Perempuan Misterius

34 3 0
                                    

"Nduk, sudah hampir setahun, loh! Apa sudah ada tanda-tanda Ibu akan menimang cucu?" Suara lembut Ibu bagai petir yang menyambar jantungku. Selama  ini Ibu tidak pernah menyinggung masalah keturunan tapi tiba-tiba saja beliau bertanya dan aku jelas bingung menjawabnya.

Mustahil jika berterus-terang bahwa aku sama sekali belum tersentuh oleh Mas Saga, sama halnya harga dirinya sebagai lelaki dipertaruhkan. Tapi, bila tidak kujelaskan pastinya keluarga besar Mas Saga sudah menanti-nanti kabar gembira bahwa aku akan segera memiliki momongan mengingat usia pernikahan yang sudah bukan pengantin baru lagi.

"Ehm ... doakan saja, Bu!" Hanya itu yang akhirnya kukatakan.

"Nduk, mungkin saja kamu perlu istirahat total. Hindari kegiatan yang melelahkan termasuk kebiasaanmu yang suka angkat-angkat barbel itu ...."

'Kerjaanku cuma makan, minum, tidur, jalan-jalan, Bu ... mana mungkin kelelahan.'

"Atau kalian berdua mau diperiksa? Ibu punya kenalan dokter spesialis kandungan yang bagus ...."

'Kandunganku tidak bermasalah, Bu ... hanya saja segelnya masih terkunci.'

"Terimakasih nasehatnya, Bu. Terkait pemeriksaan nanti bisa kami diskusikan lagi." Aku tersenyum kecut. Tak menyadari waktu cepat sekali bergulir. Alih-alih memikirkan masa depan justeru aku terjebak pada masa lalu bersama Mas Arhan.

Mas Saga juga tampak tak peduli dengan pandangan keluarga besarnya terhadap kami. Satu-satunya hal yang paling penting menurutnya adalah kebahagiaan untukku. Bisa saja Mas Saga memaksa meminta haknya. Nyatanya dia bertahan selama ini, dan lebih sering berpuasa Senin-Kamis. Mungkin untuk meredam gejolak batinnya yang butuh pelepasan.

Hubungan kami lebih kepada sahabat dibandingkan suami-istri. Sehingga Mas Saga menghormati keputusanku untuk tidak mau disentuh dulu sebelum otakku benar-benar bersih dari Mas Arhan. Tak terasa waktu yang diberikan Mas Saga sudah teramat panjang, padahal seperti baru kemarin kami menikah lalu pindah ke Depok.
****
Mas Saga mengajakku bermalam Minggu, menikmati suasana salah satu cafe di Sawangan yang menyajikan menu es krim gorengnya yang best seller. Awalnya aku penasaran, bagaimana mungkin sifat es krim yang mudah mencair bila terkena panas, bisa digoreng. Tapi, saat melihatnya sendiri terjawab sudah teka-teki itu.

Mas Saga memesan dua porsi es krim goreng serta dua gelas jus alpukat. Kami memilih duduk di rooftof menikmati suasana malam yang bersih dari awan, sehingga kerlip bintang-bintang tampak menghiasi langit. Seperti biasa, Mas Saga memotong-motong es krim goreng lalu menyuapkan ke mulutku. Jika sudah begini, mendadak aku lupa dengan umurku sendiri. Serupa anak kecil yang begitu disayangi Mas Saga.

"Dek, bulan depan Mas ingin berangkat umroh ...."

"Bagus donk, Mas! Bisa datang langsung ke rumah Allah."

"Masalahnya, Ibu tak mengijinkan Mas membawamu tahun ini ...."

"Iya, menurut Ibu kalau ingin hamil aku harus bedrest total, Mas. Ibu hawatir turbulensi pesawat dapat menggugurkan kandungan." Kuceritakan argumen Ibu mertua kepada Mas Saga saat kami berkomunikasi seminggu lalu. Padahal kenyataannya belum sebiji pun benih tertanam di rahimku.

"Tapi, enggak apa-apa, Mas. Lain waktu kita bisa pergi berdua. Bulan depan, Mas Saga duluan saja ...."

"Tapi, bagaimana mungkin aku bisa pergi tanpamu ...." Raut Mas Saga berubah sendu.

'Doakan aku di Ka'bah, Mas ... agar sepenuhnya bisa menerima hujan cintamu'
****
"Gimana, Mas? Semua keluarga di Pati dan Jepara sehat?" Kusambut kepulangan Mas Saga dari kampung halaman, usai meminta doa pada mertua dan keluarga secara langsung.

"Iya, Dek ... bahkan doa mereka semua idem. Berharap kita segera memiliki momongan." Mas Saga nyengir kuda sambil menggaruk kepalanya.

"Dek, Mas kangen ...."

"Hish! Baru pergi dua hari, Mas. Buruan mandi sana, Mas bau bus!"

"Mandiin ...." Mataku melotot sambil mendorong tumbuhnya ke kamar mandi.

Sementara kusiapkan jahe hangat untuknya, biasanya ampuh menghilangkan pusing-pusing usai perjalanan. Keluar kamar mandi, Mas Saga terlihat segar. Aura kegantengannya kembali bersinar. Tanpa menyisir rambut lebih dulu, Mas Saga sudah memelukku yang tengah duduk di depan televisi.

"Minum, Mas ... selagi hangat!"

"Ada racunnya, enggak?"

"Enggak, cuma bubuk pelet dikit-dikit!"

"Oh, pantas! Mas semakin klepek-klepek." Dia memelukku erat sekali.

"Dek, pindah ke ranjang, yuk! Mas ingin tiduran." Seketika sulit sekali menelan ludahku sendiri. Lagi-lagi, was-was kalau Mas Saga meminta jatahnya sekarang. Kata 'tidur' membuat pikiranku liar.

Tak kupungkiri, sebagai perempuan normal terkadang melihat tubuh Mas Saga yang hanya terbalut handuk saja, sementara perut sixpacknya seperti roti yang menggoda untuk segera dimakan, membuat darahku berdesir. Tapi, kuredam hasrat itu karena berharap Mas Arhan kembali. Hingga membuat ranjang kami selalu dingin. Jangan sampai bercinta dengan pasangan tetapi yang dipikirkan malah wajah sang mantan. Membuatku semakin berdosa.

Di atas ranjang, Mas Saga masih memelukku. Diciuminya puncak kepalaku berkali-kali.

"Dek, kemarin selama perjalanan aku duduk bersebelahan dengan seorang perempuan ...."

Entah kenapa mendengar kata perempuan sensitif sekali pendengaranku, apa lagi perjalanan Depok-Pati hampir menempuh waktu 12 jam perjalanan. Berarti selama itu pula Mas Saga bersama perempuan itu. Hatiku berdebar, mungkinkah perempuan itu sangat cantik hingga membekas dalam ingatan Mas Saga. Atau bahkan mereka bertukar nomor untuk meneruskan perkenalannya agar lebih intens. Aku seperti dilanda rasa cemburu.

"Hmm ... lalu?" Kudengarkan cerita Mas Saga dengan rasa malas dan was-was.

"Perempuan itu mengenal Gus Arhan ...." Mendengar nama Mas Arhan disebut, getaran hatiku tidak menguat seperti sebelumnya.

"Tempat tinggal mereka di Bandung lumayan dekat, juga sama-sama kuliah di ITB ...."

"Bagus, donk! Kuharap mereka akhirnya jatuh cinta dan menikah!" Entah kenapa aku mendadak kesal. Bukan karena mencemburui Mas Saga, juga bukan lagi cemburu pada Mas Arhan. Intinya, yang terkait Mas Arhan memantik rasa benci di dalam hati, terlebih jika mengingat sikapnya yang tidak jantan menghadapi masalah, membuatku jengah padanya.

Mas Saga berbaring menatap wajahku, pandangannya seperti tak percaya. Seolah yang sedang seranjang bersamanya ini bukanlah Harmoni, istrinya.

"Kenapa menatapku begitu, Mas?" Kuusap sudut mata, takut kalau-kalau ada belek sebesar tape yang menyedot fokus Mas Saga.

"Dek, ceritanya mau dilanjut, tidak?" Mas Saga seolah ragu-ragu, antara yakin dan tidak atas kesediaanku mendengarnya.

"Hmm ... jadi, perempuan itu siapa?"











HARMONI SAGA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang