Lepasnya Topeng

31 3 2
                                    

"Maaf, Harry ... ini sudah hampir Magrib, aku juga belum mandi!" Sengaja beralasan, agar Harry membatalkan niatnya. Dari raut mukanya kulihat dia kecewa, tapi keselamatan diri jauh lebih penting.

"Ok, gimana kalau jalan-jalan di sekitar Munjuluhur saja?" Harry memberi alternatif lain, tapi tetap saja aku menolaknya. Meskipun sebenarnya aku kasihan, Harry rela datang jauh-jauh untuk menemuiku tapi jika menerima ajakannya bukankah itu sama saja memberinya harapan. Sedangkan hatiku sudah tertambat pada Mas Arhan.
****
[Ling gulang-guling, lek melek-merem!] Aku terkikik membaca pesan dari Mas Arhan.
[Mantra apa, Mase?]
[Enggak bisa tidur, perasaanku enggak enak seharian. Kamu enggak kenapa-napa, kan?] Mendadak sulit sekali menelan ludah, mungkinkah Mas Arhan merasakan penghianatan yang hampir saja kulakukan.

[Aku sehat, Mas. Ini sudah masuk sleeping bag!]
[Apa! Sleeping Beauty?]
[Hush! Dosa, Mas!] Mas Arhan memang suka jahil. Jika di dalam dongeng itu seorang Puteri akan terbangun saat mendapatkan ciuman pertamanya oleh pangeran, maka akan kuberikan ciuman pertamaku juga untuk pangeran halalku nantinya tak akan kuberikan sembarangan meski hanya dalam bentuk chat.
****
"Capek, ya?"
"Sedikit pusing, Mas!"
Tiga hari berlalu, kemah di Purbalingga sudah usai. Aku pulang ke rumah sebelum azan subuh. Sedangkan Mas Arhan berkunjung ke rumahku pada siang hari.

"Tumben, hanya Mas Panca yang ikut?"

"Takut nambah pusing kalau bawa rombongan banyak-banyak!" Mas Arhan memamerkan barisan giginya yang rapi. Dengan telaten dia membuka kotak kue bawaannya lalu menyalinnya ke dalam piring. Roti tiga rasa tampak menggoda selera, kulihat dari bungkusnya seharga sepuluh kilogram beras. Sangat mahal.

"Ini gratis, kok! Ada acara kecil di pondok!" Mas Arhan seolah membaca pikiranku. Lantas, ingin kuambil sepotong roti dengan topping selai kacang. Saat bersamaan, Mas Arhan juga ingin mengambil roti yang sama. Tangan kami hampir bersentuhan, membuat irama jantung keluar dari ritmenya. Kami sama-sama tersipu, sedangkan Mas Panca sedang berperan menjadi obat nyamuk. Kemudian Mas Arhan pamit keluar untuk membeli bakso di pertigaan ujung desaku.

"Mas, sebenarnya Mas Arhan itu siapa?" Mas Panca yang keluar dari toilet tampak kaget melihatku duduk sendiri di ruang tamu. Sementara Ibuku berada di kandang, mengurus ternak.

"Siapa gimana, maksud Mbak Harmoni?"
"Entahlah, aku tak yakin jika dia adalah santri 'ndalem'."
"Duh! Gimana ya, Mbak ... aku takut!" Mas Panca terlihat gusar, kakinya tampak bergoyang-goyang seolah sedang memainkan mesin jahit. Namun, aku memaksanya untuk bicara.

"Hmm ... ss--sebenarnya ... Mm--mas Arhan itu ... seorang Gus, Mbak!"

Tak bisa berkata-kata, jantungku seperti mau lepas dari tempatnya. Pantas saja, dia begitu disegani teman-temannya. Bahkan, tak sengaja saat dia menscrol gawainya kulihat kontak yang begitu asing untuk sebuah nama.

"RI-1 di dalam kontaknya itu siapa?"
"Presiden, Mbak!" Tulang-tulangku seolah rontok mendengarnya. Ditambah penjelasan dari Mas Panca bahwa nama lengkap Mas Arhan adalah Arhan Akhtar Bisyir, itu artinya dia putera Kiyai Bisyir pemilik saham terbesar salah satu provider di Indonesia. Pantas saja dia begitu dermawan mengirimi pulsa hampir tiga hari sekali.

Bahkan, nomor teman-temanku yang kadang kupinjam untuk menghubunginya saat kehabisan pulsa, juga diisi pulsa olehnya dengan nominal seharga uang jajanku sebulan. Saat aku menanyakan hal itu, Mas Arhan bilang bahwa di pondok dia bekerja sampingan dengan menjaga konter HP.

Itu berarti juga bahwa Mas Arhan bukanlah santri 'ndalem' namun seorang pewaris pondok pesantren serta SMK IB. Seperti tersengat listrik berkali-kali, bagaimana mungkin dia tidak mengakui jati dirinya yang sudah menjadi langit sejak lahir dan berusaha tetap berperan menjadi seorang kalangan bawah di hadapanku.

Remuk redam hatiku menerima kenyataan pahit ini. Selama ini aku nyaman dengan kehadirannya karena kita sama-sama senasib. Bahkan, mengapa tak kuperhatikan benda-benda branded yang melekat padanya. Kupikir itu hanya KW-5 atau KW-17 yang mudah kita temukan di pasar mana saja.

Juga oleh-oleh yang selalu dia bawa saat berkunjung ke rumah, hampir keseluruhan belum pernah kumakan sebelumnya. Saat kutanyakan, alasannya selalu masuk akal dan  kuterima begitu saja, karena aku percaya penuh padanya. Nyeri menari-nari di kepala, seolah ada tangan besar yang tengah meremas-remas otakku.

'Bahkan dia bukanlah supir, mobil itu miliknya' suara hati menertawakan kebodohanku, saat kudengar deru mesin memasuki halaman rumah.

Mas Arhan berjalan ke ruang tamu dengan menenteng dua kantong bakso ditangannya. Lalu menaruhnya di atas meja.

"Harmoni ... kamu pucat sekali?" Sama sekali tak kugubris pertanyaannya.

"Mungkin bakso ini bisa menyegarkan, aku ambil mangkok dulu, ya!"
"Tidak usah, Mas!"
"Mumpung masih hangat ... ka--"
"Silakan pulang, Mas!" Dia tampak terkejut mendengar ucapanku. Baru kali ini aku menatapnya dengan penuh api yang menyala-nyala di mataku.

"Harmoni ... kamu kenapa?" Bahkan, dia tidak tahu apa salahnya.

"Pulang, Mas!" Sedikit keras nada bicaraku hingga air mata yang sejak tadi kutahan berhambur keluar membanjiri pipiku.

"Hei! Kamu kenapa?" Dia memandangku lalu beralih pada Mas Panca seolah menuntut penjelasan. Aku berlari ke dalam kamar, membenamkan wajah pada bantal, terisak sepuasnya. Mengapa aku sehisteris ini, seperti dunia baru saja kiamat.

[Apa aku badut bagimu, Mas?]
[Apa lagi yang kamu sembunyikan?]
[Mengapa tak jujur dari awal?]
[Kamu sangat menghayati berperan sebagai orang miskin padahal dalam hatimu tertawa! Iya, kan?]

Kukirim pesan beruntun itu lalu bergegas menonaktifkan HP bututku.





HARMONI SAGA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang