap menahan diri. Aku hargai prinsipmu yang super keren itu. Semoga setelah melihat fotoku kamu tidak kecewa."

Dengan hati berdebar kubuka kertas kecil yang dilipat menyerupai amplop. Sungguh degup jantungku tak terkendali. Mengingat apakah Mas Arhan benar bertubuh kurus seperti bayanganku. Berambut gondrong, atau malah pelontos seperti kacang atom.

Sungguh di luar ekspektasi, bahkan lebih buruk dari yang kuyakini setelah melihat lembaran foto itu. Mas Arhan benar-benar ... ah! Aku nyaris menangis karena tak bisa berhenti terbahak. Dia sangat cerdas! Mengirimkan foto sekelompok pemuda mengenakan seragam almamater SMK IB yang sedang tersenyum ke arah kamera. Dari puluhan pemuda yang tampak bahagia itu, tak kuketahui mana Mas Arhan. Baik yang ceking sampai yang bongsorpun ada. Bagaimana caraku mengenalinya?

'Arg! Dasar Mas Arhan nyebelin!'
Aku sebal tapi juga gemas sendiri, berguling-guling di kasur dengan perasaan campur aduk.








HARMONI SAGA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang