Gerah

38 4 2
                                    

Besar rasa cinta yang dulu aku punya
Kini hilang terkikis oleh semua luka
Biarkan aku pergi bersama malam gelap dan dingin
Rasakan sakit hati yang harus aku lalui
Usai semua cerita antara aku dan dia
Hmm ...

'Kau bukan untukku' dari band Sahara diputar oleh sopir bus malam yang kami tumpangi menuju Depok. Entah mengapa lagunya sangat pas, membuat tangisku tak bisa dibendung lagi. Selaras dengan langit yang menjatuhkan rintik hujan di luar, seolah merasakan duka yang sama seiring kepergian kami meninggalkan kota Pati.

Dulu, lagu itu digunakan sebagai RBT favoritnya Mas Arhan. Juga menjadi lagu kesukaanku, aku pernah memintanya untuk tak terburu-buru mengangkat telepon karena ingin mendengar RBT mengalun sampai lirik akhir terlebih dulu.  Tak kusangka, lagu yang kusukai itu menjadi takdir terburuk dalam hidupku.  Setiap baitnya mewakili jerit hati menanggung kesakitan oleh cinta yang menyakitkan.

Mas Saga membiarkanku larut dalam sedu-sedan. Aku yakin, diapun berusaha menenangkan hatinya sendiri. Betapa hidupnya akan sulit nanti, menjalani hari-harinya bersama seorang istri yang tak menginginkannya.

"Dek, jauh-jauh ke Depok kenapa bawa tomat?" Setelah lama kami saling diam, akhirnya Mas Saga memecah keheningan.

"Mana?" Jawabku serak sambil mencari-cari tomat yang Mas Saga maksud. Sementara dia tertawa sambil menunjuk pantulan wajahku di kaca jendela. Lalu menjawil cuping hidungku yang semerah tomat. Sontak kupukul-pukul lengannya karena sebal.

"Aku janji, di Depok nanti takkan kubuat kamu menangis lagi, Dek ...." Lirihnya menatap lekat manik mataku yang sembab.
****
Kami sampai di Depok pada pagi buta. Langsung menuju rumah kontrakan yang sudah disiapkan Mas Saga sebelum hari pernikahan. Aku tak begitu banyak membawa barang bawaan, hanya beberapa lembar pakaian dan kalung dari Mas Arhan yang kusembunyikan di antara helai baju.

Rumah itu lumayan luas untuk ditinggali kami berdua. Bangunan yang menghadap matahari membuat kami dilimpahi cahaya sejak membuka pintu dan jendela di pagi hari. Di luar bayanganku, ternyata Mas Saga begitu perhatian memilih tempat yang berada di perkampungan tulen, bukan perumahan yang antar tetangga saja tidak saling mengenal.

Bahkan di hari pertama kepindahanku, tetangga sekitar sudah hilir-mudik menyambangi kami. Mereka antusias dan sangat ramah. Sepertinya aku akan betah tinggal di sini melihat lingkungan yang cukup asri dan masih alami. Meskipun jarak tempuh ke pusat kota Depok lumayan jauh.

Menjelang sore, saat duduk-duduk di balkon teras baru kusadari bangunan yang berada di seberang jalan, terpisah oleh halaman rumah yang kami tempati terdapat pondok pesantren. Tiba-tiba saja hatiku bergetar melihat para santri lalu-lalang. Lagi-lagi mengingatkanku pada Mas Arhan dan para santri SMK IB.

"Mas, kenapa memilih hunian di dekat pesantren?"

"Oh, aku rasa dirimu akan senang setiap hari mendengar anak-anak mengaji. Kenapa memangnya, Dek?"

'Mulia sekali hatimu, Mas ....'

"Tidak, hanya penasaran saja."

"Oh, iya! Buruan mandi, Dek! Nanti kita makan di luar."

"Memangnya Mas enggak capek habis perjalanan? Kita bisa bikin mie instan malam ini."

"Adek lupa, ya? Kita kan belum belanja perabotan ...." Kutepuk jidatku sendiri, baru menyadari dapur masih kosong. Bahkan piring dan gelas saja tak punya.
****
Usai salat Magrib, Mas Saga mengajakku berkeliling mengendarai sepeda motor. Angin berhembus sepoi-sepoi menyegarkan suasana hati. Ditambah wangi parfum yang menguar dari badan Mas Saga serupa aroma terapi yang menenangkan.

'Oh! Seandainya yang sedang bersamaku ini adalah Mas Arhan, sudah kulingkari pinggangnya dengan tanganku. Kusandarkan kepalaku pada punggungnya yang kokoh ini ....'

Pengandaianku berakhir saat Mas Saga membawaku menepi pada warung serabi durian yang sangat ramai. Meski berada di pinggir jalan, warung yang didesain lesehan ini memiliki banyak penggemar yang mengantre panjang. Untungnya, kami masih kebagian tempat.

Adonan serabi yang dibakar di atas arang batok kelapa menciptakan aroma khas tersendiri. Disajikan hangat-hangat bersama fla durian sungguh sangat nikmat. Apa lagi langit malam dihiasi bulan purnama yang sangat indah.

'Andai yang dihadapanku ini adalah Mas Arhan, betapa romantisnya menikmati serabi durian di kolong langit bermandikan cahaya rembulan ....'

"Dek, pernahkah kamu berpikir apa yang membuatku menyukaimu?" Suara lembut Mas Saga menarikku dari lamunan.

"Entahlah, pertama kali kita bertemu aku belum mandi waktu itu ...."

"Iya, bahkan ada sedikit cemong di pipimu. Mungkin terkena arang kayu bakar." Mas Saga terkekeh sendiri.

"Meski begitu aku tetap percaya diri kan, Mas ...."

"Itulah keistimewaanmu, Dek. Jika gadis lain akan malu tampil tanpa make-up. Tapi, kamu tidak."

'Duh! Mas .... Seandainya yang datang itu Mas Arhan. Sudah pasti aku mandi, kalau perlu dengan kembang setaman. Dan pastinya berdandan lebih dulu.'

"Dan Mas jatuh cinta setelah berhasil melihat aib-aib di wajahku?" Aku cemberut kesal.

"Bukan! Karena dirimu satu-satunya gadis yang tak terpesona denganku." Ada benarnya, karena dulu Genk Kenyok langsung heboh melihat Mas Saga dan memuji-mujinya.

'Karena mataku dipenuhi wajah Mas Arhan, bahkan sampai sekarang. Sehingga aku tak bisa melihat kesempurnaan lelaki lain.'
****
Badan terasa lelah setelah berkeliling dan memilih-milih di toko perabotan. Kurebahkan diri di ranjang yang ukurannya tidak terlalu besar dibanding ranjang yang berada di rumah Mas Saga. Sehingga jarak kami lumayan dekat jika tidur bersebelahan seperti ini. Membuatku tidak leluasa bergerak.

"Dek, malam ini gerah, ya ...."

"Mungkin akan turun hujan, Mas."

"Dilepas saja jilbabnya, Dek."

"Aa--kku eng--nggak gerah kok, Mas!"

'Itu bukan kode dari Mas Saga, kan?' Batinku bergumam sendiri.

Hampir sebulan menjadi istrinya aku belum pernah sekalipun membuka jilbabku di hadapannya. Selalu berganti baju di kamar mandi dan keluar sudah keadaan rapi. Bahkan tidur pun tetap memakai gamis dan selimut tebal. Sekalipun keringat mengucur seperti ini karena kegerahan itu jauh lebih baik, dari pada Mas Saga melihatku dalam tampilan berbeda lalu terjadilah yang iya-iya.

"Dek, ranjang ini hadiah dari teman-teman kantorku. Jika adek tidak nyaman besok kita bisa beli yang baru yang seukuran di kamarmu atau kamarku?"

'Masalahnya bukan pada ranjangnya, Mas ... seluas apapun ranjang jika yang berada di situ adalah dirimu, aku tetap merasa was-was.'

Haruskah kukatakan itu pada Mas Saga?












HARMONI SAGA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang