Pandangan Pertama

38 5 1
                                        

Mas Arhan benar-benar tak berperasaan. Sungguh tak bisa kumengerti jalan pikirannya. Dia enggan berjuang tapi melarangku dibahagiakan orang lain.

'Bodoh! Mengapa terlambat kusadari bahwa sedari dulu Mas Arhan ingin menjadi langit, bahkan dia salah memaknai hujan. Hujan itu bukan kasih sayang tapi air mata kerinduan langit terhadap bumi, karena mereka tidak ditakdirkan bersatu.'

Jika Mas Saga begitu penting baginya, maka tak akan kulepaskan. Biar Mas Arhan belajar rasanya kehilangan.
****
"Mbak Harmoni sudah memilih pesantren yang bagus?"

"Aku tidak butuh tempat yang bagus, Mas ... di mana saja asal bisa membuatku melupakan rasa sakit ini."

"Belum terlambat untuk mundur, Mbak bisa mengembalikan lamaran Saga ..."

"Seandainya bukan Mas Saga, aku pun akan menikah dengan orang lain. Apa bedanya?"

Mas Panca seperti Kakak bagiku, sesekali dia menyambangiku  sepulang kuliah. Kebetulan kampusnya melewati jalan Desa Telaga, tempat tinggalku.

"Maafkan aku, Mbak ... andai waktu itu Saga tak kuajak kesini mungkin dia tidak bertemu dengan Mbak Harmoni kemudian jatuh hati ...." Mas Panca menyugar rambutnya dengan gusar, terlihat sekali kecemasan di raut wajahnya.

"Aku bersalah pada Gus Arhan, Saga, dan Mbak Harmoni!" Mas Panca menutup wajahnya dengan telapak tangan.

"Hei! Itu bukan salahmu, Mas ... hampir semua santri SMK IB diajak Gusmu ke sini, kan?"

"Mbak ... setahun lalu, sepulang dari rumahmu tak henti-hentinya Saga memuji kecantikan dan kesederhanaan Mbak Harmoni. Katanya, dia baru melihat bidadari versi nyata ...." Aku mulai tertarik mendengar cerita Mas Panca.

"Lalu kami mampir di Masjid Desa Bakalan untuk salat Ashar, kulihat Saga larut dalam do'a yang panjang. Usai salat, kami tiduran di emperan masjid. Saat kutanyakan apa yang membuatnya begitu khusyuk, dia bilang sedang merayu Tuhan ...." Mas Panca sedikit tersenyum, menceritakan kenangan itu.

"Mbak Harmoni tahu, apa yang dia minta dalam do'a?" Aku menggeleng cepat, yakin sekali kalau cerita ini pasti lucu untuk menghiburku.

"Saga bilang telah jatuh cinta pada gadis yang memberikan sepotong mangga untuknya, dan berharap menjadikannya istri saat dewasa nanti ...." Sesaat sulit menelan ludahku sendiri, mungkinkah aku si gadis pengupas mangga yang dimaksud Mas Saga.

"Kubilang pada Saga untuk berhenti berhayal. Tapi, salahku tidak menjelaskan pada Saga bahwa gadis yang disukainya itu spesial juga bagi Gus Arhan ...."

"Mm--aksud Mas Panca, a--kku?" Dengan gagap, kutunjuk batang hidungku sendiri.

"Malangnya, Saga menemukan buku agenda Gus Arhan yang terjatuh di samping tempat tidur saat sedang membereskan kamar. Saga berlari ke kamarku yang berjarak satu blok, membawa buku itu seperti orang yang baru saja melihat hantu ...." Irama jantungku mulai tak normal, seolah merasakan kepanikan Mas Saga.

"Betapa kagetnya Saga melihat foto Mbak Harmoni yang memakai gaun merah tertempel di buku agenda itu, lengkap dengan ungkapan isi hati Gus Arhan ...."

Iya, aku ingat! Kami memang sempat bertukar foto sebelum kemah ke Purbalingga.

"Wajah Saga berubah pias, dia merasa lancang mencintai gadis yang juga dicintai Gusnya. Padahal Saga terlanjur  sering berkirim salam untuk Mbak Harmoni melalui Gus Arhan, kan?"

"Iya! Mas Arhan menunaikan amanahnya ...," Sahutku tak bertenaga.

"Gus Arhan tidak ingin menyakiti hati Saga, karena Gus merasa dirinya juga turut andil dalam kesalahan itu. Gus bilang sering menceritakan Mbak Harmoni pada Saga tapi tanpa menyebut nama maupun menunjukkan fotonya. Jadi, Saga tak sepenuhnya bersalah ...."

"Sedekat apa Mas Saga dengan Mas Arhan?" Tanyaku penasaran.

"Mereka serupa kakak-beradik. Saga disayangi selayaknya adik sendiri."

'Oh, Tuhan ... cinta segitiga macam apa ini!'

"Sejak saat itu Saga tidak mau lagi ikut ke rumah Mbak Harmoni ... dia merasa malu terhadap Gus Arhan. Kupikir setelah setahun berlalu, Saga melupakan kejadian itu hingga aku santai saja memberitahu bahwa Mbak Harmoni dan Gus Arhan sudah putus. Ternyata dugaanku keliru. Ah! Si bodoh itu bergerak lebih cepat dari Gus Arhan." Mas Panca mendesah, lalu tangan kanannya meraih secangkir teh yang sudah dingin.

"Mbak ... berbahagialah bersama Saga! Baik dirinya maupun Gus Arhan, mereka sahabat luar biasa bagiku ...."

Mengapa kisah ini serupa benang kusut, saling membelit satu dengan yang lainnya. Haruskah aku mundur agar segalanya kembali teratur. Tapi, ditaruh mana muka kedua orangtuaku nanti setelah menolak lamaran kesekian kalinya, belum lagi keluarga besar Mas Saga pastilah mereka kecewa putera  satu-satunya ditolak seorang gadis.

Ini bukan tentang diriku, tapi dua keluarga turut  terseret dalam pusaran kisah yang membuat kepalaku nyaris pecah. Orangtua Mas Saga hanya tahu kami saling mencintai, kenal melalui telepon nyasar. Sementara Ayah dan Ibuku lelah menunggu Mas Arhan yang dinilai mempermainkan anak gadisnya.

Andai Mas Arhan menepati janjinya, takkan serumit ini.
****
Dulu, Mas Arhan sering menceritakan kehidupan pesantren yang dia sebut sebagai penjara suci. Kini aku merasakan sendiri. Apa lagi pesantren Tahfidzul Qur'an, setoran hapalan setiap harinya mengalihkanku dari perkara dunia.

Komunikasi dengan Mas Saga juga bisa dihitung jari, karena hanya beberapa bulan sekali teleponan saat liburan di rumah. Meski sudah bertunangan, kami belum begitu dekat. Sejujurnya, aku takut merasa nyaman dengannya kemudian terbawa perasaan, lalu berakhir menyakitkan seperti saat bersama Mas Arhan.

Kadang aku berharap keajaiban terjadi. Toh, siapa yang bisa memprediksi masa depan, bisa saja di Depok Mas Saga bertemu gadis-gadis yang berwajah lebih cantik dariku kemudian ada satu yang membuatnya jatuh cinta pada pandangan kedua, karena aku sudah yang pertama. Lalu Mas Saga berubah pikiran dan memutuskan pertunangan ini. Atau tiba-tiba dia merasa jenuh menunggu lalu mencari yang baru.

Namun, mengingat dirinya yang begitu heroik melamarku setelah setahun memendam perasaan dan mengetahui aku tak lagi terlibat dengan Gusnya, membuatku yakin bahwa Mas Saga tipe pemuda yang memegang teguh pendiriannya. Diapun rela dibenci teman-temannya di SMK IB karena dianggap merebut kekasih Gusnya sendiri hingga tak hadir di acara reuni sekolah. Mas Saga menanggung semuanya tanpa bercerita padaku. Untung Mas Panca masih rajin mengabariku via surat yang dikirim melalui Ibu saat menengokku di pondok. Sesekali Mas Panca mengirimkan camilan, juga buku bacaan agar wawasanku bertambah. Kuakui, Mas Panca benar-benar menjelma jadi seorang kakak untukku.

















HARMONI SAGA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang