Sejak bertukar nomor dengan Fahmi, kami semakin akrab berkirim pesan, chatting via SMS. Obrolan kami masih seputar tentang kegiatan di Yogyakarta yang batal dia ikuti. Belum sekalipun kutanyakan perihal latar belakangnya. Biarlah persahabatan ini terjalin apa adanya, tanpa embel-embel apapun yang menyertai.
Hingga dua Minggu kemudian tidak ada kabar darinya, entah dia ditelan apa. Kalau bumi yang menelan, berarti Fahmi mati, donk, aku menghalau pikiran buruk yang berkelendan. Nekat, kukirim pesan padanya meski sebenarnya ini bukan gayaku. Toh apa salahnya ingin mengetahui kabar sahabat, daripada penasaran.
[Dor! Kemana aja?]
Semenit, lima menit, belum ada jawaban. Sampai 30 menitan pesanku dianggurin. Aku jadi tidak enak, sayangnya pesan yang terlanjur terkirim tidak bisa ditarik. Lalu kuletakkan gawaiku di nakas, dan bergegas tidur.[Ada, kok! Lagi sibuk PKL aja ....]
Akhirnya dia membalas di hari selanjutnya, saat jam istirahat sekolah seperti biasa. Mungkin Fahmi benar-benar sibuk, padahal biasanya dia langsung menelpon.[Ok, take care, yak!] Karena bingung mau membalas apa, kalimat itu lolos begitu saja.
[Loh, kok, gitu? Santai aja, PKL bukan berarti alasan untuk tidak berkomunikasi dengan teman ....]
Aku tergelitik dengan kata teman, sejak kapan Fahmi mulai sopan dan tidak enakan begitu.Lalu dia bertanya seputaran seleksi dan Yogyakarta lagi. Padahal sudah kujawab selengkap-lengkapnya, sejak awal bertukar nomor sampai berminggu-minggu yang lalu pembahasan kami tak pernah sedikitpun bergeser pada hal lain.
Mungkinkah kesibukan PKL membuatnya amnesia, aku memilih tak membalas pesannya. Pelajaran kimia membuatku larut untuk berkutat dengan rumus-rumus, juga tidak mungkin bermain HP saat jam pelajaran berlangsung.
****
Bunyi nada SMS beruntun membangunkan ku di pagi buta. Butuh beberapa menit untuk membuat diri ini sadar sepenuhnya. Hingga mataku membola membaca pesan dari Fahmi, banyak sekali.
[Harmoni ... selamat pagi!]
[Harmoni ... ayo, Salat!]
[Harmoni ... pamali anak gadis masih tidur jam segini.]
[Harmoni ... Banguuuun!]
[Maaf ... Harmoni ngiler, ya?]Spontan kuusap sudut bibirku, tidak ada apa-apa. Aku tersenyum sendiri mengingat kelakuan bodohku barusan. Tapi, Fahmi nampak aneh sejak kemarin.
[Iya, aku udah bangun, kok! Coba panggil namaku sekali lagi!]
[Harmoni ....]
[Lagi ....]
[Harmoni! Harmoni! Harmoni ... cantik!]
[ fix, KAMU BUKAN FAHMI!]
Kuketik balasan dengan capslok jebol, Fahmi tidak pernah menyebutkan namaku dengan benar, ia memanggilku Hermion, bukan Harmoni.
Aku merasa ada seseorang yang lancang menggunakan HP Fahmi. Atau mungkin HP Fahmi berpindah tangan akibat dicuri seseorang. Bisa jadi dua Minggu tanpa kabar bukan sedang PKL, tapi ia kehilangan gawainya. Tapi, kalau bukan Fahmi mengapa dia tahu tentang seleksi dan Yogyakarta. Aku benar-benar bingung.Puluhan panggilan masuk dari nomor Fahmi kuabaikan. Meski sebenarnya aku sudah siap berperang. Sepertinya keinginanku untuk menginterogasi dalang dibalik pesan-pesan itu harus tertunda, sebab aku harus bangun, salat Subuh, sarapan, dan bersiap ke sekolah.
[Mbak, Harmoni ... maaf ....]
[Please ...! aku tidak bermaksud menipumu.]
[Mbak, aku bisa jelaskan ....]
[Tolong ... balas, ya!]
Setelah mengirim deretan kalimat itu, tak lelah ia coba menghubungiku. Kurijek panggilannya, aku berencana menelpon dia kembali saat jam kedua, kebetulan pada jam itu guru tidak bisa hadir. Jadi, jam kosong bisa kumanfaatkan sebaik-baiknya untuk memarahinya.
****
Setelah panggilan ke 108, akhirnya kupencet tombol hijau dan meletakkan gawai di telingaku. Aku sudah berada di lantai tiga, memastikan suara di seberang sana terdengar jelas dan tidak putus-putus."Hallo ...."
Suara seorang pemuda terdengar sangat merdu, dan empuk. Hampir saja aku meleleh, hingga pada akhirnya berpura-pura jutek adalah pilihan terbaik.
"Jelasin!"
"Mbak, maaf ...."
"Sejak kapan aku menikah dengan kakakmu, hah!"
"Maafkan aku, Harmoni ...."
Dari suara merdunya mengalir cerita bahwa dia adalah seorang santri 'ndalem', santri yang menimba ilmu tanpa perlu mengeluarkan dana sepeserpun dengan cara mengabdikan diri dan tenaganya di pesantren milik Kiyai Bisyir.Semua santri tidak diperbolehkan membawa HP, kecuali santri 'ndalem' yang memang dikhususkan untuk bisa dihubungi oleh Kiyai sewaktu dibutuhkan. Jadi, Fahmi meminjam gawai milik pemuda itu untuk menghubungiku. Aku terharu dengan perjuangan Fahmi, namun di sisi lain merasa sebal karena dibohongi.
"Hallo ... Mbak, masih di sana?"
"Ehm, iya ... ngomong-ngomong aku harus memanggilmu apa?"
"Namaku Arhan Akhtar ... Mbak bisa memanggilku apa saja, silakan!"
"Ok, Mas Apa Saja! Sepertinya kita tidak mungkin berteman di masa depan, karena aku benci dibohongi!" Kuputus pembicaraan sepihak sebelum tandukku benar-benar keluar dan siap menubruknya dengan perkataan yang lebih menyakitkan.Memangnya aku gasing yang bebas diputar-putar bergantian untuk membuat orang lain tertawa. Meskipun alasannya cukup logis, bahwa dia berbaik hati meminjamkan gawainya itu berarti juga selama ini dia pun membaca obrolanku dengan Fahmi. Tidak pernah ada aneh-aneh, sih. Tapi tetap saja aku tak suka, seharusnya dia memberitahu sejak awal.
Lagian, Fahmi juga sebelum berangkat PKL ke Jakarta mengapa tak berkabar lebih dulu, sehingga aku tak perlu menghubunginya. Aku mulai kesal, namun bingung siapa yang harus disalahkan.
****
[Mbak, masih marah? Maafkan aku, ya ...]
Untaian kalimat itu memenuhi kotak pesan di HP ku tak peduli siang maupun malam menjelang. Entahlah, tak seharusnya aku semarah ini padanya. Toh, jika dipikir-pikir seharusnya aku berterimakasih, kan. Dia secara sukarela menjembatani komunikasiku dengan Fahmi. Bahkan bersedia berpura-pura menjadi dirinya hanya agar pesanku tetap terbalas dan aku tak kecewa Fahmi pergi tanpa pamit.[Kumaafkan]
[Beneran, Mbak?]
[Iya]
[Eh, tapi kenapa ngegas begitu?]
[Maumu apa?]
[Tuh, kan marah lagi ....]
Beberapa detik kemudian dia mengirimkan gambar bunga mawar hitam-putih. Entah kenapa, itu berhasil membuat sudut bibirku bergerak.
****
[Mbak, malam ini bulan menghilang!!!] Tak biasanya pemuda itu mengirim pesan dengan heterobang, alias penggunaan tanda baca yang berlebihan di ujung kalimatnya.[Hah! gerhana, ya?] Cepat-cepat aku turun dari ranjang, lalu membuka jendela kamar. Kulihat rembulan sabit masih menggantung di langit ditemani cahaya gemintang.
[Enggak usah dicari, Mbak! Karena bulannya terukir indah pada senyummu hahaha ....]
Sepontan wajahku merona karena tingkah konyolnya. Meskipun ini bukan kali pertama ia bersikap begitu, masih saja aku terjebak.[Mbak ... istirahat, ya! Haram hukumnya kalau sampai sakit!] Aku mulai terbiasa menerima kehadiran Arhan Akhtar, meskipun hanya sebatas kata, bahkan belum bisa menggambarkan seperti apa sosok pemuda itu sebenarnya.
![](https://img.wattpad.com/cover/309346696-288-k999076.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
HARMONI SAGA
Roman d'amourCinta Tak Biasa *Novel ini sudah tahap lay out, doakan semuanya lancar, yak! 🤗