Pengakuan

39 3 3
                                    


"Harmoni ... kamu tahu mengapa aku begitu lancang membalas pesan-pesanmu sebagai Fahmi? Karena aku sangat penasaran!

Menurut Fahmi, kamu gadis yang sangat periang. Bahkan dia mengagumi kecerdasan berbahasamu saat interview pada tes seleksi waktu itu. Dan aku setuju dengan pendapatnya saat membaca sendiri buku diary yang kamu tulis untuk Fahmi. Berbagai cara dia lakukan untuk bisa berkenalan denganmu meski ulahnya sempat membuatmu jengkel.

Hampir setiap hari Fahmi datang ke kamarku, bertanya adakah pesan yang kamu kirim untuknya. Tak bosan dia ceritakan tentang dirimu, bahwa kamu sangat cantik. Meskipun aku tak bisa membayangkan seperti apa wajahmu, tapi aku percaya hanya gadis yang benar-benar cantik yang bisa membuat seorang Fahmi Bisyir terpana.

Kirani Bumi Harmoni, bahkan namamu sangat unik. Seharusnya penyamaran ku tak cepat ketahuan seandainya kutahu bahwa Fahmi memanggilmu Hermion ....
Saat dia menyebut namamu, bukan tokoh rekaan dalam Harry Potter yang kuingat. Tapi, cahaya rembulan. Kira-kira seperti itu aku menggambarkanmu.

Aku juga tak menghitung jumlah pulsa yang terpakai dalam setiap panggilan telepon, juga tak kuterima sepeserpun uang darinya untuk setiap pesan yang terkirim padamu, meski dia kaya. Kuberikan cuma-cuma. Fahmi bersedia mengurai cerita tentangmu saja sudah cukup bagi seorang santri 'ndalem' sepertiku ini. Jujur, diam-diam aku mulai mengagumimu, Harmoni ....

Bagiku, kamu serupa peri yang tersembunyi di belantara ... suatu saat aku pasti menemukanmu, jika aku sudah cukup percaya diri. Sayangnya, aku bukan seorang Fahmi yang gagah dan pemberani hanya untuk sekedar mengenalmu. Melalui surat ini, bisa kusampaikan isi hati dengan lancar meski sebenarnya aku cukup pendiam dan tak pernah sekalipun berteman dekat dengan perempuan."

Kubaca kata demi kata yang dikirim Mas Arhan lewat Pos tadi sore. Sepertinya chatting via SMS belum lah cukup. Dan memang, melalui surat segalanya bisa diceritakan tanpa batasan karakter, itung-itung juga menghemat pengeluaran untuk beli pulsa.

"Mas Arhan, sesuatu yang dilebih-lebihkan itu tidak baik. Mungkin Fahmi keliru dalam mendeskripsikan tentang diriku padamu. Aku tak sesempurna itu. Bahkan, kamu bisa saja kecewa saat mengetahui apa yang kuceritakan bukanlah kebohongan. Aku hanya gadis biasa yang lahir dalam lingkungan tak cukup berada. Namun, aku lega kamu masih bersedia menjadi sahabatku sejauh ini. Bahkan mau menjelaskan siapa dirimu.

Aku dan kamu tak jauh berbeda, justru kita dewasa karena banyak ditempa. Saat rasa minder menderamu, coba lihatlah ke atas! Bukan menatap orang kaya, tapi pada genting yang nangkring di atap kamarmu. Sebelum jadi genting, dia adalah tanah biasa. Diinjak-injak dulu, dicetak dan ditekan kuat-kuat, dijemur terik matahari, lalu dibakar dengan bara api. Jadilah genting yang kokoh, Melindungi manusia dari gempuran matahari dan hujan. Seperti itulah diriku, dirimu ... akan menguat pada masanya.

Menjadi santri 'ndalem' bukanlah aib. Justeru karena menyandang nama Bumi sejak lahir, aku jadi sadar tempatku sebenarnya bukan dengan kalangan 'langit'. Jadi, aku nyaman bersahabat denganmu. Tos! Kita senasib!"

Kulipat kertas motif bunga-bunga kemudian menempelkan perangko pada salah satu sudut amplop. Lalu bergegas menuju Kantor Pos di dekat Pasar.
****
Aku membantu Ibu menjadi kuli kupas singkong di salah satu pabrik milik juragan di desaku. Jam kerjanya tergantung kapan singkong-singkong itu datang dari ladang petani, namun lebih sering jam 12 malam kegiatan mengupas dimulai hingga menjelang waktu subuh, karena berton-ton singkong yang sudah dikupas akan digiling, dan diproses menjadi tepung tapioka esok harinya.

Tanganku trampil memainkan pisau yang berbentuk seperti silet tapi didesain dengan ukuran yang besar dan sangat tajam, beradu cepat dengan kuli kupas yang lain. Begadang seperti ini sudah menjadi hal biasa, mengantuk sedikit saja bisa fatal akibatnya. Pisau meleset, kulit dan daging sendiri yang justeru terkoyak.

[Wonder girl, semangat kerjanya!]
Bunyi pesan dari Mas Arhan, begitu aku memanggilnya sekarang. Karena ternyata dia dua tahun di atasku, sehingga kurang sopan bila hanya menyebutkan nama saja. Dia mengetahui pekerjaanku, yang hampir selalu melek di malam hari. Aku juga memintanya untuk tak lagi memanggilku dengan sebutan 'Mbak'.

[Mas, juga. Semangat ngurus adik-adik santri di sana!]
Dia pun sama sepertiku, tidur hanya beberapa jam di malam hari. Sepertinya menjadi santri 'ndalem' sangat sibuk.

Entahlah, aku merasa lebih nyaman berkomunikasi dengan Mas Arhan. Dunia kami tak jauh berbeda, sama-sama hidup susah dan belajar survive dengan keadaan. Bahkan mungkin hidupnya jauh lebih berat, karena sepengetahuanku tugas santri 'ndalem' kurang lebih seperti ART. Bedanya, ART dapat gaji bulanan sementara santri 'ndalem' bebas biaya hidup di pondok pesantren.

Aku tak segan bercerita tentang apapun pada Mas Arhan. Termasuk mengenai diriku yang tinggal di bilik bambu dan kemiskinan orangtuaku. Bukan ingin mendapat simpati, justeru karena aku yakin dia memahaminya karena merasakan kepahitan hidup yang sama.

Jika aku rembulan, kugambarkan sosok Mas Arhan serupa angin yang berhembus pelan. Sangat misterius, tak terlihat, namun bisa kurasakan kehadirannya. Memberikan semangat dan gelora baru dalam hidup. Jujur, melalui suaranya yang lembut prediksiku dia pemuda kurus-ceking tak berdaya, dengan rambut gondrong. Bahkan mungkin, Mas Arhan tak setampan Fahmi Bisyir. Tapi tak masalah, tiada syarat baku untuk menjadi sahabatku. Kejujuran tetap nomor satu, sementara fisik yang sempurna, dan wajah rupawan hanyalah bonus yang bisa hilang seiring bertambahnya usia.
****
[Harmoni ... apa kamu suka hujan?]
Dahiku sedikit mengernyit membaca SMS nya. Kusibakkan tirai jendela, kulihat mendung menggelayut sangat pekat.

[Tentu saja! sejauh ini hujan membuat tidurku lebih pulas. Kenapa, memang?]
[Hujan itu kasih sayang yang dicurahkan langit pada bumi. Jika bumi itu kamu, kira-kira siapa langitnya?]
[Hmmm ... mungkin langit belum lahir!] Aku terkekeh mengetik jawabanku sendiri, terkadang Mas Arhan memang aneh. Dia senang mengerjaiku dengan pertanyaan konyolnya, namun itu membuat hari-hariku menyenangkan.

HARMONI SAGA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang