Kejutan

37 4 2
                                    

Rasa penasaranku sudah tidak bisa dibendung lagi. Kuberanikan diri meminta Mas Panca untuk menjemputku dan Mita. Tanpa sepengetahuan Mas Arhan pastinya.

"Semoga enggak mogok di jalan ya, Mbak. Soalnya mobil yang bagusan di bawa Bapakku." Mas Panca terlihat tak enak saat membukakan pintu mobil tua miliknya.

"Santai, Mas! Kalau mogok nanti kita dorong pakai doa!" Mita berseloroh.
****
"Langsung ke Ndalem Gus Arhan, apa ke Pondok, Mbak?" Aku tersentak, ide ini hanya sepintas di otak namun nekat merealisasikannya. Ini pertama kalinya aku bepergian jauh selain untuk kemah. Jika putar balik rasanya sayang, lagi pula hampir setengah perjalanan.

"Hmm ... misalkan tidak di rumah Mas Arhan atau pondok, bisa kah kita turun di tempat lain, Mas?" Aku yakin, Mas Panca bisa membantu  menemukan alternatif selain harus didrop antara dua tempat tersebut.

"Ok! yang penting keinginan Mbak Harmoni untuk menjadi mata-mata terlaksana gitu, kan?" Mas Panca tersenyum miring.
****
Mobil Mas Panca membelah jalanan dengan perlahan. Diberinya kesempatan pada kami untuk menikmati pemandangan yang tersaji sepanjang yang kami lalui. Sudah beberapa desa terlewati, kini memasuki ladang semangka berhektar-hektar luasnya, juga kebun kelapa. Kami seperti sedang turun gunung, meninggalkan daerahku yang notabene perbukitan menuju daerah pesisir.

Terlihat beberapa meter, tugu desa Karang berdiri dengan gagahnya menyambut kami. Sedari pintu masuk desa, sudah tercium amis ikan, kadang berubah menjadi aroma terasi, juga bau ombak. Butuh beberapa waktu bagi hidungku beradaptasi.

Mobil semakin pelan, menyusuri jalan kecil desa Karang. Semakin mendekati bagian kiri jalan yang terdapat bangunan megah empat lantai-- yang terdiri dari beberapa blok dikelilingi oleh pagar besi setinggi kira-kira satu setengah meter. Pada halamannya terdapat masjid dan rumah mewah bernuansa emas. Negeri dongeng, yang terlintas pertama kali di otakku saat melihat keindahan itu. 'Pondok Pesantren dan SMK Ilham Bisyir' terpampang jelas pada gerbang utama. Jika biasanya sekolah elit berada di pinggir jalan raya, SMK IB berdiri di area tambak yang tersembunyi dari keramaian.

Aku dan Mita benar-benar takjub. Mulut kami menganga, tiba-tiba saja aku merasa sangat kecil, dan tak berdaya. Seperti rakyat jelata yang sedang menyelinap demi melihat istana Raja secara diam-diam. Bisa saja Mas Panca membawa kami masuk ke pondok sebagai tamu dengan dalih membesuk salah satu santri yang tidak mudik saat lebaran seperti ini. Namun, aku tak percaya diri untuk masuk ke sana dengan sendal butut dan pakaian seadanya.

Apa lagi sampai bersungkem pada Kiyai Bisyir, yang notabene hanya mengenal nama saja, kemudian mengenalkan diri sebagai teman Mas Arhan. Buru-buru kutepis tindakan konyol itu.

Akhirnya Mas Panca membawa kami pada rumah nan asri di samping pesantren. Tak kusangka, itu kediaman Mas Panca sendiri. Dari sana bisa terlihat  lebih jelas aktivitas para santri yang berlalu-lalang di area SMK dan Pondok.

Orang tua Mas Panca sangat ramah, mereka mengaku senang akhirnya bisa bertemu denganku yang selama ini  menjadi pembahasan para santri kalau sedang berkumpul. Setengah jam kemudian, motor bebek memasuki halaman rumah Mas Panca. Seorang pemuda dengan kopyah warna putih, baju koko, serta sarungnya, tergesa berjalan menuju ruang tamu, tempat kami berada.

Aku menoleh pada Mas Panca yang mengedipkan sebelah matanya. Tak masalah memberi tahu Mas Arhan, toh aku dan Mita sudah sampai sini.

"Harmoni! Kenapa enggak bilang, sih? Tahu-tahu udah di sini aja!" Aku sedikit terperanjat, penampilan Mas Arhan membuatku pangling. Dia yang biasanya kulihat mengenakan celana jins dan berkemeja kini seolah menjelma menjadi sosok yang berbeda. Tetap ganteng, tapi lebih terlihat adem.

"Hmm ... a--anu i--itu ...." Entah mengapa tiba-tiba aku gagap.

"Ayo, ke rumahku sekarang! Kukenalkan pada Umi!"

"Umi? Maksud Mas Arhan, Ibu?" Mas Arhan mengangguk cepat, justeru aku yang merasa lunglai seketika kemudian menggeleng kuat-kuat. Dari sorot matanya, terlihat Mas Arhan kecewa namun tetap bersikap manis. Mungkin kasihan melihatku kelelahan, padahal sejatinya aku sedang takut mendengar Mas Arhan menyebut uminya.

"Ya sudah, nanti pulangnya kuantar. Tunggu aku ganti baju dulu!"
****
Mas Arhan fokus menyetir, Mas Panca duduk tepat di sampingnya. Sedangkan aku dan Mita di jok tengah. Sepanjang perjalanan kami larut dalam pikiran masing-masing. Namun dari kaca spion depan, kulihat senyum Mas Arhan tiada henti. Entah, apa yang berkelendan di dalam benaknya.

"Moni! Minum es kopyor kayaknya seger, ya?" Mita memecah keheningan.

"Enggak, ah! Keburu sore, Mit! Takut Ayah Ibu kuatir!" Meskipun sudah ijin, rasanya  was-was. Namun, Mas Arhan tetap menepikan mobilnya di warung 'es kopyor Dagelan'.

"Sepuluh kopyor dibungkus ya, Mbak!" Seru Mas Arhan pada penjual.

"Kita minum di rumahmu saja ya, Harmoni ...," ujarnya saat kembali di balik kemudi.
****
[Mas, maaf ya ... datang mendadak]
[It's ok! Lain kali jangan bikin sport jantung begitu. Tadi siang enggak sempat mandi, boro-boro berpakaian yang keren!]
[Duh! Kayak mau ketemu bidadari, aja!]
[Emang, iya! Enggak ngerasa, hm ...?] Pesan Mas Arhan membuatku tersipu.

Setelah membuktikan sendiri latar belakangnya, justeru membuatku merana. Perbedaan yang terbentang dahsyat mungkinkah tidak menjadi penghambat. Aku tak meragukan perasaan Mas Arhan, namun memikirkan penerimaan orang-orang terhadap kami nantinya. Belum apa-apa saja Genk Candas di kelasku sudah nyinyir karena aku berteman dengan murid-murid SMK IB, apa lagi kalau sampai mereka tahu bahwa yang sedang dekat denganku adalah putera Kiyai Bisyir. Entah kehebohan apa lagi yang akan terjadi.

Aku merasa ini adalah mimpi, saat aku terbangun nanti semua menghilang dengan sendirinya karena tidak nyata. Namun, Mas Arhan menunjukkan bahwa dia pemuda yang baik, tidak menggunakan kelebihannya untuk menggaet para gadis. Dari beberapa informan, memberitahu bahwa Mas Arhan sama sekali tidak pernah dekat dengan seorang gadis manapun sebelum mengenalku. Aku merasa tersanjung menjadi gadis pertama baginya.

[Gimana perasaanmu hari ini?]
[Sangat bahagia, Mas! Seolah baru saja berkunjung dari surga]
[Semua keindahan yang kamu lihat itu tidak akan di bawa mati, tetap lah menjadi Harmoniku yang rendah hati. Ketulusanmu menjadi medan magnet tersendiri, hingga membuatku tak bisa pergi .... ] Kalimatnya membuatku bergetar.

[Mas ....]
[Hmm ....]
[Terimakasih, ya!]
[Harmoni ....]
[Hmm ....]
Mas Arhan mengirim gambar hati, membuat pipiku memerah.











 



HARMONI SAGA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang