Tercuri

26 4 0
                                    

Aku tertidur di depan televisi di atas kasur lantai yang tipis. Kusadari kepulangan Mas Saga ketika mushaf di tanganku seperti ada yang menariknya.

"Dek, bangun ... sebentar lagi Magrib." Mas Saga berucap pelan di telingaku. Mataku sedikit menyipit melihat saklar lampu baru saja dihidupkan Mas Saga.

"Maaf, Mas ... enggak dengar suara Mas membuka pintu." Kubuka mukena yang masih kupakai. Ingin bergegas menjarang air di dapur.

"Dek, sebentar ..." Mas Saga membalikkan tubuhku menghadap dirinya. "Kenapa mata adek sembab begitu?" Ujarnya lagi penuh selidik.

"Aa--kku kangen Ibu, Mas ...." Terpaksa beralasan, karena tak mungkin kuceritakan perihal Mas Arhan lagi pada Mas Saga, dia sudah cukup menderita menjadi 'tong sampah'ku selama ini.

"Nanti malam habiskan waktumu untuk menelpon Ibu, Mas tak akan mengganggu."

Salah satu yang kusukai dari diri Mas Saga adalah dia yang begitu menyayangi keluargaku. Meskipun aku sudah berada di sisinya, jatah bulanan tetap dikirimkan untuk keperluan Ibu dah adikku.
****
Ngobrol ngalor-ngidul dengan Ibu sampai tak terasa sudah berjam-jam lamanya aku berada di balkon. Sementara Mas Saga mungkin sudah terlelap. Namun saat memasuki kamar, ternyata kulihat dirinya masih terjaga dengan gawai di tangannya.

"Dek, dapat salam dari Mbak Yuli. Barusan dia tanya kapan kamu hamil." Mas Saga seperti salah tingkah menanyakan itu.

"Gimana bisa hamil coba, dibuat saja belum pernah." Gumam Mas Saga pelan, namun aku berpura-pura tak mendengar.

"Selamat tidur, Mas!" Kini aku yang berbaring membelakanginya dengan selimut yang menutupi diri sampai ke muka. Sementara Mas Saga masih tertawa-tawa sendiri berbalas pesan dengan adik angkatnya.

Sepertinya belum sampai satu jam aku berbaring, tiba-tiba tubuhku menggigil. Dingin merayapi ujung kaki sampai leher. Kepala terasa berat dan nyeri, seluruh sendi-sendi seperti mau patah.

"Kamu demam, Dek!" Menyadari badanku tak berhenti bergetar, Mas Saga menempelkan telapak tangannya di keningku.

Mas Saga terlihat kebingungan, dia menindih kakiku dengan bantal. Karena gigilku tak berkurang, tanpa pikir panjang dipeluknya tubuhku erat sekali. Kurasakan debaran dadanya seolah mau meledak.

"Masih dingin?" Aku mengangguk pelan, pelukan Mas Saga semakin mengerat.

"Mm--mas, ss--sepertinya akk--ku mm--masuk angin." Desisku terbata-bata.

"Mas buatkan minuman hangat, ya!" Baru  saja Mas Saga mau beranjak tapi kutahan pergelangannya.

"Akk--kku terr--bias--sa kerokan, Mas."

"Adek tak keberatan jika Mas yang melakukannya?" Tanyanya tak yakin.

Seandainya Teh Siti, tetangga samping rumah belum tidur sudah pasti aku meminta Mas Saga untuk memanggilnya. Tapi tengah malam begini sungkan membangunkan tetangga hanya untuk minta kerokan sementara ada suami di rumah. Apa yang mereka pikirkan nanti.

"Enggak apa-apa, Mas ...." Lirihku, karena tak tahan dengan dingin yang menjalar.

Mas Saga membalikkan tubuhku dengan hati-hati. Disibaknya selimut yang menutupi tubuhku, pelan-pelan ditariknya resleting gamis yang berada di punggungku.

"Mm--maaf, Dek ...." Nada bicara Mas Saga terkesan berat. Aku yakin, kami sama-sama didera rasa gugup yang hebat. Tapi mau bagaimana lagi.

Kurasakan tangan Mas Saga gemetar saat membalurkan minyak gosok, sentuhan langsung kulitnya pada kulitku memberi efek relaksasi yang menenangkan. Gerakan jarinya yang semula nyaman menciptakan gelenyar aneh, seperti ribuan kupu-kupu tengah mengepakkan sayapnya di perutku. Sensasi yang sangat asing. Dan aku tak berani bergerak maupun menampakkan wajahku yang mungkin serupa udang goreng. Kubiarkan Mas Saga menuntaskan tugasnya dengan penuh konsentrasi.

"Apakah merah, Mas?"

"Ii--yya! Merah keunguan, Dek!"

"Apakah sakit?"

"Tidak, Mas." Gosokan koin pada punggungku sama sekali tak terasa sakit.

Setelah itu, Mas Saga membuat jahe hangat untukku. Dan membiarkan aku tertidur setengah lelap. Samar-samar kurasakan benda kenyal nan basah menempel di bibirku.

'Oh, Tuhan! Mas Saga mencuri ciuman pertamaku!' Karena ngantuk berat aku hanya bisa protes dalam hati.
****
Di waktu subuh, kulihat Mas Saga keluar dari kamar mandi dengan rambut yang basah. Spontan aku teringat kejadian semalam, lalu bulu-bulu di tubuhku meremang. Kuperiksa resleting belakangku, kembali utuh. Pakaianku pun masih lengkap, aku bisa bernapas lega.

"Santai saja, Dek .... Tidak terjadi apa-apa. Tak mungkin aku mengerjai seorang yang tergolek tak berdaya. Tapi, ada satu hal yang telah tercu--"

"Diam, Mas!" Kulempar Mas Saga dengan bantal. Sementara dia tertawa terpingkal-pingkal. Baru kali ini kudengar tawa Mas Saga renyah sekali. Sementara aku kembali bersembunyi di bawah selimut. Baru beranjak saat Mas Saga sudah pergi ke masjid. Ulahnya benar-benar membuatku malu.
****
Aku masih bermalas-malasan di kasur. Belum berencana belanja untuk masak menu hari ini. Entah apa sarapan Mas Saga tadi pagi, karena aku tak keluar kamar sejak selesai salat subuh. Mas Saga juga tak mengusikku saat mau berangkat kerja.

"Assalamualaikum ... bidadariku sudah bangun?" Mas Saga datang tiba-tiba.

"Ini udah sore ya, Mas?" Kucari-cari gawai yang kuletakkan di bawah bantal. Terlihat jam 12 siang di layar.

"Mas sengaja pulang, karena sejak pagi Adek pasti belum makan. Kita makan bareng, yuk!" Mas Saga mengeluarkan empat potong ayam tepung bagian paha atas, kesukaanku. Dia juga membawa sop hangat dan menyalinnya di mangkok. 

Saat aku ingin turun dari ranjang, Mas Saga menahan pundakku. Tak dibiarkannya aku bergerak.

"Tetap di sini, Dek! Tugasmu hanya dua hari ini. Makan dan setelah itu istirahat."

Mas Saga menyuapiku dengan telaten. Entah kenapa makan dari tangannya seperti ini membuat rasa ayam tepung bertambah gurih. Juga kuah sopnya beribu kali nikmat.

"Sopnya enak banget, Mas. Siapa yang masak?"

"Bibi di kantor." Mas Saga meringis sembari mengedipkan sebelah matanya.

"Tolong mintakan resep sop ini dari Bibi ya, Mas. Oh, ya! Mas juga makan, donk!" Kulihat beberapa kali suapan masuk ke mulut Mas Saga. Melihat pergerakan bibirnya, membuatku teringat lagi pada kejadian semalam. Tanpa kusadari kuraba bibirku sendiri.

"Kenapa, Dek?"

"Hmm ... itu ... anu, tak sengaja bibirku tergigit saat mengunyah tadi." Ditanya begitu aku jadi gelagapan.

"Oh, kirain mau lagi ...." Gumam Mas Saga pelan sambil tetap fokus menyuwir ayam. Tapi bibirnya tersenyum-senyum sulit kuartikan.

"Tidak!" Jawabku spontan dengan menutup mulutku.

"Apa sih, Dek! Ayamnya ini, loh. Mau lagi?" Mas Saga berlagak bloon. Ingin sekali kusiram pakai kuah sop, tapi sudah terlanjur berpindah ke dalam perutku semua.

'Mas Saga sungguh menyebalkan!'


HARMONI SAGA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang