Menghilang

26 3 0
                                    

Amarahku masih tersisa meski berkurang kadarnya. Kebohongan yang dilakukan Mas Arhan cukup membuatku terguncang. Sudah lebih dari tiga hari aku mendiamkannya, HP juga kumatikan. Namun, sisi hati yang lain kembali menyadari bahwa semua orang bisa berbuat salah dan punya kesempatan untuk menjelaskan alasannya.

Tanpa pikir panjang lagi, kuaktifian kembali benda pipih yang teronggok tak berdaya di bawah bantal. Tak ada notifikasi apapun, bahkan SMS maupun panggilan darinya juga tak ada. Bukankah seharusnya dia menjelaskan padaku, tapi kenapa seolah aku yang  salah.

[Mbak, Mas Arhan menghilang!] Mas Panca memberi kabar yang membuatku terkejut. Ingin rasanya aku cepat-cepat menelpon guna mengkonfirmasi kebenarannya, tapi, bisa saja mereka bersekongkol untuk mengerjaiku.

[Memangnya, Gus Arhanmu itu benda?] Balasku sengit.
[Sehabis dari rumah Mbak Harmoni, Gus Arhan enggak kembali ke pondok sampai sekarang, Mbak!]
[Benarkah?]
[Demi Allah, Mbak! Bisa jadi bujang lapuk kalau aku berbohong.]

Kutekan nomor Mas Arhan berkali-kali, namun tersambung pada mailbox. Bukankah sewajarnya bila aku yang marah, tapi mengapa justeru aku yang dibuat takut. Seandainya terjadi sesuatu padanya sudah tentu aku lah yang diinterogasi lebih dulu, karena menjadi orang terakhir yang ditemui. Namun, lebih dari itu, aku menyayanginya. Sama sekali belum siap berpisah dengan cara seperti ini.

[Pulang, Gus!]
[Gus Arhan punya hutang penjelasan padaku!]
[Gus, katakan sesuatu!]
[Gus ...]

Kucoba mengirim pesan-pesan itu meskipun masih tertunda, yang berarti HPnya belum aktif. Kuhubungi semua kontak teman-temannya yang kukenal. Kebanyakan dari mereka memegang HP secara sembunyi-sembunyi, takut ketahuan Kiyai Bisyir dan mendapat sanksi. Namun, tak ada yang mengetahui keberadaan Mas Arhan, padahal lusa nanti ujian nasional akan dilaksanakan.

Bagai setrika listrik, aku mondar-mandir di selasar rumah tanpa merasa lelah. Memegang gawaiku dengan gelisah, menunggu kalau-kalau Mas Arhan menghubungi. Sampai kusadari kakiku mulai pegal-pegal hingga kuputuskan untuk rebahan di kamar hingga rasa kantuk mulai menghipnotis.

Dering HP membuatku terbangun, sekilas kulihat nama Mas Arhan di layar.
"Pulang, Gus!" Belum menjawab salamnya sudah kuserang dia dengan pekikan kerasku.

"Harmoni ... rumah-rumah terlihat kecil dari sini ...."
"Gus di mana?"
"Begini kah rasanya di puncak nirwana?"
"Di mana, Gus?" Semakin keras teriakanku.
"Harmoni ... apa kamu takut ketinggian? Aku ingin me--"
Tiba-tiba hening, suara Mas Arhan tak terdengar lagi.
"Gus! Gus! Gus Arhaaaannn!" Aku menjerit histeris.

"Aw! Kenapa menjerit begitu, telingaku sakit, tau!"
"Gus Arhan ..., Pulang!"
"Iy--ya a--ku pulang sekarang."
Sambungan terputus.

Aneh-aneh saja kelakuan pemilik mata elang itu. Bukankah menjelang Magrib begini spektrum syetan lagi kuat-kuatnya. Sudah seharusnya berada di dalam rumah, bahkan yang tengah berkendara saja disarankan berhenti dan meneduh dulu, dia malah entah di mana, sukses membuatku cemas.
****
"Harmoni ... maafkan aku ya, aku enggak bermaksud berbohong padamu ...." Wajah ganteng itu memelas.

"Aku enggak suka diperlakukan spesial hanya karena putera Kiyai Bisyir. Aku ingin hidup selayaknya teman-temanku, tanpa embel-embel bibit, bobot, bebet ..." Rasa kesal yang menumpuk sebesar gunung es, lambat-laun meleleh mendengar alasannya. Dari gurat wajahnya, dia tampak tak mengada-ada.

"Harmoni ... aku nyaman denganmu, kamu satu-satunya yang menerimaku sebagai santri 'ndalem'. Kamu tak pernah mengecilkan pekerjaanku sebagai pesuruh ...." Suara baritonnya mulai serak.

"Harmoni ... aku menyukaimu ....!" Kulihat matanya mulai berembun, bulir-bulir airnya jatuh saat berkedip.

"Duh! Cengeng banget, sih! Gitu aja nangis!" Kusodorkan selembar tisu padanya. Mas Arhan menyemprotkan ingusnya beberapa kali, membuatku tertawa geli.

"Kemarin itu aku di puncak Muria lagi, kemudian ziarah ke makam Sunan Kudus, dan pulangnya membeli ini ...." Mas Arhan menyodorkan kotak kecil berbahan beludru merah.

"Apa ini, Gus?"
"Buka saja!"
Mataku terpukau melihat kalung yang bersinar indah oleh bias lampu di ruang tamu.
"Maaf ... aku janji suatu saat akan kubelikan berlian yang as--"
"Aku suka, kok! Apapun yang Gus berikan." Tak bosan-bosannya kupandangi kalung itu.

"Kamu memanggilku apa barusan?"
"Gus Arhan!" Semenjak tahu bahwa dia seorang putera Kiyai, rasanya sungkan memanggil dengan sebutan Mas Arhan lagi.

"Tuh, kan!" Mas Arhan terlihat kesal.
"Gus ...." Dia tak menyahut.
"Gus Arhan ...." Tatapannya seperti pedang yang siap menghabisiku.

"Panggil aku seperti biasanya ...." Lirihnya.
"Ok, Mas Seperti Biasanya!" Tawa kami meledak bersama.
****
Mas Arhan memberi kabar bahwa dia lulus ujian, mulai bingung mau melanjutkan di mana. Aku pribadi akan sangat bangga bila dia masuk ke perguruan tinggi ternama, meski itu artinya kami tidak bisa leluasa bertemu. Sementara aku masih butuh setahun lagi untuk menamatkan sekolah menengahku.

"Harmoni ... usai lulus nanti, kamu mau apa?"
"Hmm ... pengen nyari beasiswa untuk kuliah, Mas!"
"Beneran?"
"Iya lah! Kenapa, memang?"
"Enggak langsung nikah?"

'mau! Kalau nikahnya sama kamu, Mas!' Batinku berbisik, sayangnya aku tak punya keberanian selancang itu.

"Hish!"
"Harmoni ... kamu mau, kan, menungguku?"

Hatiku bergetar hebat, seolah baru saja dia menegaskan bahwa hubungan ini serius. Tanpa kusadari aku mengangguk-anggukkan kepalaku meski di sebrang sana dia tak mungkin melihatnya.

"Mas Arhan sudah dapat kampus yang bagus?"

"Pengennya tetap di Semarang aja, biar weekend kita bisa ketemu. Tapi ...." Mas Arhan menjeda kalimatnya, kugigit bibir bawahku, bersiap menerima kemungkinan pahit.

"Aku hanya robot! Abah yang tentukan semuanya ...." Seperti bayanganku, beban di pundak Mas Arhan pasti berat. Menjadi calon pewaris Kiyai Bisyir tak mungkin berbuat sembarangan.

'Di manapun Mas Arhan kuliah yang penting sungguh-sungguh, Mas. Aku juga akan menyiapkan diri agar pantas berada di sisimu suatu saat nanti ....' Lirihku dalam hati.






HARMONI SAGA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang